Skip to main content

Ekonomi Sufistik; Suatu Pendekatan

Ekonomi sufistik, dalam tataran tertentu, berbeda dengan apa yang dipahami banyak orang sebagai ekonomi yang Islami, yang semata-mata dipahami sebagai ekonomi yang berbasis syariah (hukum Islam). Ekonomi sufistik adalah suatu cara pandang tentang perilaku ekonomi yang dikembangkan melalui salah satu tradisi yang memiliki sejarah panjang dalam dunia intelektual Islam. Orang sering menyebutnya dengan tradisi kearifan atau hikmah.
Sebelum memaparkan lebih jauh mengenai ekonomi sufistik, saya ingin menegaskan terlebih dahulu apa yang saya maksud dengan tradisi kearifan, karena ini merupakan kunci dari apa yang saya ingin katakan melalui tulisan-tulisan saya. Hal yang membedakan tradisi ini dengan pendekatan yang semata-mata legalistik syariah adalah lantaran para pemikirnya selalu mempersoalkan “sebab” dari segala sesuatu, bukan semata-mata “bagaimana” sesuatu itu terjadi. Sebaliknya, para fuqaha (ahli hukum Islam), yang begitu lantang menyuarakan syariah, lebih cenderung memberitahukan pada kita tentang apa yang harus kita lakukan. Tidak banyak dari mereka yang mempertanyakan mengapa sesuatu harus dilakukan, karena keyakinan mereka sepenuhnya terhadap ketentuan-ketentuan dasar syariah.

Namun betapapun pentingnya syariah bagi kita, bagi masyarakat Islam, syariah selalu dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang lebih penting ketimbang dirinya sendiri. Prinsip-prinsip itu dikenal oleh kalangan praktisi ilmu pengetahuan sebagai ushul al-fiqh (prinsip-prinsip jurisprudensi) yang selalu dijaga dengan hati-hati dalam sepanjang sejarah. Tradisi kearifan telah secara serius menggali prinsip-prinsip ini dalam maknanya yang lebih mendalam. Begitu prinsip-prinsip itu dimunculkan, mereka dapat diterapkan dalam cara-cara yang baru, tanpa menyalahi jiwa atau apa yang tersurat dalam syariah. Tanpa pengetahuan tentang prinsip-prinsip ini, dengan syariah toh pendekatan baru dapat dicapai, tetapi acapkali ini justru merusak semangatnya.
Isu yang muncul di seputar perilaku ekonomi saat ini tidak bisa begitu saja didekati dengan cara pandang syariah. Itu tidak menyelesaikan masalah, karena syariah hanya menyampaikan perintah-perintah, hanya sebagian dari dimensi ajaran Islam. Syariah tidak memberitahu kita mengapa Islam melarang bunga bank. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adalah karena kita diperintahkan Islam untuk tidak melakukan itu, hal yang sama bahkan diajarkan oleh agama-agama ahli kitab lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Penganut Islam apologetik pun mengemukakan ancangan-ancangan sosio-ekonomik untuk membendung berbagai kritik, tetapi inipun tidak memberitahukan apa-apa pada kita mengenai alasan-alasan yang lebih mendasar dalam kerangka Islam. Persoalan tentang alasan-alasan yang lebih mendasar inilah yang ingin dijawab melalui cara pandang sebagaimana tradisi kearifan memandang.
Tetapi saya merasa perlu untuk menegaskan satu hal, bahwa tidak ada yang salah dengan keyakinan terhadap cara pandang syariah tersebut. Saya juga tidak berpretensi sama sekali untuk mempertanyakan pendekatan legalistik seperti itu. Melainkan justru ingin merentangkan tali penghubung di antara pendekatan-pendekatan yang sering diperhadapkan dalam sejarah pemikiran Islam, yakni sufistik versus syariah. Dalam pengertian inilah saya memahami pengertian ekonomi islami.
Sebenarnya saya ingin menggunakan istilah ekonomi islami, tetapi karena alasan yang sangat teknis saya lebih cenderung pada istilah sufistik. Tidak lain untuk menghindari pengertian yang sama dengan pengertian yang sudah tertancap kuat di masyarakat, bahwa ekonomi islami adalah ekonomi yang berbasis syariah semata. Terlebih lagi, istilah islam dan syariah, yang dalam banyak hal penggunaannya sering dipertukarkan antara satu dengan lainnya, tetapi tetap dipahami dalam pengertian dan konteks yang sama. Hal ini cukup mengganggu saya. Itulah sebabnya, penggunaan kata sufistik ini bukan dalam pengertian perhadapannya dengan syariah, melainkan sekedar untuk menghindari dominasi pemaknaan yang bersifat legalistik semata. Artinya, ekonomi yang islami itu tidak saja dimaknai dalam sudut pandang syariah, karena syariah lebih mempersoalkan legalitas kontrak atau akad yang menjadi bagian terkecil dari kegiatan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pendekatan sufistik lebih bersifat determinan karena mampu menjangkau prinsip-prinsip syariah secara lebih mendalam sebagaimana telah disebutkan. Karenanya, saya pun sangat berharap bahwa pendekatan legalistik dapat mencerminkan dimensi-dimensi sufistiknya.
Bagaimana perspektif tradisi kearifan ini tentang ekonomi? Pertanyaan ini mau tidak mau menuntut kita untuk kembali menelusuri pembicaraan panjang mengenai Islam dalam tradisi intelektualnya. Tetapi, yang terpenting untuk ditekankan adalah bahwa setiap pembicaraan yang terjadi, termasuk dalam dimensi ekonomiknya, secara dini selalu menegaskan tentang adanya relasi kuat, sangat mendasar dan tak terelakkan di antara tiga realitas utama. Tiga realitas itu adalah Allah (metakosmos), dunia (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Allah adalah realitas hakiki, sementara dunia dan manusia adalah realitas derivasi. Setiap realitas hanya dapat dipahami melalui berbagai relasinya dengan realitas-realitas lainnya. Dan setiap yang muncul dari ketiganya selalu merupakan akibat dari relasi-relasi. Dalam bingkai inilah saya bermaksud menguraikan jawaban atas pertanyaan di atas.

Comments

Popular posts from this blog