Skip to main content

Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif

Hadiṡ sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan) dan hal ihwalnya[1], merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur’an. Cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk mematuhi utusan Allah, mengikuti petunjuk-petunjuknya serta meneladani kehidupannya. Di antara ayat tersebut adalah Q.S Ali Imran: 32, Q.S Al-Hasyr: 7, Q.S An-Nisaa’: 80 dan Q.S Al-Ahzab: 21. Di antara hadiṡ dengan Al-Qur’an, memiliki kaitan yang erat, yang untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan persial. Hal ini karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di dalamnya berisi garis-garis besar syariat Islam, sedangkan hadiṡ merupakan mubayyin atau penjelas terhadap Al-Qur’an dan memberikan gambaran kongkrit tentang batas-batas yang dinyatakan oleh Al-Qur’an pada Q.S Al-An’am: 38, Q.S Al-A’raf: 52, Q.S Yusuf: 111 dan Q.S An-Nahl: 44[2]. Dengan demikian seseorang tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa memahami dan menguasai hadiṡ, begitu pula halnya menggunakan hadiṡ tanpa Al-Qur’an.

Dalam memberikan penjelasan terhadap Al-Qur’an, hadiṡ Nabi dapat saja berbentuk perkataan langsung dari Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan istilah hadiṡ qauly. Dan pada saat yang berbeda dapat berbentuk perbuatan Nabi Muhammad SAW yang kemudian dipahami oleh para sahabat sebagai hadiṡ fi’ly. Ada kalanya, sikap nabi tersebut berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW dalam bentuk mendiamkan atas perilaku atau pendapat yang dimaknai menyetujui terhadap para sahabatnya, yang hal ini lantas dikenal sebagai hadiṡ taqriry. Dalam perspektif yang berbeda, hadiṡ dapat saja berupa penjelasan yang dideskripsikan oleh para sahabat Nabi terkait karakteristik, keadaan dan karakter Nabi yang kemudian dikenal dengan istilah hadiṡ ahwaly. Pun, hadiṡ-hadiṡ Nabi Muhammad SAW dapat berupa keinginan atau adicita Nabi yang belum sempat terealisasikan yang hal ini kemudian dikenal sebagai hadiṡ hammy[3].

Mencermati fakta sejarah bahwa kehidupan Nabi Muhammad SAW semenjak bi’ṡah hingga wafatnya yang memakan rentang waktu cukup panjang, yakni kurang lebih 23 tahun, maka sangat dimungkinkan bahwa apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW pada suatu saat akan berbeda dengan yang disampaikan pada saat yang lain karena perbedaan situasi dan kondisinya[4]. Di samping itu, para sahabat di dalam merekam perkataan, perbuatan, taqrir, sifat dan hal-ihwal Nabi Muhammad SAW antara satu dengan yang lainnya tentu saja tidak sama. Beberapa penyebab perbedaan penerimaan para sahabat tersebut karena adanya kesenjangan daya intelektualitas, durasi kebersamaan mendampingi Nabi dan perbedaan-perbedaan perspektif serta persepsi karena faktor lainnya. Beberapa perbedaan persepsi tersebut pada kasus tertentu pada gilirannya yang sampai pada generasi berikutnya pun akan mengalami perbedaan penafsiran pula lantaran perbedaan sanad atau jalur penyampainnya. Oleh karena itu, perbedaan penafsiran tersebut, hadiṡ yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW sebenarnya bersifat parsial, subyektif dan tidak komprehensif[5]. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan bagi umat Islam, manakah hadiṡ yang harus digunakan sebagai argumentasi, dan mana pula hadiṡ yang tidak bisa dijadikan hujjah atau argumentasi.

Pada dasarnya, jika dilihat dari kedudukan kehujjahan suatu hadiṡ, maka hal ini secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam: pertama, hadiṡ maqbul yaitu hadiṡ yang memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah. Kedua, hadiṡ mardud yaitu hadiṡ yang tidak memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah, maka itu harus ditolak. Menurut ulama ahli hadiṡ, yang termasuk kategori pertama adalah hadiṡ ṣahih dan hadiṡ hasan, sedangkan yang termasuk pada kategori kedua adalah hadiṡ dha’if. Namun demikian, bukan berarti hadiṡ-hadiṡ yang termasuk maqbul itu lantas bebas sama sekali dari permasalahan.

Di antara persoalan yang sering mengemuka adalah adanya hadiṡ-hadiṡ yang antara satu riwayat dengan riwayat yang lain saling bertentangan (ta’ārudh), baik dalam arti berlawanan (tanāqudh) atau dalam arti tidak sejalan (ikhtilāf). Fenomena inilah yang oleh ulama ahli hadiṡ diistilahkan sebagai hadiṡ mukhtalif, muhtalif al-hadiṡ, ikhtilaf al-hadiṡ, musykil al-hadiṡ[6] atau ta’arruḍ al-hadiṡ[7]. Sedangkan ilmu yang membahas tentang hadiṡ kontradiktif (ikhtilāf al-hadiṡ) ini disebut secara beragam dengan istilah Ilmu Musykil al-Hadiṡ, Ilmu Ikhtilaf al-Hadiṡ, Ilmu Ta’wil al-Hadiṡ ataupun Talfiq al-Hadiṡ. Semua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama. Al-Sakhawiy menandaskan bahwa ilmu mukhtalif ini merupakan perangkat ilmu yang terpenting di samping ilmu hadiṡ yang lain. Karena jika seseorang yang membaca atau memahami hadiṡ tanpa adanya bantuan ilmu ini, seseorang dapat mengatakan suatu hadiṡ yang ṡahih menjadi ḍa’if dan sebaliknya, jika menemukan hadiṡ yang tampaknya bertentangan. Dalam penjelasannya al-Sakhawiy menuturkan ”Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di berbagai disiplin ilmu. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus sebagai imam yang memadukan antara hadiṡ dan fikih dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam[8].  

 Terminogi Hadiṡ Kontradiktif

Istilah hadiṡ kontradiktif (ikhtilāf al-hadiṡ) secara etimologis merupakan kata majemuk yang dalam bahasa Arab terdiri dari kata ikhtilāf dan hadiṡ. Lafadz ikhtilāf sendiri merupakan wazan masdar dari fi’il māḍi, yaitu ikhtalāfa yang mengandung makna bertentangan, berlawanan, berselisih atau menggantikan. Jika ditelusuri, lafadz ikhtilāf ini bersumber dari susunan khalāfa-yakhlufu-khilāfatan yang bermakna menggantikan[9]. Ada pendapat yang lainnya, bahwa lafadz ikhtilāf berasal dari wazan khalāfa-yakhlufu-khalfan yang bermakna belakang[10]. Alhasil, pemaknaan ikhtilāf mengandung arti perselisihan untuk didialogkan atas hal-hal yang berbeda[11].

Adapun mukhtalif menurut bahasa adalah isim fa’il dari ikhtilāf (berbeda) yang merupakan lawan dari ittifaq (sesuai) [12], maksudnya hadiṡ- hadiṡ yang sampai kepada kita dan berbeda satu sama lain dalam makna, tegasnya: maknanya saling bertentangan[13]. Sedangkan menurut istilah:

الْعِلْمُ الَّذِيْ یَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِیْثِ الَّتِيْ ظَاھِرُھَا مُتَعَارِضٌ فَیُزِیْلُ تَعَارُضَھَا أَوْ یُوَفِّقُ بَیْنَھَا كَمَا یَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِیْثِ الَّتِيْ یَشْكُلُ فَھْمُھَا أَوْ تَصَوُّرُھَا فَیَدْفَعُ أَشْكَالَھَا وَیُوَضِّحُ حَقِیْقَتَھَا.

Ilmu yang membahas hadiṡ-hadiṡ yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di samping membahas hadiṡ yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.

 

Sementara, Muhammad Thahhan mendefenisikan mukhtalif hadiṡ sebagaimana berikut[14]:

الحدیث المقبول المٌعَارَض بمثله مع إمكان الجمع بینھما

Hadiṡ maqbul yang saling bertentangan dengan yang semisalnya, sehingga kemungkinan kedua hadiṡ tersebut bisa dikompromikan.

 

Ulama hadiṡ mengemukakan, tidak selamanya hadiṡ yang bertentangan dianggap suatu yang mukhtalif. Oleh karena itu, untuk memberikan batasan terhadap hadiṡ yang termasuk dalam kategori mukhtalif maka ulama hadiṡ memberikan beberapa syarat:

1.      Hadiṡ tersebut sama-sama berkualitas maqbūl, lawan dari mardūd. Karena hadiṡ mardūd tidak termasuk dalam kategori mukhtalif al-hadiṡ.

2.      Membicarakan tentang objek yang sama, satu hadiṡ menyatakan larangan dan satu hadiṡ menyatakan kebolehan terkait objek yang sama.

2.    Klasifikasi Ikhtilāf al-Hadiṡ

Secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan mukhtalaf atau ikhtilāf. Sedangkan dalam istilah ahli hadiṡ, mukhtalif hadiṡ (dengan dibaca kasrah huruf lam) adalah hadiṡ yang secara ẓahir tampak saling bertentangan dengan hadiṡ lain. Dan dengan dibaca fathah lam-nya adalah dua hadiṡ yang secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa mukhtalif al-hadiṡ adalah esensi hadiṡ itu sendiri, sedangkan mukhtalaf al-hadiṡ adalah pertentangannya. Hal ini sebagaimana deskripsi Imam Al-Suyuṭi yang menyebutkan dalam kitab Tadrib al-Rāwi, bahwa hadiṡ-hadiṡ mukhtalif merupakan dua buah hadiṡ yang saling bertentangan pada makna ẓahirnya, maka di antara kedua hadiṡ tersebut dikompromikan atau di-tarjih salah-satunya. Ilmu ini merupakan sebuah pengetahuan antara fikih dan hadiṡ sehingga sampai kepada sebuah pengambilan kesimpulan yang benar[15].

Para imam dan tokoh kritikus hadiṡ secara umum membagi hadiṡ yang mengandung problem ke dalam dua kategori. Kelompok pertama, adalah hadiṡ-hadiṡ mukhtalif yang dapat dikompromikan dan diambil titik temunya. Kelompok pertama inilah yang terbanyak jumlahnya. Kelompok kedua, adalah hadiṡ-hadiṡ mukhtalif yang sama sekali tidak dapat dikompromikan dan tidak diambil titik temunya. Hadiṡ ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah satu dari hadiṡ yang bertentangan itu merupakan nasikh sedangkan yang lain mansukh, maka nasikh diamalkan dan mansukh ditinggalkan. Kedua, tidak ada tanda dan petunjuk bahwa salah-satu riwayat itu merupakan nasikh dan yang lain mansukh. Maka jalan penyelesaiannya adalah dengan tarjih. Apabila kedua hadiṡ mukhtalif sama kuatnya dan tidak dapat dikompromikan atau diambil titik temunya, maka keduanya dihukumi sebagai hadiṡ muḍṭarib[16].

Prinsip pokok dalam penyelesaian hadiṡ-hadiṡ yang saling bertentangan, menurut jumhur ushuliyyun urutannya sebagai berikut:

a.      Al-Jam’u wa al-Taufiq

Salah satu hal penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan hadiṡ-hadiṡ yang tampak bertentangan serta menggabungkan antara hadiṡ satu dengan hadiṡ lainnya, meletakkan masing-masing hadiṡ sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, tidak saling bertentangan. Maksudnya adalah penyelesaian hadiṡ-hadiṡ yang tampak (makna lahiriahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing. Sehingga maksud yang sebenarnya yang dituju oleh yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan.

Metodologi Imam Syafi’i dalam menyelesaikan hadiṡ-hadiṡ mukhtalif dalam bentuk jam’u wa al-taufiq ditempuh dengan beberapa tahapan[17]. Pertama, penyelesaian dengan pendekatan kaidah uṣul fikih dengan memperhatikan lafadz ‘am dan khaṣ[18], muṭlaq dan muqayyad[19] dan lainnya. Kedua, penyelesaian dengan pemahaman kontekstual, yaitu memahami hadiṡ-hadiṡ Rasulullah SAW. dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa (situasi yang melatarbelakangi munculnya sebuah hadiṡ tersebut), dengan kata lain memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Ketiga, penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif, mengkaji hadiṡ-hadiṡ mukhtalif bersama hadiṡ lain terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna satu dengan yang lainnya, agar maksud yang dituju dari hadiṡ-hadiṡ tersebut dapat dipahami dengan baik. Keempat, penyelesaian dengan cara takwil, maksudnya menakwilkan hadiṡ dari makna lahiriyah yang tampak bertentangan kepada makna lain karena adanya dalil, sehingga pertentangan yang tampak itu dapat ditemukan pengkompromiannya.

Sementara itu Hasbi al-Shiddieqy menggunakan kata jama’ atau taufiq yang diartikan mengumpulkan dua hadiṡ yang bertentangan. Apabila kelihatan pertentangan antara dua hadiṡ, maka hendaklah peneliti hadiṡ berusaha untuk mengumpulkan atau mentaufiqkan antara keduanya. Imam al-Nawawi mengatakan, ikhtilāf al-hadiṡ ialah datangnya dua hadiṡ yang berlawanan maknanya pada lahirnya lalu ditaufiqkan (dikumpulkan) antara keduanya atau ditarjihkan salah satu diantara kedua hadiṡ yang bertentangan. Sedangkan al-Qarafi mengartikan al-jam’u sebagai mengkompromikan hadiṡ-hadiṡ yang tampak bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya masing-masing. Dari sekian definisi tentang al-jam’u dapat disimpulkan bahwa al-jam’u adalah usaha yang dilakukan guna mengkompromikan antara dua hadiṡ dan yang secara ẓahir tampak bertentangan yang kemudian kedua hadiṡ tersebut diamalkan secara bersama-sama tanpa meniadakan salah satunya dengan melihat seginya masing-masing.

b.      Tarjih

Secara bahasa tarjīh ialah tafḍī yaitu mengutamakan, taqawiyah yaitu menguatkan. Menurut istilah ahli hadiṡ[20]:

Menjadikan rajih salah-satu dari dua hadiṡ yang berlawanan yang tak bisa dikumpulkan, dan menjadikan yang sebuah lagi marjuh, dengan karena ada sesuatu sebab dari sebab-sebab tarjih

Defenisi lain menyebutkan, yaitu memperbandingkan hadiṡ-hadiṡ yang tampak bertentangan yang bisa dikompromikan dan tidak pula terkait sebagai nāsikh dan mansūkh, dengan mengkaji lebih jauh hal-hal yang terkait dengan masing-masingnya agar dapat diketahui mana sebenarnya di antara hadiṡ-hadiṡ tersebut yang lebih kuat atau lebih tinggi nilai hujjahnya dibanding dengan yang lain, untuk selanjutnya dipegang dan diamalkan yang kuat dan ditinggalkan yang lemah[21].

Metode yang kedua, yaitu tarjīh (memilih atau mengunggulkan yang satu atas yang lain), cara ini dilakukan apabila tidak memungkinkan untuk melakukan metode pertama, dan tidak ditemukan dalil untuk melakukan metode yang kedua, maka yang harus dilakukan adalah melakukan metode yang ketiga (tarjīh) terhadap dalil mana yang lebih kuat atau unggul atas kedua hadiṡ tersebut berdasarkan dalil atau keterangan, bukan berdasarkan nafsu atau keinginan semata.

Adapun jalan untuk mentarjih dua dalil yang tampaknya bertentangan itu dapat ditinjau dari beberapa segi, pertama, segi sanad (i’tibar al-sanad). Kedua, segi matan (i’tibar al-matan). Ketiga, segi penunjukkan (madlul), misalnya, madlul yang positif, merajihkan yang negatif (didahulukan mutsbitala al-nāfi). Keempat, dari segi luar (al-umūr’ul kharijah), misalnya dalil quliyah merajihkan dalil fi’liyah.

c.       Al-Naskh

Metode yang ketiga yaitu al-Naskh (menghapus) artinya ketika tidak dimungkinkan untuk dilakukan al-Jam’u wa al-Taufiq (menggabungkan dan mengkompromikan) antara dua hadiṡ tersebut, maka yang harus dilakukan adalah melihat dari sisi sejarah, untuk mengetahui mana hadiṡ yang lebih akhir dan mana hadiṡ yang lebih dulu, dan yang lebih akhir akan mengahapus yang lebih dulu, hal ini dikenal sebagai metode al-Naskh wa al-Mansukh[22].

Maksud bahwa suatu hukum yang sebelumnya berlaku kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi oleh syar’i (Allah dan RasulNya), yakni dengan didatangkannya dalil syar’i yang baru yang membawa ketentuan lain dari yang berlaku sebelumnya. Hukum lama lama yang tidak berlaku lagi disebut mansūkh, sedangkan hukum yang baru datang disebut nāsikh[23].

Ulama yang membolehkannya nasakh, mengemukakan beberapa syarat, pertama, yang di nasakh itu adalah hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah, bukan hukum ‘aqli dan bukan yang menyangkut hal ‘aqidah. Kedua, dalil yang menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara terpisah dan terkemudian dari dalil yang di-nasakh. Kekuatan kedua dalil itu adalah sama, dan tidak mungkin untuk dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum yang dinasakh tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya, karena pemberlakuan secara tetap mentup kemungkinan pembatalan berlakunya hukum dalam suatu waktu.

Adapun cara untuk mengetahui adanya nasakh suatu hadis di antaranya : a). Dengan penjelasan dari nash atau sya͂ ri’, dalam hal ini penjelasan langsung dari Rasulullah SAW. b). Dengan penjelasan dari sahabat. c). Dengan mengetahui tarikh diucapkannya hadis tersebut[24].

d.      Tawaqquf

Yaitu mendiamkan dan tidak mengamalkan dan tidak mengamalkan hadis-hadis tersebut sampai ada dalil-dalil yang menunjukkan keabsahan hadis tersebut.

 

C.    Penutup

Suatu hadis dapat dikategorikan saling kontradiksi jika hadis tersebuti tergolong hadis maqbūl. Meski demikian, harus dipahami bahwa kontradiksi yang terjadi hanya sebatas pada arti tekstualnya bukan makna kontektual. Selain itu, masing-masing dari hadis yang saling kontradiksi bisa dijadikan sebagai hujjah bagi penetapan sebuah hukum, sangat mungkin dilakukan pengkompromian atau pengunggulan terhadap salah satu hadis yang saling kontradiksi, hukum yang ditetapkan hadis yang kontradiksi tersebut saling berlawanan, obyek kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama, masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan tersebut sama. Apabila semua persyaratan itu sudah terpenuhi semua, maka solusi penyelesaiannya adalah dengan melakukan salah satu dari metode al-jam‘u, al-taufîq, al-naskh, al-tarjîh, dan al-tawaqquf.

Namun demikian, para sarjana muslim masih berdebat tentang urutan dalam mengaplikasikan metode-metode tersebut. Mayoritas ulama hadis, lebih dahulu mencoba untuk menggunkan metode al-jam‘u dalam menyelesaikan mukhtalaf al-hadis, kemudian dilanjutkan dengan metode al-naskh, al-tarjîh, dan al-tawāquf. Sedangkan ulama yang berafiliasi dengan mazhab Hanafîyah, lebih suka menerapkan metode al-naskh terlebih dahulu, kemudian al-tarjīh, dan al-jam‘u, jika kesemuanya tidak dapat menyelesaikan hadis yang kontradiktif, maka ditangguhkan (al-tawaqquf).

 

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Uṣul al-Fiqh (Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958. Beirut: Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958.

Al-Hammad, Nafiz Husain. Mukhtalif Hadits bain al-Fuqaha wa al-Muhadditsin. Al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1993.

Al-‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. Mujiyo. Bandung: Rosda Karya, 2012.

Al-Khaṭib, Muhammad Ajaj. Uṣūlu Al-Hadiṡ, ‘Ulūmuhu wa Musṭalāhuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 1989.

Al-Shiddiqy, Hasbi. Pokok-Pokok Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif. 2 ed. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Al-Suyuthi, Abdirrahman bin Abi Bakar. Tadrib al-Rawi fı͂ Syarhi Taqrib al-Nawawi. 1 ed. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992.

Al-Syafi’i, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Idris. Ikhtilaf al-Hadiṡ. Muhammad Ahmad Abdul Aziz. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986.

Al-Zuhaily, Wahbah. Ushulu al-Fiqh al-Islamy. Damaskus: Dar al_Fikri, 1986.

Anas, Mohamad. “Metode Memahami Hadis-hadis Kontradiktif.” MUTAWATIR 3, no. 1 (9 September 2015): 123. https://doi.org/10.15642/mutawatir.2013.3.1.123-139.

Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i.” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014): 183–201.

Daynury, Al-Imam Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-. Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Muhammad Abd al-Rahim. Beirut: Dar al-Fkr, 1995.

Isa, Abdul Jalil. Mā Lā Yajūzu fīhi al-Khilāf baina al-Muslimīn. Kuwait: Dār al-Bayan, 1969.

Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Jauzy, Al-‘Alamah Abi al-Faraj al-. Al-Tahqiq fi al-Hadiṡ al-Khilaf. Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.

Khariri, KH. Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif. 1 ed. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009.

Khayyath, Usamah bin ‘Abdullah. Mulhtalif al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al- Usuliyyin al-Fuqaha’. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2001.

Manzhur, Ibnu. LIsan al-’Arab. Vol. 3. Kairo: Dar al-Hadits, 2003.

Qusthalaani, Imam. “Studi Kontradiksi pada Matan Hadis.” Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial 15, no. 1 (2017): 115–29.

Rahman, Fathur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadits. Bandung: Al-Ma’arif, 1995.

Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.

Ṣalih, Ṣubhy. ‘Ulūm al-Hadiṡ wa Musṭalahuhu. Beirut: Dār al-‘Ilmi li al-Malayin, 1988.

Ṣihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995.

Suhefri, Suhefri. Nasakh al-Hadits Menurut Imam Syafi’i. Jakarta: Bina Pratama, 2007.

Tahhan, Mahmud al-. Taesiru al-Mushtalah al-Hadits. Surabaya: Bungkul Indah, t.t.

Takwallo, Takwallo. “Studi komparasi metode penyelesaian Hadis Mushkil menurut Ibn Furak (w. 406 H) dan Ibn Al Jawzi (w. 597 H).” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.

Thahhan, Mahmud al-. Taisir Musthalah al-Hadits. Iskandariyah: Markaz al-Huda al- Dira͂sat, 1405.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1972.

 



[1] Ṣubhy Ṣalih, ‘Ulūm al-Hadiṡ wa Musṭalahuhu (Beirut: Dār al-‘Ilmi li al-Malayin, 1988), 3; Mahmud al-Tahhan, Taesiru al-Mushtalah al-Hadiṡ (Surabaya: Bungkul Indah, t.t), 15; Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadiṡ (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 27.

[2] Muhammad Abu Zahrah, Uṣul al-Fiqh (Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958 (Beirut: Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958), 112; Wahbah Al-Zuhaily, Ushulu al-Fiqh al-Islamy (Damaskus: Dar al_Fikri, 1986), 461; Muhammad Ajaj Al-Khaṭib, Uṣūlu Al-Hadiṡ, ‘Ulūmuhu wa Musṭalāhuhu (Beirut: Dār al-Fikr, 1989), 34; Muhammad Quraish Ṣihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 122.

[3] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadiṡ (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), 6–12; Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadiṡ (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 12–19.

[4] Abdul Jalil Isa, Mā Lā Yajūzu fīhi al-Khilāf baina al-Muslimīn (Kuwait: Dār al-Bayan, 1969), 66–71.

[5] KH. Khariri, Metode Penyelesaian Hadits Kontradiktif, 1 ed. (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009), 1–5.

[6] Al-Imam Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Daynury, Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, Muhammad Abd al-Rahim (Beirut: Dar al-Fkr, 1995), 86–308; Al-‘Alamah Abi al-Faraj al-Jauzy, Al-Tahqiq fi al-Hadiṡ al-Khilaf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 493–97; Al-Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadiṡ, Muhammad Ahmad Abdul Aziz (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 46–50.

[7] Mohamad Anas, “Metode Memahami Hadiṡ-Hadiṡ Kontradiktif,” Mutawatir 3, no. 1 (9 September 2015): 124, https://doi.org/10.15642/mutawatir.2013.3.1.123-139.

[8] Nafiz Husain Al-Hammad, Mukhtalif Hadits bain al-Fuqaha wa al-Muhadditsin (Al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1993), 83.

[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1972), 120.

[10] Ibnu Manzhur, LIsan al-’Arab, vol. 3 (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), 184.

[11] Imam Qusthalaani, “Studi Kontradiksi pada Matan Hadiṡ,” Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial 15, no. 1 (2017): 117.

[12] Usamah bin ‘Abdullah Khayyath, Mulhtalif al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Usuliyyin al-Fuqaha’ (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2001), 25.

[13] Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits (Iskandariyah: Markaz al-Huda al- Dira͂sat, 1405), 46.

[14] Al-Khaṭib, Uṣūlu Al-Hadiṡ, ‘Ulūmuhu wa Musṭalāhuhu, 283.

[15] Abdirrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fı͂ Syarhi Taqrib al-Nawawi, 1 ed. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 310.

[16] Nuruddin Al-‘Itr, Ulum al-Hadits, Mujiyo (Bandung: Rosda Karya, 2012), 351–54.

[17] Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadiṡ-Hadiṡ Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014): 189–94.

[18]am adalah suatu kata yang pemakaiannya mencakup seluruh afrad atau satu yang tercakup dalam arti kata tersebut. Sedangkan khas suatu kata yang pemakaiannya, hanya untuk sebagian makna yang dicakup oleh kata tersebut. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2008),  2, 47-48

[19] Muṭlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya, tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Adapun bedanya dengan ‘am, adalah ‘am itu bersifat syumul dan muṭlaq bersifat badali. Sedangkan muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafadz itu suatu sifat. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 116-119.

[20] Hasbi Al-Shiddiqy, Pokok-Pokok Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif, 2 ed. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 277.

[21] Suhefri Suhefri, Nasakh al-Hadits Menurut Imam Syafi’i (Jakarta: Bina Pratama, 2007), 56.

[22] Takwallo Takwallo, “Studi komparasi metode penyelesaian Hadis Mushkil menurut Ibn Furak (w. 406 H) dan Ibn Al Jawzi (w. 597 H)” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), 50.

[23] Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” 195.

[24] Bay, 196.

Comments

Popular posts from this blog