Skip to main content

Jaminan Produk Halal: Labelisasi Haram Lebih Tepat

Masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk dalam sistem perdagangan internasional mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia, sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN-AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. 

Gaya hidup halal saat ini sedang melanda dunia. Tidak hanya menggejala pada negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi juga negara berpenduduk mayortas non muslim. Perusahaan berskala global juga saat ini telah menerapkan sistem halal. Sebut saja seperti Japan Airlaines, Singapore AirLines, Qantas, America Airlines, yang menyediakan menu halal (Moslem meal). 

Gejala halal juga merambah negara Amerika, Australia, Jepang, Cina, India, dan negara-negara Amerika Latin Pada tahun 2010 di London telah dilaksanakan World Halal Forum Europe, dimana dalam forum tersebut dihadirkan banyak ahli, termasuk ahli hukum. Perkembangan teoritis dan praksis dipertemukan menyangkut isu utama yang dibahas, yaitu: “Halal Products and Services–Going Mainstream”. Dari isu utama tersebut dibicarakan 6 (enam) topik, yaitu: (1) Akreditasi dan sertifikasi halal internasional; (2) Isu dan tantangan pasar Uni Eropa; (3) Masalah jaminan keamanan dan kualitas pangan bagi pelaku usaha produk halal; (4) Pentingnya pertumbuhan sektor halal dalam iklim ekonomi saat itu (hingga saat ini); (5) Pertumbuhan produk halal di pasar retail Uni Eropa dan Inggris (UK); serta (6) Pengaruh perubahan tingkat preferensi dan kepedulian konsumen. 

Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH) sesungguhnya semakin mempertegas betapa mendesaknya persoalan halal-haram dalam rantai produksi dari pelaku usaha hingga sampai di tangan konsumen dan dikonsumsi oleh konsumen, dimana terdapat pula peran pihak perantara seperti distributor, subdistributor, grosir, maupun pengecer sebelum sampai ke tangan kosnumen akhir. 

Pemberlakuan UUJPH bertujuan agar pihak konsumen (masyarakat luas) mendapatkan kepastian hukum terhadap produk makanan dan barang konsumsi lainnya. Sedangkan bagi pelaku usaha, hadirnya UUJPH memberikan panduan bagaimana mengolah, memproses, memproduksi, dan memasarkan produk kepada masyarakat konsumen, serta bagaimana membuat informasi produk halal kepada konsumen. Pengaturan Produk Halal sebelum Undang-Undang Jaminan Produk Halal ditandai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan dalam konsiderannya bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang  berkualitas. Oleh karena itu, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang. 

Secara eksplisit dalam UU Pangan bahkan menyatakan bahwa penyediaan pangan yang tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pengaturan tentang produk halal tidak secara eksplsit diatur oleh UU Kesehatan. UU Kesehatan hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam memproduksi, mengolah serta mendistribusikan makanan dan minuman hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan terjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan lingkungan. Selain itu, setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU Konsumen) asas dari per lindungan konsumen meliputi asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Di sini konsumen secara eksplisit berhak mendapatkan jaminan perlindungan hukum dari adanya undang-undang. Pasal 4 UU Konsumen menetapkan hak-hak konsumen yaitu sebagai berikut: 
a. hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; 
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 
d. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;  f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;  
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif;  
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan  
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundangundangan lainnya 

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pengaturan mengenai label pangan PP  tersebut tertuang dalam Bab II, yang terdiri dari lima belas bagian. Mandat yang sama dengan UU Pangan juga disebutkan dalam PP ini, yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) yang memerintahkan agar setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 1991 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1991 yang terbit tanggal 12 Juni 1991, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menteri Agama dan para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, untuk meningkatkan pembinaan dan pengawasan produksi dan peredaran makanan olahan. Instruksi Presiden tersebut antara lain menyatakan bahwa masyarakat perlu dilindungi  dari produk dan peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi mutu, kesehatan, keselamatan dan keyakinan agama. Agar pelaksanaan instruksi tersebut tercapai, perlu dilakukan peningkatan dan pengawasan kegiatan produksi, peredaran, dan/atau pemasaran makanan olahan yang dilakukan secara terus menerus dan terkoordinir. 

Keputusan Menteri dan Keputusan Bersama Menteri Selain peraturan perundang-undangan yang  disebut di atas, setidaknya ada 3 (tiga) keputusan menteri dan keputusan bersama menteri yang mengatur tentang pencantuman halal pada makanan, yaitu: 
a. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985, Nomor 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Lebel Makanan. 
b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 82/ MENKES/SK/I/1996 tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 924/MENKES/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes RI Nomor 82/Menkes/SK/1996. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Kesehatan Nomor 472/MENKES/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68/1985 tentang pengaturan tulisan “halal” pada label makanan. 

Beberapa faktor yang mendasari pentingnya UU-JPH antara lain, pertama berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat mengkonsumsi produk halal, sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam membedakan antara produk yang halal dan produk yang haram. Selain itu, pengaturan produknya masih sangat terbatas hanya soal pangan dan belum mecakup obat-obatan, kosmetika, produk kimia biologis, maupun rekayasa genetik. Kedua, tidak ada kepastian hukum kepada institusi mana keterlibatan negara secara jelas di dalam jaminan produk  halal. 

Sistem yang ada belum secara jelas memberikan kepastian wewenang, tugas, dan fungsi dalam kaitan implementasi JPH, termasuk koordinasinya. Ketiga, peredaran dan produk di pasar domestik makin sulit dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknomoli, bioteknologi, dan proses kimia biologis. Keempat, produk halal Indonesia belum memiliki standar dan tanda halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana di Singapura, Amerika Serikat, dan Malaysia. Kelima, sistem informasi produk halal belum sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang produk-produk yang halal. 

Comments

Popular posts from this blog