Skip to main content

Pedoman Operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) Berbasis Pondok Pesantren

Kapasitas ekonomi inklusif merupakan prioritas diskursus yang menjadi fokus kebijakan bagi sejumlah negara-negara ‘kekuatan baru’ di dunia. Pengerjaan sektor ekonomi inklusif kerakyatan ini kemudian menstimulasi gerakan kewirausahaan sipil dalam bentuk penyelenggaraan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pada sisi lain, digitalisasi kinerja pasar dan teknologi keuangan (financial technology atau fintech) terbukti mampu menerobos sejumlah kendala teknis UMKM untuk beroperasi secara efektif dan mampu mendatangi pasar potensial secara personal[1].

UMKM sebagai entitas berkembangnya ekonomi kerakyatan, pada perjalanannya bukannya ikhtiar yang tanpa hambatan. Akses modal, jaringan pasar dan kapasitas produksi masih menjadi kendala laten dalam peningkatan kapasitas volume pelaku usaha di tengah masyarakat[2]. Pemerintah dalam hal ini telah cukup baik dengan menginisiasi pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk membuka akses ekonomi secara langsung kepada rakyatnya. Sebagaimana dipahami, desa adalah jangkauan terdekat sistem administrasi pemerintahan terkecil di negara Indonesia. Namun demikian rilis program ini bukan berarti sepi dari masalah, sejumlah temuan yang melibatkan perangkat pemerintah desa pun marak ditemukan[3].

Dalam keterangan Pemerintah yang disampaikan Presiden Joko Widodo atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019 pada saat Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan pada Kamis, 16 Agustus 2019 bahwa dalam periode 2015 hingga semester satu tahun 2018, Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah disalurkan sebesar Rp. 229,9 triliun dengan nilai realisasi subsidi bunga KUR sebesar Rp. 32,1 triliun dan sudah dinikmati oleh 12,3 juta UMKM. Disebutkan bahwa dana bergulir ultra mikro untuk masyarakat bawah telah tersalur Rp. 1,1 triliun kepada 392,1 ribu usaha mikro. Sementara pada tahun 2019, Pemerintah bermaksud terus meningkatkan bantuan kepada UMKM dan koperasi melalui subsidi KUR hingga mencapai Rp. 12,2 triliun dan dana bergulir bagi usaha ultra mikro sebesar Rp. 3 triliun. Hal ini diharapkan nantinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 5,3%[4].

UMKM sendiri merupakan obyek sasaran kerja BUMDes yang mengampu fungsi intermediat dalam hal permodalan bagi UMKM dalam suatu wilayah desa. Di sisi lain, BUMDes diharapkan memiliki produk kreatif lokal yang dapat dioptimalkan sebagai domain produksi desa tersebut. Dalam hal ini konsepsi ekonomi kreatif setidaknya bersumber pada lima sumber kekuatan moderasi pengembangan yang saling menopang, yaitu: industri, teknologi, resources, institusi dan financial intermediary[5]. Namun demikian, merujuk pada premis di atas menunjukkan bahwa pengaruh BUMDes terhadap pertumbuhan UMKM masih belum signifikan. Pemerintah, dalam hal pemberdayaan UMKM ini, baru pada 20 Oktober 2017 tergerak memperhitungkan sumber daya utama multi dimensi di negara ini, yaitu pondok pesantren.

Pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengisi ruang strategis pemberdayaan masyarakat melalui inisiasi Lembaga Keuangan Syariah (LKMS) dengan menggandeng Bank Syariah Mandiri (BSM) menyelenggarakan Bank Wakaf Mikro[6]. Sebagai permulaan, sejauh ini pemerintah telah mendirikan model bisnis LKMS ini pada 10 pondok pesantren. LKMS ini telah diberi izin dan diawasi oleh OJK. Sepuluh LKM Syariah di lingkungan Pondok Pesantren tersebut adalah: 1. LKM Syariah KHAS Kempek, Cirebon. 2. LKM Syariah Buntet Pesantren, Cirebon. 3. LKM Syariah Berkah Bersama Baiturrahman, Bandung. 4. LKM Syariah Ranah Indah Darussalam, Ciamis. 5. LKM Syariah Amanah Berkah Nusantara, Purwokerto. 6. LKM Syariah Bank wakaf Alpansa, Klaten. 7. LKM Syariah Almuna Berkah Mandiri, DIY. 8. LKM Syariah Berkah Rizqi Lirboyo, Kediri. 9. LKM Syariah Denanyar Sumber Barokah, Jombang. 10. LKM Syariah An Nawawi, Banten[7]. Misi dari lembaga finansial berbasis pesantren ini adalah optimalisasi serapan pembiayaan kepada masyarakat sekitar pesantren dalam bentuk dukungan modal kerja dan pemberdayaan UMKM[8].

Dalam persiapan-persiapan pengembangan instrumen kelembagaan pendidikan Islam di Kabupaten Banyumas, Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh teridentifikasi telah mempersiapkan proses perluasan kiprah kelembagaannya ke berbagai sektor sosial dan pemberdayaan ekonomi[9]. Terkait hal ini, kelas santripreneur sangat potensial diberdayakan ke ranah praksis, yaitu dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah[10]. Dari analisis pra pengabdian masyarakat yang tim pengabdian IAIN Purwokerto laksanakan, Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh dalam kapasitasnya sebagai pesantren mitra dipandang sangat membutuhkan kontribusi dari kalangan akademisi dan praktisi di bidang pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah ini. Demikianlah kiranya latar belakang pengabdian masyarakat dari tim pengabdian IAIN Purwokerto pada kesempatan kali ini.

1.      Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan[1]. Sedangkan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) adalah lembaga keuangan mikro yang beroperasi pada masyarakat menengah dan bawah, umat muslim di Indonesia mulai sadar untuk melakukan kegiatan ekonomi dan mengolah sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan prinsip syariah. Keberadaan LKMS diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dan memberikan kemudahan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak[2]. Lembaga Keuangan Mikro syariah (LKMS) terdiri dari beberapa lembaga, diantaranya adalah BPRS (Bank Perkreditan Mikro Syariah), BMT (Baitul Mal Wat Tanwil), dan Koperasi Syariah. Ketiga lembaga tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan saling mempengaruhi antara satu sama lain serta berhubungan erat dengan lembaga syari’ah yang lebih besar.

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) merupakan kelompok atau lembaga organisasi atau lembaga organisasi masyarakat yang menggalang dana dari para anggota, baik untuk tabungan dan zakat (sedekah) yang didistribusikan dalam bentuk pembiayaan komersial dan non-komersial. Dalam hal ini tujuannya adalah untuk memperkuat dan memberdayakan orang-orang yang secara ekonomi lemah (dhuafa) melalui balai usaha mandiri terpadu yang mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan produktif atas dasar tolong-menolong yang pengelolaannya menerapkan prinsip-prinsip syariah[3]. Aplikasi produk-produk yang ada pada LKMS pun tidak terlepas dari konsepsi akad yang ada dalam muamalah maaliyah, baik akad tabarru (altruistik) dan tijarah (komersial), sesuai dengan fungsi LKMS sebagai lembaga sosial dan komersil maka kedua bentuk akad tersebut diaplikasikan ke dalam produk-produk LKMS, KJKS atau BMT[4].

 

Pedoman Operasional LKMS

Terdapat perbedaan fundamental antara LKM Konvensional dengan LKM Syariah, antara lain sebagai berikut ini: 1) LKMS menerapkan sistem bagi hasil kepada nasabahnya dan tidak mengaplikasikan segala bentuk transaksi hutang piutang uang berbasis bunga, 2) Relasi partisipasi dalam menanggung resiko dan menerima hasil dari suatu akad bisnis merupakan hubungan antara LKMS dengan nasabahnya tidak berbentuk relasi debitur-kreditur, 3) LKMS memisahkan kedua kriteria pendanaan agar dapat dibedakan antara hasil yang di dapat dari pengelolaan dana sendiri dengan hasil yang diperoleh dari dana simpanan yang diterimanya berdasarkan prinsip bagi hasil, 4) LKMS memberikan layanan berdasarkan pola kemitraan seperti mudharabah atau musyarakah, jual-beli (murabahah) atau sewa (ijarah) serta tidak memberikan layanan hutang-piutang berbasis bunga dalam bentuk uang tunai, 5) LKMS merupakan lembaga keuangan multiguna yang berfungsi sebagai LKM komersial, LKM investasi dan pembagunan. 7) LKMS bekerja di bawah pengawasan Pengawas Syariah.

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit pembayaran berbagai transaksi jasa serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Sementara Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Sedangkan bentuk lembaga keuangan mikro dapat berupa: (1) Lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) Lembaga semi formal misalnya organisasi non-pemerintah, dan (3) Sumber-sumber informal lainnya. Menurut Bank Indonesia, LKM di Indonesia di bagi menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non-bank[5] . LKM yang berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa). Sedangkan yang bersifat non-bank adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.

Lembaga Keuangan Mikro Syariah atau biasa disingkat LKMS adalah lembaga lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan, kredit, dan jasa pembayaran berbagai transaksi jasa yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil yang dalam pengelolaannya mengunakan prinsip-pronsip syari’ah. Perkembangan LKMS di Indonesia merupakan aplikasi ratifikasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lembaga Keuangan Mikro berbentuk bank semisal Bank Pembiayaan Raksyat Syariah (BPRS), sementara lembaga keuangan mikro syariah yang tidak berbentuk bank, misalnya Baitul Maal wat Tamwil (BMT). Baitul Maal wat Tamwil (BMT) adalah lembaga keuangan mikro yang menghimpun dan menyalurkan dana anggota/masyarakat dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah yang bertujuan mencari keuntungan tanpa meninggalkan jiwa sosialnya[6].

Sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan khas Indonesia, pondok pesantren diyakini mempunyai kemampuan untuk meneguhkan keterkaitan dan integrasi kelompok masyarakat[7]. Secara umum, aktivitas LKM berbasis pondok pesantren dilandasi prinsip-prinsip syari’ah, sehingga dikenal sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS). Prinsip syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam yang antara lain mencakup prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, dzalim, riswah, dan obyek haram (Bank Indonesia, 2007). Relatif intensifnya interaksi sosial dalam pengelolaan LKMS ini diyakini berpengaruh positif pada kinerja LKMS. Dalam hal ini, pengukuran kinerja tersebut didasarkan atas/persepsi nasabah selaku pemanfaat LKMS yang didasarkan pada: (1) Meningkatnya aktivitas ekonomi sebagai akibat diterapkannya budaya organisasi dalam bentuk pelayanan syariah yang  berupa Shiddiq (jujur), tabligh (komunikatif), amanah (dipercaya), dan fathonah (profesional); (2) Kesejahteraan masyarakat baik dari sisi ekonomi maupun sosial; dan (3) Meningkatnya aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan[8].

 



[1] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro.

[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, cetakan ke-1 (Yogyakarta: Ekonosia, 2003), 103; Sumantoro Martowijoyo, “Kinerja Lembaga Keuangan Mikro dan Perilaku Masyarakat Pedesaan,” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 1, no. 4 (1999): 56.

[3] N. E. P. Saleh dan M. F. Kamarudin, “Sustainability of Islamic Micro Finance Institutions (IMFIs),” Universal Journal of Accounting and Finance 1, no. 2 (2013): 73.

[4] Nur Buchori, Koperasi Syariah, (Jakarta: Aufa Media, 2012).  22

[5] Wijono, Pemberdayaan Lembaga Keuanganmikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional; Upaya Konkrit Memutus Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan (edisi khusus). Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan. 2005.

[6] Sholahuddin, Muhammad dan Hakim Lukman, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah Kontemporer, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2008). Hal. 15.

[7] Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Terj Butche B Sanjoyo (Jakarta: LP3EM, 2002). Hal. 5.

[8] Ahmad Subaki, Imam Baehaqie & Faizal Ridwan Zamzany, Pengaruh Modal Sosial terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (LKMS) dan Kesejahteraan Masyarakat pada LKMS di Pondok Pesantren Al Islah, Kebupaten Cirebon, Jawa Barat, Prosiding dalam Rangkaian Seminar Internasional dan Call For Papers “Towards Excellent Small Business” Yogyakarta, 27 April 2011, Hal. 289.



[1] Nofita Wulansari dkk, Akslerasi Pertumbuhan Ekonomi Melalui Sinergi UMKM dan Good Governance di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper Ekonomi dan Bisnis (SNAPER EBIS 2017).  262.

[2] Rini Dwiyani Hadiwidjaja dan Noorina Hartati, “Tinjauan Umum Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Indonesia: Permasalahan dan Strategi,” 2017, 262.

[3] Rusman Nurjaman, “Melawan Korupsi dari Bawah: Strategi Penguatan Akuntabilitas Lokal dalam Pengelolaan Keuangan Desa,” Jurnal Masyarakat dan Budaya 20, No. 1 (2018): 31.

[4] https://www.suaramerdeka.com/news/baca/115613/dorong-pertumbuhan-ekonomi-pemerintah-akan-perkuat-umkm

[5] Kadek Januarsa Adi Sudharma, “Suatu Teladan untuk Mengembangkan Ekonomi Kreatif Desa,” Jurnal Hukum 3, No. 2 (2016): 172.

[6]https://republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/17/11/27/p02nr5415-ojk-jemput-bola-pembentukan-lkm-syariah-di-pesantren

[7]http://www.ekonomisyariah.org/6627/10-lembaga-keuangan-mikro-syariah-baru-berbasis-pesantren-siap-beroperasi/

[8] Susi Handayani, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan UMKM dalam Memilih Lembaga Keuangan Mikro sebagai Sumber Pembiayaan,” Jurnal Akuntansi dan Bisnis: Jurnal Program Studi Akuntansi 1, No. 2 (2018): 103.

[9] Chusmeru, Masrukin, Dan Pangestuti, “Koperasi Pondok Pesantren sebagai Pemberdayaan Ekonomi Santri,” 37; Andriani, “Model Hubungan Karakteristik Pemimpin dan Modal Sosial dalam Mempengaruhi Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS),” 15.

[10] Dewi Laila Hilyatin, “Pemberdayaan Kewirausahaan Santri Berbasis Madrasah Santripreneur di Pondok Pesantren Darussalam,” Al-Amwal: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syari’ah 7, No. 2 (2016): 12.

Comments

Popular posts from this blog