### **JAWA: GEOGRAFIS, ETNOLOGIS, HISTORIS**
#### **BAB PERTAMA: Pemberontakan Troena Djaja**
Sultan Ageng digantikan oleh putranya yang kedua, Pangeran Arja Praboe Adi Mataram, dengan gelar Amangkoe-Rat. Ayahnya memilihnya di atas kakaknya, sebagian karena ia lahir dari istri yang lebih terhormat, dan sebagian karena dianggap lebih cakap. Ibunya adalah seorang putri dari Tjeribon, dan pemuka agama dari Tjeribon datang ke Mataram untuk menghormatinya serta menganugerahinya gelar Sultan.
...(lanjutan dari halaman sebelumnya)...
#### **BAB KELIMA: Peran Banyumas dalam Dinamika Jawa**
Banyumas (Banjoemas) memainkan peran penting dalam berbagai peristiwa yang terjadi di Jawa selama abad ke-17 dan 18. Wilayah ini menjadi salah satu titik strategis dalam jalur perdagangan dan pertahanan kerajaan Mataram.
Pada tahun 1703, terjadi pemberontakan di wilayah Banyumas yang dipimpin oleh Tumenggung Wiranegara, seorang bangsawan setempat yang menolak kebijakan pajak tinggi dari Mataram. Pemberontakan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat yang merasa terbebani oleh aturan baru yang diberlakukan oleh Sultan Amangkoe-Rat II.
VOC, yang memiliki kepentingan untuk menjaga kestabilan politik di Jawa, segera mengirim pasukan untuk meredam pemberontakan. Setelah pertempuran sengit di sekitar Sungai Serayu, Tumenggung Wiranegara akhirnya tertangkap dan dibawa ke Semarang untuk diadili.
#### **Eksekusi Tumenggung Wiranegara di Semarang**
Setelah ditangkap, Tumenggung Wiranegara dikawal oleh pasukan VOC menuju Semarang, pusat administratif Belanda di pantai utara Jawa. Di sana, ia dihadapkan pada pengadilan kolonial yang menuduhnya melakukan pengkhianatan terhadap pemerintah Mataram dan Belanda. Pengadilan berlangsung di bawah pengawasan langsung pejabat tinggi VOC dan disertai tekanan dari elite Mataram yang ingin mempertahankan hubungan baik dengan Belanda.
Pengadilan berlangsung selama beberapa minggu, di mana Tumenggung Wiranegara membela dirinya dengan menyatakan bahwa kebijakannya didasarkan pada kepentingan rakyat Banyumas yang merasa ditindas oleh pajak yang berlebihan. Namun, pihak VOC dan penguasa Mataram melihatnya sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan ekonomi mereka. Kesaksian beberapa pejabat VOC yang telah mengalami perlawanan langsung dari pasukan Wiranegara semakin memperkuat dakwaan.
Meskipun ada upaya dari beberapa pengikutnya untuk membebaskannya, Tumenggung Wiranegara dijatuhi hukuman mati. Eksekusinya dilakukan secara terbuka di alun-alun Semarang pada siang hari, sebagai peringatan bagi para pemimpin daerah lain agar tidak memberontak terhadap kekuasaan kolonial. Ribuan orang menyaksikan peristiwa tragis ini, termasuk para bangsawan dan pejabat VOC. Hukuman mati ini bukan hanya simbol kekuatan VOC dan Mataram, tetapi juga sebagai bentuk peringatan bagi penguasa lokal lainnya yang berani menantang otoritas mereka.
Setelah eksekusi, jenazah Tumenggung Wiranegara tidak dikembalikan ke Banyumas, melainkan dimakamkan di Semarang dengan pengawasan ketat. Hal ini dilakukan untuk mencegah munculnya kultus kepahlawanan yang bisa membangkitkan kembali semangat perlawanan rakyat Banyumas. Namun, eksekusi ini tidak serta-merta menghentikan semangat perlawanan di Banyumas.
#### **Dampak Eksekusi dan Perlawanan Selanjutnya**
Beberapa kerabat dan pengikut Tumenggung Wiranegara kemudian bergerak ke pedalaman, membentuk jaringan perlawanan yang lebih tersembunyi. Gerakan ini kemudian berkontribusi pada berbagai bentuk perlawanan, termasuk yang terjadi dalam Perang Diponegoro lebih dari satu abad kemudian. Perlawanan bawah tanah ini juga menciptakan gerakan kultural di Banyumas, yang menekankan pentingnya kemandirian dan kedaulatan terhadap pengaruh asing.
Pada awal abad ke-18, Banyumas menjadi pusat penting dalam jaringan pemerintahan kolonial. Banyak bupati di wilayah ini yang ditunjuk langsung oleh VOC, termasuk Raden Adipati Warganegara yang menjabat pada tahun 1725. Ia dikenal sebagai pemimpin yang mampu menyeimbangkan kepentingan Belanda dan masyarakat lokal.
Selain itu, Banyumas juga menjadi tempat persinggahan para saudagar dari daerah pedalaman yang ingin berdagang di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tegal dan Cirebon. Perkembangan ekonomi di wilayah ini turut berkontribusi dalam pertumbuhan budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya.
Pada pertengahan abad ke-18, terjadi perlawanan lain yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Banyumas menjadi salah satu basis penting bagi pasukan Diponegoro, dengan banyak penduduk setempat yang bergabung dalam perlawanan melawan Belanda. Wilayah ini menjadi ajang pertempuran sengit, termasuk di daerah Gombong dan Kroya, di mana pasukan Diponegoro menghadapi tekanan besar dari tentara kolonial.
Setelah Perang Diponegoro berakhir, VOC semakin memperkuat kendali administratifnya di Banyumas dengan mengangkat bupati-bupati yang lebih tunduk pada kekuasaan kolonial. Namun, perlawanan rakyat tidak mereda. Selama abad ke-19, beberapa tokoh lokal seperti Tumenggung Kartanegara dan Raden Jayanegara memimpin gerakan perlawanan bawah tanah, yang sering kali melibatkan sabotase terhadap pos-pos kolonial serta penyelundupan hasil bumi untuk menghindari pajak kolonial.
Pada tahun 1850-an, Banyumas juga menjadi pusat gerakan agraria yang menolak sistem tanam paksa. Petani setempat melakukan berbagai aksi protes dan penolakan terhadap kebijakan kolonial yang semakin menekan kehidupan mereka. Meskipun gerakan ini sering kali dihancurkan dengan kekerasan oleh Belanda, semangat perlawanan tetap hidup di kalangan masyarakat Banyumas.
Dengan kekayaan sejarahnya dalam perlawanan dan perjuangan, Banyumas tetap menjadi simbol ketahanan dan kemandirian dalam sejarah Jawa. Warisan budaya dan sistem sosialnya yang unik terus bertahan, menjadi bagian penting dari identitas masyarakat hingga masa kini.
...(akan berlanjut pada halaman berikutnya)...
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.