Skip to main content

Hukum Suami yang Memaksa Istri Hamil Padahal Secara Medis Berbahaya

🟩 Manāṭ al-Mas’alah (Uraian Fakta Kasus)

Seorang suami telah dikaruniai seorang anak dari istrinya. Berdasarkan pemeriksaan dokter yang ahli dan terpercaya, kondisi kesehatan sang istri tidak memungkinkan untuk hamil lagi karena dapat menyebabkan risiko medis serius terhadap stamina dan keselamatannya. Atas dasar itu, pasangan tersebut menggunakan alat kontrasepsi dengan kesepakatan bersama. Namun, kemudian sang suami bersikeras agar istrinya hamil kembali, sekalipun dokter telah memperingatkan bahwa kehamilan bisa membahayakan jiwa istri.

Masalah yang dikaji:
Apakah boleh seorang suami memaksa istrinya untuk hamil kembali, padahal kehamilan tersebut secara medis berpotensi membahayakan nyawa atau kesehatan istrinya?


🟨 Taḥqīq al-Manāṭ (Analisis Fakta Hukum)

Berdasarkan keterangan medis (taḥqīq al-ḥāl), bahaya yang dimaksud bukan hanya kelelahan biasa, tetapi dapat menimbulkan ḍarar muḥaqqaq (bahaya nyata) terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa istri. Dalam konteks fiqh, ḍarar muḥaqqaq menjadi dasar pembolehan tindakan pencegahan, karena menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs) termasuk salah satu al-kulliyyāt al-khamsah (lima prinsip pokok maqāṣid al-syarī‘ah).

Dengan demikian, fakta hukumnya menunjukkan adanya pertentangan antara:

  • Hak suami untuk memiliki keturunan (ḥaqq al-zawj fī al-walad), dan

  • Kewajiban melindungi jiwa istri dari bahaya (ḥifẓ al-nafs wa daf‘ al-ḍarar).


🟧 Muqāranah al-Madzāhib (Perbandingan Empat Madzhab)

1. Madzhab Syāfi‘ī

Imam al-Syāfi‘ī menegaskan bahwa hak suami atas hubungan suami istri tidak boleh mengandung bahaya bagi pihak lain. Dalam al-Umm, beliau menyebut:

«لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُعَرِّضَ نَفْسَهُ لِلتَّهْلُكَةِ وَلَا غَيْرَهُ، وَإِنَّمَا أُمِرَ بِحِفْظِ النَّفْسِ وَدَفْعِ الضَّرَرِ عَنْهَا»
“Tidak halal bagi seseorang menjerumuskan dirinya atau orang lain ke dalam kebinasaan. Ia diperintahkan untuk menjaga dirinya dan menolak bahaya dari dirinya.”
(al-Umm, Juz 6, h. 180, Dār al-Ma‘rifah)

Dari sini, memaksa istri hamil dalam keadaan berisiko berarti melanggar larangan menimbulkan bahaya (lā ḍarar wa lā ḍirār).


2. Madzhab Ḥanafī

Imam al-Marghīnānī dalam al-Hidāyah menjelaskan prinsip bahwa seorang suami tidak boleh memanfaatkan haknya dengan cara yang membawa ḍarar:

«التَّصَرُّفُ فِي الْمِلْكِ إِذَا فِيهِ ضَرَرٌ لَا يَجُوزُ»
“Setiap bentuk pemanfaatan hak milik yang membawa bahaya tidak diperbolehkan.”
(al-Hidāyah, Juz 2, h. 50, Dār al-Fikr)

Dalam konteks ini, hak suami terhadap hubungan suami istri termasuk bagian dari hak yang terikat oleh larangan ḍarar.


3. Madzhab Mālikī

Imam Khalīl ibn Isḥāq dalam Mukhtaṣar Khalīl menyatakan bahwa jika dalam hubungan pernikahan terdapat bahaya besar terhadap salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan boleh menolak, bahkan hakim dapat memisahkan keduanya untuk menghindari mudarat:

«وَإِذَا تَعَذَّرَتِ الْمُعَاشَرَةُ لِضَرَرٍ، فَلِلزَّوْجَةِ الْفُرْقَةُ»
“Apabila pergaulan suami-istri menimbulkan bahaya besar, maka istri berhak meminta perpisahan.”
(Mukhtaṣar Khalīl, Juz 2, h. 124, Dār al-Fikr)


4. Madzhab Ḥanbalī

Ibn Qudāmah menegaskan dalam al-Mughnī:

«إِنْ خَافَتِ الْمَرْأَةُ عَلَى نَفْسِهَا الضَّرَرَ مِنَ الْوَطْءِ، لَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ، لِأَنَّهُ يُسْقِطُ حَقَّهُ فِي الْاِسْتِمْتَاعِ بِدَفْعِ الضَّرَرِ»
“Jika seorang istri khawatir mengalami bahaya dari hubungan (seksual), ia boleh menolak, sebab hak suami gugur bila menimbulkan bahaya.”
(al-Mughnī, Juz 7, h. 235, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah)


🟦 Tarjīḥ NU (Penegasan Hukum)

Berdasarkan manhaj tarjīḥ Lajnah Baḥtsul Masā’il NU yang mengutamakan pendapat madzhab Syāfi‘ī dan mempertimbangkan kaidah al-ḍarar yuzāl (bahaya harus dihilangkan), maka:

Qaul mu‘tabar yang dipakai di lingkungan Baḥtsul Masā’il NU ialah:

“Tidak boleh bagi suami memaksa istri untuk hamil apabila kehamilan tersebut secara medis dapat menimbulkan bahaya nyata terhadap keselamatan istri. Dalam kondisi demikian, istri berhak menolak dan menggunakan metode kontrasepsi untuk menjaga keselamatan jiwanya, atas izin dokter yang ahli dan terpercaya.”

Penegasan ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

«الضَّرَرُ يُزَالُ»
“Bahaya wajib dihilangkan.”
(al-Asybah wa an-Naẓā’ir, as-Suyūṭī, h. 87)

dan juga:

«دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ»
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.”


🟩 Khitmah al-Ḥukm (Rumusan Keputusan)

Dengan demikian, hukum memaksa istri untuk hamil padahal terdapat bahaya medis nyata adalah haram, karena termasuk ta‘rīḍ al-nafs li al-halak (menjerumuskan jiwa pada kebinasaan), dan bertentangan dengan maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga keselamatan jiwa (ḥifẓ al-nafs).

Apabila suami tetap bersikeras, maka ulama atau lembaga keagamaan wajib menasihati agar tidak menggunakan haknya dengan cara yang menimbulkan ḍarar, karena ta‘assuf fī isti‘māl al-ḥaqq tidak dibenarkan secara syar‘ī.


🟫 Ta‘līq al-Maṣlaḥah (Hikmah Sosial-Spiritual)

Syariat Islam menempatkan keselamatan manusia di atas segala bentuk keinginan pribadi. Keinginan memiliki anak adalah fitrah, tetapi keselamatan istri adalah ḥaqq syar‘ī yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Dalam konteks sosial, keputusan yang melindungi istri dari bahaya bukanlah bentuk penentangan terhadap suami, melainkan ṭā‘ah fi ghayr al-ma‘ṣiyah — ketaatan kepada prinsip syariat yang melarang menimbulkan mudarat.

Dengan demikian, menjaga keselamatan istri berarti menjaga keberlangsungan keluarga dan kemuliaan jiwa, sesuai firman Allah:

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan.”
(QS. al-Baqarah [2]: 195)


Kesimpulan Akhir (Ringkas):

  • Hukum memaksa istri hamil padahal berisiko medis berat: Haram.

  • Istri berhak menolak hubungan yang menyebabkan mudarat berat.

  • Penggunaan kontrasepsi dalam kondisi demikian: Boleh (mubāḥ) bahkan disunnahkan untuk mencegah bahaya jiwa.

  • Diperlukan komunikasi bijak dan bimbingan ulama agar keputusan tetap dalam bingkai mawaddah wa raḥmah.


Comments