Skip to main content

Sebuah Memoar; Generasi Pertama Rimbo Bujang


Kompleks PTP Lama
Aku lahir di sana, PTP Lama. Menurut ibu, ari-ariku ditanam dalam pada lokasi yang kini didirikan masjid kompleks perumahan. Tidak seperti kebanyakan masyarakat Rimbo Bujang yang eksodus melalui program transmigrasi, orang tuaku datang karena merantau ke sana. Dengan pengalamannya, tak lama tiba, bapak diterima bekerja di PTPN VI pada tahun 1980an. Aku termasuk generasi pertama yang lahir di Rimbo Bujang. Kakak laki-lakiku, Hariyanto, lahir di Purworejo Klampok - Banjarnegara. Saat itu, aku lahir ditengah-tengah rimba belantara yang merekah menganga dalam abu pembukaan ladang oleh para pehuma.

Semenjak kecil, heterogenitas sosial sudah menjadi warna masa kecilku. Di kompleks PTP Lama setidaknya terdiri dari irisan suku Jawa, Batak, Minang dan Melayu. Oleh sebab itu, menggunakan bahasa Indonesia menjadi cara bertutur yang dapat saling kami pahami. Di antara kawan kecilku, sebut saja Boy (adiknya Kak Mimi), ia suku Palembang. Freddy (kalau tidak salah marganya Simanjuntak), bisa ditebak, ia suku Batak. Selain Freddy dan adiknya Chandra, ada Jawa Medan (keturunan tawanan perang atau pekerja rodi) seperti Didon. Namun yang kawan terakhir ini, saat usia SMA, meninggal dunia karena kecelakaan. Oh iya, ada Rully, termasuk Jawa Medan, kami kembali bertemu saat satu sekolahan di SMPN 1 Rimbo Bujang.

Kompleks PTP Lama, seingatku, secara teritorial di bagi menjadi dua kawasan, atas dan bawah. Aku sendiri tinggal di kawasan bawah. Jika ditarik dari arah TK Tunas Harapan ke selatan melewati lapangan volly terus menuruni tebing landai untuk sampai ke belakang rumah. Ya, rumah karyawan semi permanen yang kami tempati memang menghadap selatan. Sementara, depan kami masih semak belukar lalu embung air dan hutan belantara. 

Saat malam atau pagi, suara-suara siamang dan burung hutan akrab di telingaku. Beruntung, di tahun 1987an, perumahan kami sudah merasakan terangnya listrik. Perumahan kami memang memiliki diesel sendiri dan mengaliri listrik sampai perumahan PMU hingga Afdeling II. Bahkan, saat itu kami sudah memiliki televisi, merk National, dan hitam-putih. Siarannya pun hanya ada TVRI. Acara yang ditunggu, Dunia Dalam Berita.

Permainan Masa Kecil
Aku mengenal memancing di sini. Jangan pikir itu pancing benar seperti hari ini. Kami memakai benang dan anak steples dari lembaran bekas kopi AA yang terbuang. Alat 'pancing' ini lumayan strike jika cuma memancing ikan cupang dan lunjar kecil di embung ruang mesin. Permainan anak-anak saat itu namanya sepak tekong. Kaleng-kaleng ditumpuk untuk ditimpuk gacoan kami yang menggunakan sandal. Lempar, jika kena, lari sembunyi. Jika hari senja kami mengaji ke masjid. Agak malas bercerita relasi perkawananku, saat kecil hampir tiada hari tanpa berkelahi. Bukan apa-apa, i'm enjoy it.

Skip dulu, besok sambung lagi ya.

 


Comments

Popular posts from this blog