Skip to main content

Petani Rimbo Bujang dalam Sergapan Tengkulak

Memprihatinkan. Barangkali demikianlah kiranya kondisi para petani karet dan kelapa sawit di Rimbo Bujang Kabupaten Tebo - Jambi pada hari ini. Tanpa adanya pengawalan dari Pemerintah Daerah pada dinas terkait dan atau BUMN mereka harus head to head menghadapi hegemoni tengkulak. 

Ironisnya, hal ini bukan saja berlangsung baru hari ini saja, namun telah berjalan puluhan tahun. Dalam hal ini tepatnya sepeninggal PTP Nusantara VI di wilayah yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat ini. Dalam perspektif kesejarahan, entitas petani Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di Provinsi Jambi merupakan kaum transmigran yang semenjak tahun 1975 didatangkan dari pelbagai daerah di pulau Jawa. Program transmigrasi di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Tebo, merupakan proyek perluasan hutan produksi nasional yang difasilitasipihak ketiga, yaitu Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) Nusantara VI.


Di Kecamatan Rimbo Bujang sendiri, pemetaan transmigran sebagai petani agronomisterstruktur ke dalam bentuk unit-unit pedesaan. Adapun model relasi kontrakkepemilikan lahan (kapling) yangdibangun antara petani transmigran dengan pihak PTP Nusantara VI identik dengan ijarah muntahiya bittamlik. Sementara dalam relasi perniagaan produksi, yang dikembangkan oleh pihak PTP Nusantara VI terhadap petanilebih berupa jual-beli terikat (ba’yal-muqayyad). Mekanisme jual-beli ini tidak terlepas dari aspek pembiayaan administratif transmigrasi antara PTP Nusantara VI dengan pihak pemerintah. Dimana pada nilai lunas setoran produksi petaniyang tercatat Tempat Pengolahan Hasil (TPH), maka para petani tersebut akan memperoleh sertifikat hak milik kapling lahan sesuai pagu pembiayaan transmigrasi.

Fase pertama perdagangan karet di kalangan petani transmigran sebagaimana premis di atas lebih berupa berbentuk akad musyarakah. Melalui Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibentuk di setiap desa, hasil produksi karet petani diserap untuk diolah oleh PTP Nusantara VI dari unit-unit Tempat Pengolahan Hasil (TPH) yang tersebar berdasarkan sub-Rukun Warga (RW) di setiap desa. Distribusi ini terbilang efektif dan efisien mengingat dalam praktek perniagaannya didukung penuh pihak aparat keamanan, ABRI pada dekade itu. Harga yang diberlakukan adalah harga KUD atas penetapan pihak PTP Nusantara VI.Aktivitas membeli di luar mekanisme KUD dianggap illegal dan akan mendapat tindakan represif dari aparat di tingkat desa (Babinsa). Para pembeli produksi karet petaniillegal yang menjual hasil pembeliannya dari para transmigran kepada pabrik-pabrik milik swastadi luar Provinsi Jambi kemudian dikenal dengan sebutan tengkulak. Mereka menyediakan pinjaman lunak kepada petani dengan angsuran berupa hasil produksi karet dengan selisih harga beli lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga beli KUD, dalam hal ini PTP Nusantara VI. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh para tengkulak pada akhirnya menyebabkan beralihnya preferensi penjualan hasil produksi petani transmigran kepada mereka. Demikian sejarah paling awal terbentuknya harga dan pasar produksi karetproduksi rakyat di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

Fase kedua ditandai dengan hegemoni para pemodal yang berperan sebagai tengkulak. Transisi peta pasar bahan olahan karet (bokar) ini ditegaskan lagi dengan keluarnya PTP Nusantara VI dari sistem pasar bahan olahan karet rakyat. Kondisi ini setidaknya dilatarbelakangi oleh dua perkembangan; pertama, tercapainya break event point atas pembiayaan transmigrasi. Kedua, mulai berproduksinya perkebunan karet milik PTP Nusantara VI sehingga tercukupinya bahan olahan karet tanpa tergantung lagi terhadap Hasil Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Dalam perspektif kinerja dan besaran modal, tengkulak sendiri di bagi ke dalam dua katagori. Pertama, tengkulak besar pemegang hak delivery order (DO) sebagai distributor sekaligus pemegang saham pada pabrik-pabrik milik swasta. Kedua, tengkulak kecil dalam skala pedesaan yang melakukan pengepulan dan pembelian langsung ke masyarakat untuk didistribusikan ke pabrik-pabrik dengan lisensi tengkulak pemegang delivery order (DO). Tengkulak kecil selama ini mendapatkan modalnyadari tengkulak besar untuk disebarkan kepada petani. Sementara, rata-rata untuk mendapatkan izin delivery order (DO), seorang tengkulak besar setidaknya harus menginvestasikan saham pada pabrik pengolahan karet sebesar lima milyar rupiah.

Di ranah praksis, secara umum mekanisme perdagangan yang dikembangkan oleh kalangan tengkulak adalah dengan terlebih dahulu menyebarkan hutang tanpa agunan kepada petanidengan pembayaran diangsur melalui hasil produksi, yaitu karet. Di sini, petani sendiri tidak pernah mengetahui harga karet yang sebenarnya. Dalam proses penimbangan hingga pembayaran, penetapan harga beli produksi karet perkilogramnya merupakan hak preogratif tengkulak. Petani telah kehilangan hak tawarnya akibat hutangnya kepada tengkulak. Demikianlah harga dasar terbentuk di tingkat dasar petani karet pada fase kedua ini. Selain matinya daya tawar petani, pengurangan bobot timbangan secara sepihak, penggunaan timbangan yang tidak terstandarisasi sering menimbulkan konflik antara petani dengan buruh tengkulak.

Dalam perspektif politik ekonomi, hegemoni tengkulak pada perkembangan berikutnya semakin kuat. Hal ini ditandai dengan keterlibatan tengkulak besar sebagai sponsor sejumlah legislator yang memainkan peranan regulatif guna ‘melindungi’ tengkulak di parlemen dan pemerintahan. Fase ini merupakan puncak ironi petani karet yang menempatkan posisi mereka pada titik nadir, seiring denganbubarnya satu demi satu Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh pedesaan.

Fase ketiga,pada perkembangan berikutnya dengan mengemukanya gejala baru dalam sistem perdagangan bahan olahan karet (bokar) rakyat yang ditandai dengan mentasnya sejumlah petani dalam wilayah tertentu dari jeratan hutang tengkulak. Namun jumlahnya masih terbilang kecil. Sejumlah petani karet ini kemudian saling terkoneksi dan membentuk semacam kelompok petani penjual dan menyelenggarakan mekanisme lelang hasil produksi kelompok mereka kepada sejumlah tengkulak serta menjualnya pada penawaran harga tertinggi. Fase ini masih terbilang baru, berjalan di bawah tiga tahun belakangan. Dan sejauh pengamatan tim pendampingan, segmen dan pergerakan ini belum ada peneliti dan mendapatkan pendampingan dari pihak manapun selama ini.

Comments

Popular posts from this blog