Sebagai seorang perantau di kota Jambi ini semenjak awal hatiku cukup terhenyak menyaksikan fenomena sosial, praktek agama dan politik. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan peran serta Nahdlatul Ulama di dalam membangun peradaban Islam yang maju, berkarakter dan sejuk.
Di tengah-tengah semakin dibutuhkannya peran serta Nahdlatul Ulama dalam kaitannya merekatkan berbagai elemen bangsa atas berbagai ancaman yang mengepungnya. Kemiskinan, kebodohan, rendahnya layanan kesehatan, bobroknya akhlak generasi muda bangsa dan penegakan supremasi hukum di daerah ini. Aku hanya mampu tersenyum kecut. Yah, dengan emosi meradang di sisi lain demi melihat Nahdlatul Ulama kurang mampu menampilkan peranannya di tengah-tengah semua itu. Khususnya di sini, di Provinsi Jambi.
Tanpa bermaksud mengkritisi tanpa aksi. Kebuntuan ini oleh banyak pihak, sebagaimana yang di'tuduh'kan oleh sahabat-sahabat saya, lebih dikarenakan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di daerah ini terlalu larut terjerumus ke dalam arus pusaran kepentingan politik praktis. Di mata beberapa stakeholder, politik merupakan pendekatan yang digadang-gadang dapat 'membesarkan' Nahdlatul Ulama. Mereka berpikir, jika Nahdlatul Ulama bernaung di bawah payung kekuasaan seseorang atau sebuah partai politik maka agenda-agenda NU agar terlaksana dengan baik, khususnya terkait anggaran dana. Tentu, pendapat sahabat-sahabat tersebut patut diperhitungkan untuk diamini. Mengapa? Ya, karena logika pengembangan organisasai ala politik dagang-sapi ini mewabah di mana-mana, artinya bukan hanya di Jambi. Hanya saja di sini memang lebih parah, itu saja. Alih-alih ingin mendompleng 'berkuasa', justru warga NU di akar rumput yang terlantar tak terjaga. Dan, tentu logika berjuang yang seperti itu patut dibenahi dan ditaubati!.
Konsep pengembangan Jam'iyyah NU berbasis politik praktis sangat ketara tercium dan terbaca. Harus ada yang menjelaskan kepada saya, setidaknya. Ya, tentu saja. Jika kita amati para stakeholder atau top struktural di jejaring Jam'iyyah Nahdlatul Ulama di mulai wilayah hingga, setidaknya, MWC atau PAC 'dipilih' atau 'terpilih' adalah aktor-aktor partai politik praktis. Apakah hal ini sengaja dibiarkan ataupun memang karena tidak adanya seseorang yang cukup 'syarat' untuk menjabat posisi tersebut, waLlahu a'lam. Curiga saya, mereka hanya sekedar 'menunggangi' atau 'menyurupi' Nahdlatul Ulama saja. Buktinya dapat dilihat bersama-sama dari kinerja organisasi yang datar-datar saja jika dibandingkan antusiasme dan harapan kuat di akar rumput akan Nahdlatul Ulama yang bukan hanya berupa Jam'aah atau Jam'iyyah. Tetapi lebih pada Harakah!. Jika kecurigaan ini benar, itu sama artinya mereka telah berkhianat atas nama Ulama sebagai respresentasi Baginda RasuluLlah Muhammad SAW di wilayah ini. Harapan saya, semoga saja kecurigaan itu hanyalah ketakutanku saja. Yah, meski keyakinanku itu harus berhadapan dengan kenyataan. Bahwa tak sedikit dari para sahabat yang saya kenal baik integritasnya terhadap Nahdlatul Ulama yang memilih menepi agar tidak ter'cemar' oleh politisasi Jam'iyyah. Bahkan sebagian lagi secara ekstrim menyatakan bukan lagi sebagai warga NU, ah padahal beliau merupakan salah satu pendiri NU di Kabupaten paling selatan provinsi ini. Lihatlah, semakin runyam bukan?
Politisasi jami'yyah, sekali lagi dalam hemat saya bukanlah satu-satunya solusi untuk membesarkan Nahdlatul Ulama. Pengarusutamaan para Kyai dan Ulama pondok pesantren adalah ruh asbab keberadaan Nahdhatul Ulama. Keterbukaan organisasi dalam penyelenggaraan lembaga dan kaderisasi. Patronisme dan madzhab politik merupakan langkah nyata pengkerdilan Nahdlatul Ulama yang terang-terangan di depan mata. Ah melelahkan memang. Sudahlah, apapun itu tak akan mampu merubah kecintaanku kepada NU, titik!.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.