Skip to main content

Program Repatriasi bagi Baalawi: Suatu Keniscayaan

Diaspora Baalawi, keturunan Arab Hadrami yang telah menetap di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, telah menghadapi tantangan identitas kewarganegaraan yang kompleks. Meskipun banyak di antara mereka telah berasimilasi dalam budaya lokal, status hukum dan hak kewarganegaraan mereka tetap menjadi perdebatan, terutama bagi mereka yang tidak mendapatkan pengakuan formal dari negara tempat mereka bermukim. Oleh karena itu, program repatriasi bagi keturunan Baalawi ke negara asalnya, seperti Yaman, dapat menjadi solusi dalam memastikan hak kewarganegaraan mereka sekaligus menjaga integritas kultural dan historis komunitas ini.

Kedatangan komunitas Baalawi ke Nusantara dimulai sejak abad ke-17 hingga ke-19 melalui jalur perdagangan dan penyebaran Islam. Mereka memiliki pengaruh besar dalam bidang agama, ekonomi, dan sosial di wilayah seperti Sumatra, Jawa, dan Kalimantan (Clarence-Smith, 1997). Namun, perubahan geopolitik dan kebijakan nasional pascakolonial, seperti berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958, menyebabkan banyak keturunan Baalawi mengalami ketidakpastian hukum, serupa dengan diaspora Hadrami di berbagai negara lainnya (Lindsey, 2018).

Di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, repatriasi bagi keturunan Hadrami telah dilakukan dengan memberikan kemudahan memperoleh kewarganegaraan. Hal ini didasarkan pada hubungan historis dan kontribusi komunitas ini dalam pembangunan ekonomi dan sosial di negara asal mereka (Freitag & Clarence-Smith, 2004). Dalam konteks Yaman, upaya repatriasi bagi diaspora Baalawi menjadi lebih relevan dengan adanya kebijakan pemerintah yang mengakui kontribusi diaspora dalam rekonstruksi negara.

Dari sudut pandang hukum internasional, repatriasi adalah hak yang dijamin dalam berbagai instrumen hukum, seperti Konvensi 1954 tentang Status Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Tanpa Kewarganegaraan. Namun, Indonesia belum meratifikasi konvensi ini, yang menyebabkan kebijakan kewarganegaraan bagi diaspora, termasuk Baalawi, masih terbatas (UNHCR, 2017).

Dalam hukum nasional, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak memberikan mekanisme khusus bagi diaspora untuk memperoleh kewarganegaraan ganda atau kemudahan repatriasi. Padahal, beberapa negara seperti Malaysia dan Turki telah menerapkan kebijakan kewarganegaraan berbasis keturunan bagi diaspora mereka (Ersanilli & Koopmans, 2011). Oleh karena itu, perlu ada reformasi hukum yang memungkinkan keturunan Baalawi untuk mendapatkan hak repatriasi sebagai bagian dari kebijakan imigrasi dan kewarganegaraan berbasis etnis.

Program repatriasi bagi Baalawi bukan hanya sekadar pemulihan identitas hukum, tetapi juga memiliki dampak ekonomi dan sosial yang signifikan. Diaspora Baalawi, yang terkenal dalam bidang perdagangan dan keuangan, dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi di negara asal mereka. Selain itu, repatriasi dapat membantu memperkuat jaringan budaya dan sosial yang selama ini terputus akibat kebijakan kolonial dan nasionalisme modern.

Namun, tantangan utama dalam program ini adalah kesiapan negara asal, seperti Yaman, dalam menerima kembali diaspora mereka, mengingat situasi politik dan ekonomi yang masih tidak stabil. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama bilateral antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Yaman untuk menyusun mekanisme repatriasi yang komprehensif, termasuk dalam aspek perlindungan hukum, akses ekonomi, dan integrasi sosial bagi para repatriat.

Program repatriasi bagi Baalawi merupakan suatu keniscayaan dalam konteks pemulihan identitas hukum dan sosial diaspora ini. Dari perspektif historis, mereka memiliki keterikatan kuat dengan tanah leluhur mereka. Dari sisi yuridis, kebijakan internasional dan nasional harus diadaptasi untuk memberikan solusi bagi status kewarganegaraan mereka. Pemerintah Indonesia dan negara-negara asal diaspora Baalawi perlu menjalin kerjasama dalam menyusun skema repatriasi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Referensi

  • Clarence-Smith, W. G. (1997). Middle Eastern Minorities and the Making of Southeast Asia. Brill.
  • Ersanilli, E., & Koopmans, R. (2011). Citizenship Policies in the Middle East: Inclusion and Exclusion. Routledge.
  • Freitag, U., & Clarence-Smith, W. G. (2004). Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750s–1960s. Brill.
  • Lindsey, T. (2018). Indonesian Law and Society. Federation Press.
  • UNHCR. (2017). Handbook on Protection of Stateless Persons Under the 1961 Convention. UNHCR Publications.

Comments