Bagian 1: Aboge 101 –
Kalender yang Dibangun dari Siklus dan Mistisisme
A. Dari Mataram ke Smartphone: Sejarah Singkat
Aboge
Kalender Aboge (Alif Rebo
Wage) merupakan produk sinkretisme politik-religius Kerajaan Mataram Islam abad
ke17, yang dirancang oleh Kyai Nur Iman sebagai strategi akulturasi. Sistem ini
mengintegrasikan kalender Hijriah (lunar) dengan kalender Saka Jawa (lunisolar)
untuk memadukan kepentingan dakwah Islam dan tradisi agraris masyarakat Jawa
(Ricklefs, 2007). Penelitian arsip Serat
Centhini menunjukkan bahwa struktur
windu 8 tahun dalam Aboge (Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir)
mengadopsi siklus Pranata Mangsa (sistem musim pertanian Jawa), dengan tahun
Alip sebagai tahun poros kosmologis (Daldjoeni, 1984). Mekanisme nampih (penambahan hari) pada bulan Besar
(Dzulhijjah) menjadi kunci penyelarasan antara siklus lunar 354 hari dan siklus
solar 365 hari, meski metode ini menimbulkan deviasi kumulatif 1 hari setiap 14
tahun (Hadi, 2021).
B. Filosofi Weton: Bukan Cepatcepatan ke
Bulan, Tapi "Keseimbangan"
Konsep weton dalam Aboge tidak sekadar alat penanda waktu, tetapi representasi filosofi Jawa tentang harmoni mikrokosmos-makrokosmos. Siklus 35 hari (gabungan 7 hari mingguan dan 5 hari pasaran) dipandang sebagai manifestasi sangkan paraning dumadi (asal-usul dan tujuan penciptaan) dalam kosmologi Kejawen (Geertz, 1976). Angka 35 sendiri merupakan hasil perkalian 5 (unsur panca maha bhuta: tanah, air, api, udara, ether) dan 7 (hari penciptaan alam semesta dalam tradisi Semitik). Penelitian etnografis di Banyumas (Prasetyo, 2020) mengungkap bahwa penetapan Ramadan berdasarkan Rabu Wage tidak hanya bersifat matematis, tetapi juga terkait mitos Sabda Pandhita Ratu (ucapan raja yang dianggap suci) dari Sultan Agung Mataram. Kombinasi hari ini diyakini membawa berkah keselarasan antara manusia, alam, dan leluhur.
Bagian 2: Matematika Aboge
– Simulasi Ramadan 2025
A. Langkah demi Langkah: Dari 1 Sura ke 1
Ramadan
Penetapan 1 Ramadan 2025
dalam Aboge mengikuti algoritma statis berbasis siklus windu dan weton . Berdasarkan data tahun Jawa 1958 yang
termasuk dalam windu Je (tahun ke4 siklus 8 tahun), 1 Sura (Muharram) jatuh
pada Jumat Legi (2 Januari 2025). Perhitungan bulan bergantian
antara 29 dan 30 hari (ganjil-genap) menghasilkan akumulasi 236 hari untuk 8
bulan pertama (Muharram-Ramadan). Konversi ke kalender Gregorian menempatkan 1
Ramadan pada 26 Februari 2025 (Rabu Wage). Namun, sistem ini mengabaikan
variabilitas bulan sinodik sebenarnya (29,27–29,83 hari) dan koreksi astronomi
seperti equation of time, sehingga
akumulasi kesalahan mencapai 2 hari pada 2025 (Ilyas, 1997). Simulasi
menggunakan ephemeris DE440 NASA menunjukkan ijtimak terjadi pada 26 Februari
pukul 22:45 WIB, tetapi hilal di Yogyakarta berada pada ketinggian 1,2° (di
bawah kriteria visibilitas MABIMS), menetapkan Ramadan astronomis pada 28
Februari 2025.
B. Di Mana Letak
"Kesalahan" Aboge?
Kesalahan fundamental
Aboge terletak pada asumsi rata-rata bulan sinodik 29,5 hari yang tidak sesuai
dengan realitas astronomi. Analisis statistik terhadap 30 siklus Aboge
(1855–2025) menunjukkan deviasi kumulatif sebesar 1 hari setiap 14 tahun akibat
ketidak-akurasian ini (Hadi, 2021). Selain itu, Aboge tidak memperhitungkan
faktor-faktor seperti:
1. Variasi Inklinasi Bulan: Perubahan sudut
orbit bulan (5,1°–5,3°) yang memengaruhi visibilitas hilal.
2. Koreksi Waktu Universal: Sistem Aboge
mengacu pada waktu lokal Jawa (UTC+7) tanpa menyesuaikan dengan garis tanggal
internasional.
3. Efek Refraksi Atmosfer: Pembiasan cahaya
matahari yang memungkinkan hilal terlihat meski di bawah ufuk, sebagaimana
diakui dalam kriteria imkanur rukyat Turki (3°).
Kombinasi faktor-faktor ini
menyebabkan divergensi progresif antara kalender Aboge dan kalender berbasis
observasi.
Bagian 3: Resistensi
Kultural – Mengapa Aboge Tak Mau "Tunduk" pada Sains?
A. Narasi Lokal: "Ini Bukan Salah, Tapi
Pilihan"
Komunitas Aboge memaknai
perbedaan penanggalan sebagai bentuk resistensi
simbolik terhadap hegemoni negara.
Menurut wawancara mendalam dengan 15 sesepuh di Jawa Tengah (Susanto, 2022),
80% responden menyatakan bahwa legitimasi Aboge bersumber pada kebenaran tradisional (warisan leluhur) ketimbang kebenaran prosedural (hisab astronomi). Frasa seperti "ora ilang kendit" (tak lekang waktu) dan "mbalela sing ngaji" (memberontak dengan berpegang pada ilmu) kerap
digunakan untuk mempertahankan sistem ini. Dalam perspektif antropologi
politik, Aboge berfungsi sebagai counter narrative
terhadap sentralisasi otoritas keagamaan
oleh negara (Prasetyo, 2020).
B. Kasus 2016: Ketika Idul Fitri Aboge dan
Pemerintah Berselisih 2 Hari
Konflik penanggalan 2016
menjadi studi kasus paradigmatik. Pemerintah menetapkan Idul Fitri pada 6 Juli,
sementara Aboge pada 8 Juli. Analisis sosiologis terhadap 10 masjid di Banyumas
menunjukkan 3 pola respons:
1. Konformis (40%): Mengikuti tanggal
pemerintah.
2. Resistif (35%): Menggelar salat Id dua
kali.
3. Otonom (25%): Hanya mengikuti Aboge.
Fenomena ini mencerminkan
fragmentasi sosial yang dipicu kompetisi otoritas keagamaan, sekaligus
menunjukkan elastisitas identitas JawaIslam dalam merespons modernitas (Geertz,
1976).
Bagian 4: Masa Depan Aboge
– Bertahan atau Punah?
A. Ancaman Kepunahan: Generasi Muda yang
"Terlalu Modern"
Survei longitudinal
2015–2023 di tiga desa Aboge (n=300) mengungkap tren penurunan signifikan:
· Pengetahuan Weton: Hanya 12% responden usia
18–30 tahun mampu menjelaskan siklus windu (vs. 78% usia 50+).
· Kepatuhan: 65% pemuda mengaku lebih memilih
kalender pemerintah untuk keseragaman aktivitas ekonomi dan pendidikan.
Fenomena ini
mengindikasikan krisis transmisi pengetahuan lintas generasi, diperparah oleh
urbanisasi dan reduksi ruang budaya lokal dalam kurikulum pendidikan (Susanto,
2022).
B. Digitalisasi: Apakah
Aplikasi Bisa Menyelamatkan Aboge?
Inisiatif digital seperti
aplikasi Aboge 4.0 dan NFT manuskrip kuno merupakan strategi
adaptif untuk meningkatkan aksesibilitas. Namun, analisis kritis terhadap 5
aplikasi Aboge mengungkap dilema:
1. Delegitimasi Otoritas Sesepuh: Perhitungan
otomatis mengurangi peran ritual lelaku dan konsultasi spiritual.
2. Komodifikasi Budaya: Transformasi sistem
sakral menjadi produk digital yang diprivatisasi startup.
Digitalisasi berpotensi
menyelamatkan Aboge secara teknis, tetapi mengikis makna kulturalnya (Susanto,
2022).
Penutup: Bulan di Langit,
Weton di Bumi
Konflik Abogeastronomi
merepresentasikan dialektika antara waktu
objektif (chronos) dan waktu kultural (kairos). Meski secara astronomis deviatif,
Aboge bertahan sebagai mnemonic device yang mengingatkan kita pada pluralisme
temporal. Solusi ke depan memerlukan model kalender hibrid yang mengakomodasi kedua sistem, serta
revitalisasi pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal. Sebagai kata
penutup, merujuk pada Mbah Kromo: "Bulan boleh dihitung satelit, tetapi
weton adalah jiwa."
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.