Perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 H di tahun 2020 menyimpan cerita tersendiri. Tak terkecuali, bagi siapa saja. Bagaimana tidak, gelombang wabah Corona menghantui nyali siapa saja masih sayang pada selembar nyawanya, juga orang-orang di sekelilingnya. Namun demikian, semuanya berjalan bukannya tanpa cerita. Itulah mengapa semua ini patut diabadikan ke dalam narasi berikut ini.
Kemuakan pada situasi sosial dimulai semenjak dipatik peristiwa politik jorok yang menjajakan indetitas agama sedemikian vulgar. Distigma jorok, ini lebih pada orang-orang yang jelas-jelas juga sadar akan standar nilai kebenaran dan kebersamaan yang justru meruntuhkan dua dogma suci tersebut. Para politisi, semuanya saja, 'membeli' corong-corong dari kalangan pesohor konten agama untuk melegitimasi maksud-maksud mereka di dalam merebut kekuasaan di republik ini. Gayung bersambut bukan sekedar para pesohor itu takut lapar, kondisi ini juga ditangkap oleh pemilik media sebagai komoditas bisnis. Politisi jahat, 'ulama' lapar dan media hitam sudah seperti pemandangan umum jika mengakses aneka jalur informasi elektronik. Skip. Sampai wabah yang disebut Corona itu dikabarkan datang.
Banyak yang berpikir bahwa keadaan akan sejuk pasca perhelatan politik di tanah air. Namun, kenyataannya semua berjalan tidak sesuai khayalan kebanyakan. Seolah tidak pernah lelah untuk bertikai, anak bangsa ini pun dinilai tidak pernah belajar dari riak-riak yang baru saja mereka alami guna menghadapi wabah virus Corona ini. Sebagaimana sebelumnya, setiap orang tetiba menjadi ahli dalam bidang apapun yang sedang terjadi. Setiap orang tanpa malu lagi bicara dan mengumbar kebodohan serta keserakahannya di hadapan publik. Pemerintah sebenarnya sudah cukup baik mengelola semuanya. Tapi, yang menjadi pemain di negeri demokrasi ini bukan hanya pemerintah saja. Politisi busuk, media dan 'ulama' lapar juga seolah mencari ruang publik untuk diapresiasi. Dan ini sebenarnya yang memperkeruh suasana sosial. Sampai kemudian pemerintah nampak lemah.
Skip. Sampai lebaran tiba hari ini, pemandangan ambigu masih menancap di setiap kornea mereka yang membuka mata dengan jernih. Kebijakan relaksasi menjadi celah pemecah tatanan sosial yang selama ini dijaga dengan optimisme pada sepak terjang pemerintah. Namun, ternyata justru relaksasi berbuah euforia sosial macam lonjakan pengunjung pasar yang berujung pada penyebaran Covid-19. Dibukanya gerbang transportasi umum, shalat Ied di ruang publik, dimulainya kegiatan belajar mengajar dan perkuliahan secara gegabah. Tenaga medis menyerah dan aparat penegak hukum harus mengemis maaf kepada pelanggar PSBB. Birokrat memutuskan, lockdown atau tidak, hanya karena sekedar rayahan anggaran. Juga agamawan mengamini putusan relaksasi lebih karena takut kelaparan akibat kosongnya lembaga pendidikan yang dikelolanya.
Maka, apakah ini Ramadhan terakhir bagi kita semua? Isyarah kepunahan atas realitas peradaban sebuah bangsa.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.