Fenomena krisis piknik seolah telah sampai pada level gangguan jiwa bagi generasi milenial. Piknik, atau tamasya padahal mengandung banyak hikmah dan faedah.
Imam Syafi'i r.a pada sebuah maqolah beliau, pernah menuturkan:
تغرب عن الاوطان فى طلب العلا / و سافر ففى الا سفارخمس فوائد
تفرج هم واكتساب معيشة / وعلم واداب وصحبة ماجد
Merantaulah dari negerimu guna mencari keutamaan!. Merantaulah karena dalam merantau punya lima manfaat: (1) Melipur kesedihan (menemukan kebahagiaan), (2) Mencari perbaikan derajat penghidupan, (3) Menambah ilmu dan adab, (4) Memperluas jaringan perkenalan, (5) Membersamai orang mulia.
تَغَرَّبْ عَنِ اْلاَوْطَانِ فِى طَلَبِ الْعُلىَ
Merantau itu penting, meskipun suatu saat akan kembali ke asalnya.
Merantau pun sudah dicontohkan oleh para Nabi, Sahabat, Tabiin dan para ulama. Mengapa harus merantau?
Pertama, di negeri orang lain ada sesuatu yang tidak bisa didapatkan di negeri sendiri.
Kedua, di perantauan kita bisa bertemu dengan beragam jenis masyarakat.
Ketiga, terkadang di negeri sendiri kita tidak dianggap, tidak dihargai, atau bahkan direndahkan, sehingga ilmu yang dimiliki tidak bisa berkembang.
Keempat, kita bisa mendapatkan maisyah yang lebih banyak ketimbang di negeri sendiri.
Imam Syafi'i r.a lebih lanjut mengingatkan kita semua:
إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ المَاءَ يُفْسِدُهُ
إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan.
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.
Jadi, jika anda ingin maju, maka merantaulah, tapi jika anda ingin stagnan, cukup di rumah saja. Namun, jangan salah merantau. Keliru hijrah. Seperti ajakan semu "Indonesia tanpa pacaran", yang diiringi Pelatihan Ta'aruf dan Poligami yang mematok harga tiket berkedok infak. Itu pembodohan jomblo namanya!.