Dalam setiap eskalasi elit dalam skala nasional, pro-kontra 'senantiasa' terjadi. Pro-kontra dengan segala varian faksi-faksinya, tentunya. Jelas ini menarik. Satu sisi ini menjelaskan proses demokrasi yang sedang berlangsung. Namun sisi lain, banyak masyarakat, nitizen khususnya yang merasa lelah hingga alergi dengan 'perbedaan' dan keberagaman. Hal ini, harap dipermaklumkan akibat sedemikian panjangnya serial bertajuk kontroversi semenjak era reformasi di republik ini.
Setahun lebih bangsa ini menembus gelombang besar pandemi Coronavirus Diseases 2019 (Covid-19). Sejumlah upaya multi-task dilakukan, baik medis, sosial, agama dan politik guna setidaknya mengeliminasi penyebaran pandemi dan menanggulangi jatuhnya korban. Sebagai sebuah pandemi global yang jauh menusuk jauh ke sum-sum masyarakat, Covid-19 diarahkan untuk mereset pola kehidupan seseorang tentang pola hidup higienis personal (program cuci tangan, hand sanitizer dan bermasker), lebih jauh dari itu, Covid-19 pun distimulasi untuk me-new normalkan sistem sosial bangsa Indonesia. Kita tahu, bangsa ini sangat gandrung berkumpul sebagai konstruksi sistem sosial yang paling dasar.
Geger prahara pandemi Covid-19 berangkat dari alam batin hampir di semua para pemikir yang aktif menyimak perkembangan isu-isu di media virtual tentang arah kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangannya. Pendiaman dan aksi balas atas moral hazzard dari komersialisasi alat kesehatan tak lama kemudian merebak. Program maskerisasi di desa-desa yang dibiayai dari dana desa hingga pasien yang dicovidkan, dan ditutup dengan drama reshuffle sejumlah menteri mewarnai akhir tahun 2020. Benar-benar tahun yang sengit.
Ketidakmampuan membuat vaksin anti-Covid19 dan pembelian vaksin dari negeri asal muasal virus Corona pun menjadi pertanyaan. Pertama, sumber pandemi dan anti-virus berasal dari negara yang sama. Banyak yang menyakini bahwa ini bukan pandemi biasa, melainkan bentuk perang biologis. Kedua, motifnya jelas, selain legitimasi supremasi senjata global adalah bentuk komersialisasi dalam perang dagang internasional.
Hal terakhir yang dianggap mendongkolkan lainnya adalah sikap yang dianggap sebagai arogansi dari para pengelola Satgas Covid. Statemen seperti ujaran "Siapapun yang membuat rakyat tidak percaya soal vaksin, kita lawan!". Tentu, bahasa kekuatan yang ditujukan kepada mereka yang lemah tidak bijak jika disampaikan di masa-masa seperti ini. Tidak setiap anggota masyarakat memiliki sumber daya informasi yang sama terkait vaksin, baik seputar biaya vaksinasi, dampak hingga komposisinya.
Memunculkan aktor antagonis semacam Ribka dengan stigma PKIsasi bagi para peragu vaksinasi tentu bukan suatu cara yang bijaksana. Semua tahu, kalau ia satu partai yang dikenal tegak lurus satu komando ini. Artinya, nyanyiannya di Senayan satu dirigen dengan pelaksana kebijakan penanggulangan Covid-19 selama ini. Dan yang setipe dengan Ribka dalam operasi cipta kondisi ini adalah Pigai. Kesimpulannya, jangan gunakan bahasa otoritarian terhadap wong cilik di tengah pandemi ini.
Demikianlah.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.