Skip to main content

Makam Panebasan, Ciklapa: Kontak Leluhur

Anak rantau, kiranya itulah atribut yang kumiliki. Dusun Panebasan menyimpan banyak cerita bapak, yang mengisi masa kecilku. Lahir di Rimbo Bujang, cerita-cerita itu hidup dan menjadi gambaran tentang tanah leluhur. Dalam pergaulan di antara anak-anak multi etnis kalau itu, bagaimanapun indetitas adalah suatu hal yang penting. Beberapa kali berkesempatan 'bali njawa', istilah para perantau jika pergi ke kampung halaman mereka di pulau Jawa, kutemukan fragmen gambaran cerita bapak di alam nyata. Baik di Panebasan, maupun di Kalilandak desanya simbah arah ibu. 
Namun demikian, lamat-lamat cerita bapak bukanlah motivasi utama keputusan dahulu untuk transfer sekolah ke SMKN 1 Banyumas, bukan. Itu murni bisikan langit. Skip. Setelah semua proses itu berlangsung, pointnya, kembali kubersimpuh di makam mulia itu. Mbah Syamsudien bin Murawi dan istri beliau Mbah Samen. Kali ini bersama Aria, buyut beliau berdua. Sementara ibu dan kedua yayunya masih harus sekolah daring karena pandemi.

Sekian lamanya tak berziarah ke pemakaman Panebasan selama pandemi Covid-19, haru rasanya ketika kembali sowan ke bumi yang penuh cerita ini. Dahulu pernah mendapat cerita dari juru rawat makam, sebelum lebih sering digantikan oleh sang anak juru rawat makam (kuncen), jika ternyata makam bapaknya Mbah Syamsudien (Mbah Murawi) ternyata pun disarekan di areal pemakaman ini. Namun riwayat itu belum dapat ditindaklanjuti. Jarak dan minimnya preferensi narasumber kasepuhan sekali lagi membekukan upaya pelacakan itu. Yah, barangkali ada warga Panebasan yang bisa membantu mencerahkan di kolom komentar, penulis akan sangat berterima kasih. 😍

Bercengkrama dengan para arwah, terhubung dengan mereka akan menumbuhkan rasa tenang dan keteduhan. Ketika tedhak turun senantiasa mendoakan dan melangitkan pengampunan bagi mereka, maka berkah itu akan senantiasa dirasakan di dalam kehidupan. Sebaliknya, jika seorang mengabaikan keberadaan leluhurnya, maka kegelapan akan selalu merudung kehidupannya. Mendoakan, menziarahi dan menjaga nama baik para leluhur adalah cerminan seseorang itu menghargai kehidupannya sendiri. 

Di dalam Al-Qur'an dalam surah Aṭ-Ṭūr ayat 21 disebutkan sebagai berikut:
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآ اَلَتْنٰهُمْ مِّنْ عَمَلِهِمْ مِّنْ شَيْءٍۗ  كُلُّ امْرِئٍ ۢبِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ
Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu  yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya

Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang yang beriman yang diikuti oleh anak cucu mereka dalam keimanan, akan dipertemukan Allah (ada yang mengatakan akan dihubungkan) dalam satu tingkatan dan kedudukan yang sama sebagai karunia Allah kepada mereka meskipun para keturunan itu ternyata belum mencapai derajat tersebut dalam amal mereka. Sehingga orang tua mereka menjadi senang, maka sempurnalah kegembiraan mereka karena dapat berkumpul semua bersama-sama.

Ketika membaca ayat 21 ini sahabat Ibnu ‘Abbās berkata, bahwa keturunan anak cucu orang-orang beriman akan ditingkatkan oleh Allah SWT derajatnya bila ternyata tingkatan mereka lebih rendah dari derajat orang tua mereka. 

Kemudian Allah swt memberikan gambaran tentang situasi surga penuh kenikmatan seperti tersedianya makanan mereka di dalam surga. Setiap buah-buahan atau makanan yang mereka inginkan pasti mereka peroleh sesuai dengan selera mereka. Kemudian digambarkan bagaimana mereka hidup senang di sana. Mereka saling berebutan minum, minum tetap dalam kesopanan, berbicara tentang hal-hal yang jenaka, di sana mereka dilayani oleh pelayan-pelayan yang sangat ramah dan cantik. Mereka juga membicarakan hal ihwal mereka di dunia dahulu sebelum mereka berada di dalam kesenangan dan kemewahan surgawi.

Diriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ الْجَنَّةَ سَأَلَ عَنْ أَبَوَيْهِ وَزَوْجَتِهِ وَوَلَدِهِ. فَيُقَالُ لَهُ إِنَّهُمْ لَمْ يَبْلُغُوْا دَرَجَتَكَ وَعَمَلَكَ. فَيَقُوْلُ رَبِّ قَدْ عَمِلْتُ لِي وَلَهُمْ فَيُؤْمَرُ بِإِلْحَاقِهِمْ بِهِ. (رواه ابن مردويه والطبراني عن ابن عباس)
Apabila seseorang memasuki syurga, ia menanyakan kedua orang tuanya, istrinya, dan anaknya, maka dikatakan kepadanya: “Mereka belum sampai pada derajat dan amalanmu.” Maka ia berkata: “Ya Tuhanku, aku telah beramal untukku dan untuk mereka”. Maka (per-mohonannya dikabulkan Tuhan) disuruhlah mereka (orang tua, istri, anak) untuk bergabung dengan dia.” (Riwayat Ibnu Mardawaih dan Imam Tabrani dari Ibnu ‘Abbas); 

Ini merupakan karunia Allah swt terhadap anak cucu yang beriman dan berkat amal bapak-bapak mereka sebab bapak pun memperoleh karunia Allah SWT dengan berkat anak cucu mereka sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
اِنَّ اللهَ لَيَرْفَعُ الْعَبْدَ الدَّرَجَةَ فَيَقُوْلُ رَبِّ أَنَّى لِيْ هٰذِهِ الدَّرَجَةُ فَيَقُوْلُ بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ. (رواه أحمد والبيهقي عن أبي هريرة)
Sesungguhnya Allah swt niscaya mengangkat derajat seorang hamba, lalu ia bertanya, “Ya Tuhanku, bagaimana aku memperoleh derajat ini?” Allah menjawab, “Kamu memperolehnya sebab doa anakmu.” (Riwayat Imam Ahmad dan Imam al-Baihaqi dari sahabat Abu Hurairah r.a);

Hadis di atas sejalan dengan hadis Nabi sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ ابْنُ ﺁدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِﻻّﹶ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila meninggal seorang anak Adam, maka terputuslah amalnya kecuali tiga: amal jariah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang saleh yang mendoakannya.”(Riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah r.a);

Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan lagi, bahwa pahala amal saleh para orang tua dan leluhur yang saleh tidak akan dikurangi, meskipun kedudukan anak dan isteri mereka yang beriman diangkat derajat mereka menjadi sama dengan suami/bapak atau leluhur mereka sebagai karunia Allah SWT. 😍😍😍

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan, bahwa setiap orang memang hanya bertanggung-jawab terhadap amal dan perbuatan masing-masing. Perbuatan dosa istri atau anak tidak menjadi tanggung jawab ayah/suami, demikian pula perbuatan dosa ayah/suami tidak dibebankan pada anak atau istrinya.

Hal ini perlu ditegaskan bahwa hal itu merupakan prinsip dasar. Tetapi Allah memberi karunia banyak kepada orang tua yang beriman dan beramal saleh dengan menambah kebahagiaan orang tua untuk memenuhi keinginan orang tua berkumpul di surga bersama anak, istri dan cucu-cucunya, selama mereka beriman, meskipun derajat mereka lebih rendah, tetapi Allah mengangkat mereka menjadi sama dengan bapak yang mukmin dan saleh tadi. Apabila si anak berbahagia masuk surga dan merindukan bersama orang tuanya, maka Allah melimpahkan karunia-Nya, mengangkat bapak ibunya yang beriman untuk mendapat kebahagiaan bersama anak mereka di surga.
Karunia Allah yang demikian tidak mengubah prinsip setiap orang, hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing, meskipun tetap ada pengecualian yang lain seperti firman Allah swt:
كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ  ٣٨  اِلَّآ اَصْحٰبَ الْيَمِيْنِ ۛ   ٣٩
Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya, kecuali golongan kanan. (al-Muddatsir/74: 38-39)
 
Setiap orang akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di hadapan Allah SWT. Tanggungjawab itu tidak akan terlepas dari mereka kecuali golongan kanan yaitu orang-orang yang berbuat baik. Mereka inilah yang akan terlepas dari tanggung jawab disebabkan oleh ketaatan mereka beribadah kepada Allah SWT.
Terkait babat alas Ciklapa bisa dibaca tulisan di sini:

Comments

Popular posts from this blog