Jauh sebelum MUI dan Majelis Tarjih Muhammadiyah menjatuhkan Fatwa Haram terhadap Rokok, Syeikh Ihsan bin Syeikh Muhammad Dahlan (1901-1952), Jampes, Kediri, Jawa Timur, sudah menuliskan perdebatan ulama seputar rokok dalam kitabnya “Irsyad al-Ikhwan: Fi Bayani Ahkami Syurb al-Dukhan wa al-Qahwa”. (Petunjuk Kawan: Tentang Hukum Merokok dan Meminum Kopi). Menurut Syeikh Ihsan, sejak kemunculannya di dunia Islam, rokok dan kopi memang sudah merangsang pembicaraan hangat (diskursus) di kalangan ulama.
Tulisan ini akan mencoba membaca kembali kitab tersebut menggunakan kerangka pembacaan “relasi kuasa dan pengetahuan” yang diintrodusir dari Michel Foucault——salah satu filsuf pasca-strukturalis Prancis. Menurut Foucault, pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain. pengetahuan menciptakan kekuasaan. Juga sebaliknya. Keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun, kekuasaan yang dimaksud di sini bukanlah semacam otoritas tunggal yang mewujud dalam bentuk kekusaan negara atau institusi. Kekuasaan bukanlah kemampuan atau kepemilikan. Setiap masa dan waktu tertentu, kata Foucault, pengetahuan tentang sesuatu selalu dipengaruhi oleh “sistem pemikiran” (episteme) tertentu yang menjuruskan cara mempraktekkan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut.
Kerja episteme sangat halus menguasai cara berpikir orang dalam kurun waktu tertentu. Mekanisme kerja episteme bersifat diskursif. Bagaimana sebuah fenomena dikategorisasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti tergantung pada tiga kompnen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh. Untuk menggali epiteme agar tampil ke permukaan dibutuhkan “alat” yang oleh Foucault disebut arkeologi.
Melalui pelacakan jaringan kekuasaan yang melatar-belakangi (pembentukan) pengetahuan, kita akan mendapati bahwa pengetahuan tidaklah netral, bebas nilai, objektif, seperti yang selama ini diklaim ilmu pengetahuan modern (postivisme). Bahkan, dalam aras tertentu, kita dapat membongkar ideologi di balik klaim objektivitas ilmu pengetahuan tersebut.
Seperti yang akan kita buktikan dan akan kita temukan pada wacana tentang (hukum) rokok. Ternyata, dalam setiap masa dan waktu tertentu persepsi tentang rokok tidaklah tunggal.
Namun, sebelum melakukan penelusuran lebih jauh kandungan isi kitab ini, alangkah baiknya kita sajikan dulu biografi pengarang kitab ini.
Syeikh Ihsan
Salah satu ulama pesantren yang namanya sempat melambung dan diperhitungkan dunia Islam adalah Kiai Ikhsan bin Muhammad Dahlan. Ia dilahirkan pada 1901 di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo. Ayahnya, Kiai Dahlan bin Saleh, adalah seorang kiai pimpinan pesantren yang masih keturunan Syeh Syarif Hidayatullah, Cirebon, salah satu Wali Sembilan penyebar Islam di Jawa Barat. Sedangkan dari jalur neneknya, Nyai Isti’anah, Kiai Ihsan merupakan keturunan Kiai Hasan Besari, guru penyair Jawa kenamaan, Ronggowarsito.
Kiai Ihsan tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Namun, kiai yang semasa kecilnya dipanggil Bakri ini memiliki kegemaran menonton wayang dan bermain judi sembari ditemani secangkir kopi dan segepok rokok. Tak seorangpun yang dapat menghentikan dan memalingkan kegemarannya itu. Termasuk kedua orang tuanya. Hingga suatu ketika ia diajak orang tuanya berziarah ke makam Kiai Yahuda, Pacitan. Di sini Kiai Dahlan mengadu dan meminta (bertawasul) agar prilaku dan kebiasaan buruk anaknya berubah.
Selapas ziarah, malam harinya, Ihsan bermimpi ditemui seorang kakek-kakek berpakaian putih-putih membawa batu besar sambil berkata: “Ihsan, kalau kau tidak menghentikan kebiasaanmu berjudi, akan saya lemparkan batu ini ke kepalamu!”.
“Apa kepentinganmu mencampuri urusanku!” timpal Ihsan. Seketika itu juga sang kakek melempar batu itu mengenai kepala Ihsan hingga pecah. Begitu terjaga, Ihsan langsung mengucap istighfar dan memohon ampun kepada Allah SWT.
Mimpi itu telah merubah kehidupan dan kebiasaan Ihsan. Sejak itu, ia mengembara menuntut ilmu dari satu kiai ke kiai lain, singgah dari pesantren satu ke pasantren lain. Ia belajar tembang dan syair (ilmu ‘arudh) di pesantren Gondang Legi, Nganjuk, belajar Gramatika Arab (nahwu-shorf) di pesantren Kiai Khalil, Bangkalan, Madura, dan belajar astronomi (falak) di pesantren Kiai Saleh Darat, Semarang.
Pergulatan dan perjumpaan Kiai Ihsan dengan kiai-kiai sepuh di beberapa pesantren melahirkan banyak karya tulis, baik yang sudah atau belum dicetak. Di antaranya, Siraj at-Thalibin, Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi al-Qahwah wa ad-Dukhan, Tasrih al-Ibarah, Manahij al-Imdad, dll.
Kitab yang sempat melambungkan namanya ke kancah dunia internasional adalah Siraj at-Thalibin, sebuah komentar (syarh) atas Minhaj al-‘Abidin-nya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Kitab setebal 800 halaman yang dibagi dalam dua jilid ini sempat membuat kagum Raja Faruk, penguasa Mesir waktu itu. Bayangkan, seorang Jawa yang tidak pernah mencicipi tanah Arab, tetapi sanggup membuat karya monumental dengan bahasa Arab yang baik, indah, mengalir, dan seolah-olah menyatu dengan kitab asalnya (matan).
Sebelum meninggal, yaitu pada 15 September 1952, Kiai Ihsan sempat ditawari penguasa negeri para Firaun itu untuk mengajar di Universitas al-Azhar, Kairo. Namun, Kiai Ihsan menolak. Ia lebih memilih mengajar dan menghabiskan waktunya di pesantren kecil peninggalan ayahnya, Pesantren Miftahul Huda, Jampes, Kediri. Mungkin, Kiai Ihsan sadar bahwa “kecil itu indah”.
Kandungan Kitab Irsyadul Ikhwan
Di samping cerdas, berotak encer, dan memiliki segudang ide-ide cemerlang, Kiai Ihsan dikenal rajin dan tekun membaca. Buku dan kitab apapun dilahapnya habis. Kiai Ihsan termasuk produktif dan banyak menulis lintas disiplin. Bahkan, saking produktifnya, ada yang menyebut ia memiliki ilmu laduni, yaitu ilmu yang memancar langsung dari Allah SWT, tanpa melalui usaha (kasb) dan proses belajar.
Dari tangan dinginnya ini, salah satunya, lahir kitab Irsyad al-Ikhwan yang akan kita kuliti dalam tulisan ini. Menurut sejarahnya, kitab ini ditulis untuk menjawab “sindiran” salah seorang kiai lantaran ia terlalu banyak merokok (perokok berat) dan hobi meminum kopi, yang menurut kiai tersebut hukumnya haram (kira-kira kalau sekarang adalah para penganjur faham Wahabi). Maklum, bagi kiai Ihsan, rokok dan kopi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Irsyad al-Ikhwan merupakan komentar (syarh) atas syair (puisi) yang ditulis Kiai Ihsan sendiri yang diadaptasi dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayan al-Qahwah wa al-Dukhan yang ditulis Kiai Dahlan, Semarang, yang menjelaskan seputar rokok dan kopi. Kiai Ihsan menamai kitab syarh-nya ini agak mirip dengan kitab induknya (matan).
Kitab ini terdiri atas empat bab: bab pertama (hal. 1-9) berisi pembukaan, harapan, serta penjelasan penulisnya seputar kandungan kitab ini. Bab dua (hal. 9-19) menjelaskan tentang rokok dan kopi, sejarahnya, berikut sepintas pendapat-pendapat ulama seputar hukum keduanya.
Menurut Kiai Ihsan, pada awal-awal kemunculanya rokok (tembakau) belum dikenal dalam dunia Islam. Terbukti, misalnya, istilah tembakau sendiri bukanlah berasal dari Bahasa Arab. Ada beragam nama untuk menyebut kata ini, di antaranya “tûtûn” dan “at-tanbâk”. Istilah medis menyebutnya “banbajir”.
Tembakau pertama kali ditemukan di daerah Tabacco, Meksiko. Setelah bangsa Eropa (Colombus) menemukan kepulauan Karibia dan di sana banyak sekali tanaman tembakau, serta kebiasaan penduduknya menghisap rokok yang terbuat dari daun tembakau, orang-orang migaran Eropa membawa biji tembakau untuk dibudidayakan di Eropa. Diperkirakan hal itu terjadi pada 1518 M/930 H. Kemudian pada 1560 M/977 H rokok mulai populer dan menyebar luas di Dunia Eropa.
Begitu juga dengan kopi. Kopi baru dikenalkan pada Dunia Arab, Asia dan Afrika pada sekitar 1600 M/1017 H. Tentang hukum kopi, di antara ulama masih berbeda pendapat.
Bab tiga (hal. 19-62) berisi penjelasan seputar pendapat beberapa ulama yang mengharamkan rokok. Sejumlah ulama seperti Syihabuddin al-Qulyubi, Ibrahim al-Luqani, Hasan al-Syarnabila, al-Tarabisyi, memilih untuk menghukumi haram. Alasannya, rokok dapat mendatangkan bahaya, pemakainya akan mudah terserang penyakit, merusak otak, dan mengganggu kesadaran. Karena itu, merokok sama dengan menyakiti diri sendiri, di mana tindakan tersebut sangat-sangat dilarang oleh agama.
Menurut al-Allamah al-Syihab al-Qulyubi, rokok menyebabkan kekebalan tubuh melemah, sehingga mudah terserang penyakit. Penyakit yang biasa menghinggapi perokok adalah penyakit Tarahil danTanafis. Penyakit Tarahil adalah penyakit yang menyebabkan seluruh otot kendur. Sedangkan penyakit Tanafus menyebabkan pori-pori tubuh membesar. Juga menyebabkan kepala pusing dan mabuk. Al-Laqani malah menyamakan rokok dengan kecubung dan opium. (hal. 19)
Alhasil. Ada empat alasan ulama mengharamkan rokok. Pertama, rokok dianggap dapat membahayakan kesehatan, seperti yang banyak disinggung ahli medis. Kedua, rokok dapat “melemahkan” penggunanya. Seperti yang dikatakan Hadis Nabi SAW, bahwa beliau mencegas sesuatu yang memabukkan dan melemahkan. Rokok termasuk yang kedua. Ketiga, aroma dan asap rokok dapat mengganggu orang lain. Ini sangat dilarang agama. Bukankah banyak hasi-hadis Nabi SAW yang melarang memakan makanan yang baunya tak sedap. Menurut pendapat ini, rokok termasuk di dalamnya. Dan yang keempat lebih melihat pada asas manfaatnya. Menurut pendapat ini, rokok tidak ada manfaatnya sama sekali, bahkan membahayakan. Membeli rokok sama dengan membuang-buang harta.
Sedangkan Bab empat (hal. 26-41) berisi pendapat ulama yang membolehkan rokok sekaligus memuat bantahan (counter) terhadap ulama yang mengharamkannya. Bagi ulama yang membolehkan, seperti Abdul Ghani al-Nabulusi dan Ali al-Syibramilisi, pengaharam rokok tidak berdasar sama sekali, karena tidak ada satupun hadis ataupun ayat al-Quran yang secara tegas melarangnya.
Menurutnya, hukum haram hanya berlaku bagi mereka yang sakit, mudah terserang penyakit, yang apabila merokok maka akan membahayakan, bahkan memperparah sakitnya.
Sementara pendapat yang mu’tamad memilih hukum makruh. Pendapat ini disinyalir oleh al-Bajuri didalam kitabnya. Menurut al-Bajuri, pendapat yang mengharamkan rokok berasal dari qaul dha’if(lemah). Pendapat al-Bajuri ini didukung Muhammad Said dan Muhammad Ibnu Musa.
Dengan demikian, status hukum yang menempel pada rokok bukan disebabkan pada dirinya sendiri, dzat rokok, melainkan oleh sesuatu yang lain (amrun kharij). Hakikatnya, rokok tidak dapat dihukumi apapun. Yang mengatakan rokok haram, beralasan bahwa rokok membahayakan, dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya, bagi yang membolehkan, merokok tidak membahayakan. Apalagi, tidak ada satupun dalil-dalil yang menegaskan keharamannya.
Dalam kaidah fiqh dikenal “al-Ashl baqa’u ma kaana ala ma kana” (hukum asal sesuatu tergantung pada awal penciptaannya). Ada dua pendapat soal hukum asal sesuatu. Yang pertama mengatakan bahwa asal segala sesuatu adalah boleh (al-ashlu al-ibahah), kecuali terdapat dalil-dalil (nash) yang menyatakan sebaliknya. Sedangkan yang kedua mengatakan asal segala sesuatu adalah tidak boleh (al-ashlu al-tahrim). Pendapat yang pertama lebih unggul.
Uniknya, dari sekian pendapat yang ada, baik pro maupun kontra, tidak satupun yang mengungkapkan berdasarkan alasan-alasan keagamaan. Semuanya bermuara pada satu pertanyaan: apakah rokok berbahaya? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan status hukum rokok. Seperti kita ketahui, ulama yang mengharamkan rokok berpegang dan didasarkan pada pertimbangan dan temuan medis: rokok berbahaya bagi kesehatan. Sementara bagi yang menolak tidak percaya begitu saja terhadap pendapat tersebut.
Lantas, pertanyaannya: siapakah yang berhak menentukan bahaya-tidaknya rokok? Di sinilah peran kuasa dan kaitannya dengan pengetahuan dapat kita ketahui. Siapapun yang (dianggap) mengetahui sesuatu, maka ia berkuasa untuk menentukan sesuatu itu. Karena dokter dianggap (satu-satunya) memiliki pengetahuan tentang hal-ikhwal penyakit dan kesehatan, maka ia berhak untuk menentukan pasiennya.
Inilah zamannya ilmu medis yang dirasuki cara berpikir positivistik. Ilmu medislah yang berkuasa menentukan rokok sebagai patologi yang merusak masa depan kehidupan manusia. Sementara pengetahuan yang lain yang tidak sejalan akan disingkirkan dan ditaruh dalam kotak. Jangan harap pengetahuan dukun atau klenik mendapat tempat atau dapat bersuara di zaman sekarang ini.
Padahal, berdasarkan data-data sejarah, dalam kurun waktu tertentu rokok tidaklah dianggap penyakit, malah dijadikan sebagai media pengobatan, bahkan sebagai perantara dunia spiritual. Di sinilihah urgensi pemikiran Foucault dalam membedah relasi kuasa dan pengetahuan. Bagaimana persepsi tentang sesuatu (wacana) dipengaruhi oleh episteme yang berlaku pada saat itu.
Sejarah (Hukum) Rokok
Sebagaimana yang disebutkan Kiai Ihsan di atas, bahwa tembakau berasal dari benua Amerika. Menurut sejarahnya, sekitar 100 tahun SM suku-suku di sana, terutama suku Maya, Aztek, dan Indian, sudah terbiasa menggunakan rokok sebagai media pengobatan, ritual pemujaan terhadap dewa-dewa, juga sebagai pengusir roh-roh halus.
Setelah Colombus menemukan benua Amerika dan membangun koloni-koloni di sana, tembakau dan kebiasaan merokok mulai dikenalkan pada masyarakat Eropa. Bibit-bibit tembakau dibudidayakan di Eropa. Tercatat, Jean Nicot adalah orang yang pertamakali mempopulerka rokok di benua Eropa. Sejak itu, rokok menjadi satu-satunya komoditas yang menguntungkan. Idustri rokok bermunculan di mana-mana.
Begitu juga dengan sejarah penemuan rokok kretek (rokok racikan tembakau dan cengkeh). Konon, sejarahnya bermula dari Haji Djamari, laki-laki asal Kudus. Djamari mengeluh karena penyakit asma yang dideritanya tak kunjung sembuh. Awalnya ia mengoleskan minyak cengkeh di dadanya. Kemudian ia mencoba-coba mencampurkan cengkeh dengan tembakau untuk dijadikan rokok. Anehnya, dengan cara itu ia bisa sembuh dari penyakitnya. Mulai saat itu, Djamari mengenalkan rokok hasil racikannya ke masyarakat.
Baru pada pertengahan abad 20 pandangan terhadap rokok mulai berubah. Rokok mulai dihubung-hubungkan dengan kesehatan. Asosiasi dokter bedah Amerika mulai melakukan kampanye bahwa rokok dapat menyebabkan kangker paru-paru. Mulai saat itu iklan rokok dilarang. Di Inggris pelarangan rokok dimulai tahun 1965, sedangkan Amerika tahun 1970.
Di siniliah konstruksi tentang bahaya rokok mulai dibangun. Bermula dari penelitian medis yang menggunakan uji statistik, misalnya, sekelompok orang yang menghabiskan rokok dalam jumlah besar akan lebih mudah beresiko terkena penyakit dibanding orang yang merokok biasa saja. Uji sample ini diterapkan dan berlaku pada setiap perokok di belahan dunia manapun.
Selanjutnya, wacana rokok yang dibangun dan dikonstruksikan oleh kalangan medis pada akhirnya dipakai para ulama dalam merumuskan dan memutuskan status hukum rokok. Di sinilah antar wacana kemudian bertemu dan berbicara dalam tema yang sama. Hal ini, oleh Foucoult, disebut formasi diskursif. Dengan cara seperti inilah “kebenaran” dibangun.
Merawat keberagaman
Dalam kitabnya ini, Kiai Ihsan menyebutkan semua pendapat ulama, baik yang menghalalkan maupun yang mengharamkan rokok dan kopi, dengan argumentasi masing-masing, tanpa disembunyikan, ditutup-tutupi, apalagi dipukul rata (melakukan generalisasi). Dengan keragaman pendapat itu, Kiai Ihsan ingin menunjukkan bahwa “kebenaran” tidaklah tampil tunggal. Ia muncul dengan spektrum yang berbeda-beda. Semuanya diserahkan sepenuhnya tergantung pada pilihan, penilaian, dan persepsi pembaca (reader) untuk mengikuti qaul (pendapat) manapun.
Hal ini sangat berbeda denga fatwa haram rokok yang dikemukakan Majelis Tarjih Muhammadiyyah akhir-akhir ini. Fatwa itu “menyembunyikan” pendapat lain dengan cara membunuh keragaman pendapat yang merupakan kekayaan dan khazanah tersendiri. Dengan memutlakkan suatu pendapat, memukul rata sebuah keputusan, melakukan totalisasi, berarti telah menyingkirkan pendapat lain yang berbeda. Ini termasuk jenis “kekerasan” tersendiri, kekerasan yang dilakukan “yang kuat dan yang berkuasa” terhadap “yang lemah dan yang dikuasai”.
Sehingga, kita bisa melacak dan balik bertanya, ada apa di balik Muhammadiyyah mengeluarkan fatwa itu? Mengapa harus haram? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh fatwa ini? Siapa pula yang berkepentingan terhadap fatwa ini? Di sinilah jaringan kekuasaan itu bisa kita lacak. Ternyata, pengetahuan tidak lepas dari kekuasaan yang berjalin lekat di antara keduanya.
Kita percaya, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah tunggal. Sebagaimana fatwa ini yang sesungguhnya tidak tunggal dan seragam. Mari kita rayakan perbedaan dan keragamaan itu.
Wallahu a’lam bi sawab….
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.