Skip to main content

Potensi Zakat di Banyumas

Zakat, infak dan sedekah merupakan dana filantropis dalam ajaran Islam yang secara dogmatis sangat erat kaitannya dengan respresentasi nilai-nilai ajaran altruistik. Alhasil, persoalan-persoalan terkait pengelolaan dana zakat, infak, dan sedekah serta pemberdayaan (empowering) lembaga Amil selalu menjadi isu menarik dalam berbagai halaqah ilmiah. Reiventing optimalisasi dana altruistik ini diyakini oleh kalangan cendekia akan mampu meningkatkan akurasi kesejahteraan suatu negara (welfare nations).

Dalam konteks problem pembangunan negara di Indonesia, fenomena kemiskinan (poverty), rendahnya tingkat pendidikan dan kesempatan kerja serta buruknya mutu layanan kesehatan masih saja menjadi momok laten. Ironi ini bukan saja diakibatkan oleh infertilnya aneka program kesejahteraan negara, namun juga di sisi lain disebabkan oleh faktor mentalitas kemandirian anak bangsa yang masih rapuh. Fakta sosial ekonomi ini diduga merupakan dampak turunan dari cemarut berbagai program kesejahteraan pemerintah yang kurang menekankan upaya reiventing public empowering[1]. Akibat lainnya yang mengemuka justru adalah munculnya kesan stimulasi ke’manja’an rakyat terhadap negaranya akibat proyek sosial tersebut, berikut kriminalisasi aparatur terkait kebijakan tersebut. Potret absurd ini dapat dilihat dari munculnya rentetan masalah komplikatif dari berbagai realisasi proyek pemerintah, seperti: proyek Bantuan Langsung Tunai (BLT), proyek PNPM Mandiri, proyek konversi LPG dan proyek properti kerakyatan. Hal yang patut digarisbawahi adalah kenyataan bahwa sumber pembiayaan dari proyek-proyek berkabut tersebut adalah semata-mata berasal dari penghasilan pajak. Sementara itu, dana filantropi semisal zakat, infak dan sedekah serta wakaf diposisikan sebagai sumber dana pembangunan bangsa yang masih bersifat alternatif, bukan sebagai suatu solusi mainstream di republik ini.

Dalam perspektif yang berbeda, bahwa problem yang menjadi pangkal polemik yang selalu mengemuka terkait diskursus reiventing empowering dana ZIS adalah pada lemahnya tata kelola lembaga Amil. Riset-riset terkait yang mengemban misi pengungkapan atas infertilitas institusi zakat ini telah cukup banyak dilakukan; berikut fakta empirik dan solusi konstruktif yang ditawarkan. Namun demikian yang patut disayangkan kemudian adalah bahwa temuan tersebut berikut aneka formulasinya masih saja bersifat teoritis belaka, artinya riset yang dilakukan tidak diikuti dengan aktivitas pendampingan pengelolaan lembaga amil pasca penelitian dalam ranah praksis. Alhasil, jargon ’Zakat untuk Kesejahteraan Umat’ tetaplah menjadi suatu propaganda yang utopis, dan adicita kesejahteraan umat (baca: bangsa) seolah lestari menjadi suatu adicita yang teramat mewah.
Beberapa catatan penting terkait stagnansi pengelolaan dana-dana altruistik pada lembaga  Islam di Indonesia sebenarnya dapat dipetakan ke dalam beberapa permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian pendampingan ini. Reiventing terkait dana ZIS ini nantinya tentu akan membutuhkan rekonstruksi dan revitalisasi yang sistemik terhadap lembaga amil yang sedang diteliti dan diberdayakan sesuai konsep Good Amil Governance dan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011. Dus, integrasi penelitian dan partisipatif di mana terdapat keterlibatan pendampingan expertice langsung dari tim peneliti adalah faktor cloe di dalam diskursus empowering lembaga amil. Dengan upaya ilmiah ini nantinya diharapkan fakta diametral antara ZIS versus kesejahteraan akan terjembatani, khususnya bagi organisasi Islam sekaliber Nahdlatul Ulama di kepengurusan wilayah Banyumas.


[1] Empowering yang dimaksud dalam diskursus ini adalah upaya pemberdayaan masyarakat secara mandiri, yang berangkat dari rakyat, dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat dan tertujukan bagi peningkatan skala kesejahteraan masyarakat tersebut; baik dalam skala lokal maupun nasional dengan tetap dalam kepengawasan fungsi negara (khususnya pasca ratifikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011).

Comments

Popular posts from this blog