Istilah tindak pidana di bidang ekonomi pada hakekatnya dapat diberikan definisi secara sempit dan luas : Tindak pidana dibidang ekonomi secara sempit dapat didefinisikan sebagai tindak pidana yang secara yuridis telah diatur dan dirumuskan dalam Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (sering disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi). Tindak pidana di bidang ekonomi dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai semua tindak pidana di luar Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan Negara yang sehat. Tindak pidana di bidang ekonomi dalam pengertian yang luas ini disebut pula sebagai "kejahatan ekonomi".
Secara sederhana tindak pidana ekonomi adalah "…perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian".
Lebih lanjut pengertian ini dijabarkan dalam Pasal 1 Undang-undang tindak pidana ekonomi yang menyebutkan bahwa yang didefinisikan sebagai tindak pidana perekonomian adalah :
Pelanggaran berbagai ketentuan yang terdapat dalam atau berdasarkan berbagai peraturan dan ordonantie (peraturan pemerintah) yang dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang tindak pidana ekonomi. Tindak-tindak pidana tersebut dalam Pasal 26, Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-undang tindak pidana ekonomi. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi secara umum adalah suatu tindak pidana yang mempunyai motif ekonomi dan lazimnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual dan mempunyai posisi penting dalam masyarakat atau pekerjaannya.
Pengertian Tindak Pidana Ekonomi pada Pasal 1 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi bersifat prospektif artinya tidak ada definisi yang bersifat limitative mengenai tindak pidana ekonomi. Apabila pada kemudian hari diperlukan adanya pengaturan mengenai perbuatan atau pelanggaran tertentu sebagai tindak pidana ekonomi, hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia apabila dilihat dari substansi Undang-Undang Darurat No. 7 1955 tampak lebih dekat atau dapat dimasukkan ke dalam istilah economic crimes dalam arti sempit. Hal ini disebabkan Undang-undang tersebut secara substansial hanya memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan.Dalam menjalani aktivitas sehari-hari dilingkup perusahaan mungkin kita melihat ada beberapa “oknum” pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi namun kita binggung bagaimana cara melaporkan kasus tersebut, berikut kami tampilkan tata cara pengaduan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) :
Secara sederhana tindak pidana ekonomi adalah "…perbuatan-perbuatan yang merugikan perekonomian".
Lebih lanjut pengertian ini dijabarkan dalam Pasal 1 Undang-undang tindak pidana ekonomi yang menyebutkan bahwa yang didefinisikan sebagai tindak pidana perekonomian adalah :
Pelanggaran berbagai ketentuan yang terdapat dalam atau berdasarkan berbagai peraturan dan ordonantie (peraturan pemerintah) yang dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-undang tindak pidana ekonomi. Tindak-tindak pidana tersebut dalam Pasal 26, Pasal 32 dan Pasal 33 Undang-undang tindak pidana ekonomi. Pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.
Tindak pidana ekonomi secara umum adalah suatu tindak pidana yang mempunyai motif ekonomi dan lazimnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan intelektual dan mempunyai posisi penting dalam masyarakat atau pekerjaannya.
Pengertian Tindak Pidana Ekonomi pada Pasal 1 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi bersifat prospektif artinya tidak ada definisi yang bersifat limitative mengenai tindak pidana ekonomi. Apabila pada kemudian hari diperlukan adanya pengaturan mengenai perbuatan atau pelanggaran tertentu sebagai tindak pidana ekonomi, hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Istilah tindak pidana ekonomi yang dikenal di Indonesia apabila dilihat dari substansi Undang-Undang Darurat No. 7 1955 tampak lebih dekat atau dapat dimasukkan ke dalam istilah economic crimes dalam arti sempit. Hal ini disebabkan Undang-undang tersebut secara substansial hanya memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur sebagian kecil dari kegiatan ekonomi secara keseluruhan.Dalam menjalani aktivitas sehari-hari dilingkup perusahaan mungkin kita melihat ada beberapa “oknum” pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi namun kita binggung bagaimana cara melaporkan kasus tersebut, berikut kami tampilkan tata cara pengaduan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) :
Landasan Hukum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mungkin memberantas korupsi tanpa bantuan dari segenap komponen bangsa, terutama dari masyarakat. Menurut UU No.30/2002 , pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas TPK melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku (pasal 6). Dalam melaksanakan tugasnya, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 ( Satu Milyar Rupiah).( Pasal 11)
4. Secara khusus peran serta masyarakat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2000 , tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK)
Pengertian Tidak Pidana Korupsi
UU No. 31/1999 jo UU No.20/2001 , menyebutkan bahwa pengertian
korupsi setidaknya mencakup segala perbuatan :
1.
Melawan Hukum, memperkaya diri, orang/badan yang merugikan
keuangan /perekonomian negara (pasal 2).
2.
Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (pasal 3).
3.
Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6 dan 11)
4. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan
10)
5. Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
6. Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
7. Delik Gratifikasi ( pasal 12B dan 12C)
Peran Serta Masyarakat
Setiap orang, organisasi masyarakat & LSM berhak mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan TPK, serta menyampaikan saran
dan pendapat kepada penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) atau KPK.
Informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus
dilakukan secara bertanggung-jawab ( PP No. 71/2000 Pasal 2 ayat 2) , dan
disampaikan secara tertulis dan disertai dengan :
Nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau
pimpinan LSM dengan melampirkan fotokopi KTP atau identitas diri lainnya, dan keterangan
mengenai dugaan pelaku TPK dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. ( PP No.71 Tahun
2000 Pasal 3 ayat 1)
Tata Cara Penyampaian Pengaduan
Format penyampaian pengaduan
Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis.
Walaupun peraturan yang ada menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara
lisan, tetapi untuk lebih meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu
perkara, maka pengaduan yang diterima masyarakat hanya berupa pengaduan
tertulis.
Identitas pelapor/pemberi informasi pengaduan
Untuk memudahkan tindak lanjut, dan jika diperlukan adanya
penjelasan lebih dalam, maka wajib disertakan identitas diri pelapor. Identitas
yang perlu disampaikan dalam pelaporan, mencakup:
Nama, Pekerjaan, Alamat rumah dan Tempat bekerja, Telepon yang
dapat dihubungi, serta identitas lain yang dianggap perlu.
Pengaduan melalui telpon, Fax, e-mail, dan SMS akan
ditindak-lanjuti apabila telah disusulkan dengan data lengkap, sesuai dengan PP
No.71/2000 pasal 2 dan 3.
Pengungkapan Materi Pengaduan
Laporan setidaknya mengungkap jenis penyimpangan,
fakta/proses kejadian, penyebab dan dampak (kerugian negara yang ditimbulkan)
Alat dan barang bukti
Jika ada, laporan dapat disertai alat bukti, Pasal 184 ayat
(1) KUHP merujuk beberapa alat/barang bukti berupa keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, dan petunjuk. Sedangkan didalam UU No. 20/2001 tentang perubahan
atas UU No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 26A ,
dikenal juga bukti lain (dan tidak terbatas pada) informasi/data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik
atau optik.
Perlindungan Hukum pelapor/ pemberi informasi pengaduan
KPK mempunyai kewajiban untuk melindungi identitas pelapor
tersebut (PP No.71 Tahun 2000, Bab.II Pasal 6 ayat 1) dan apabila diperlukan ,
atas permintaan pelapor, KPK atau Penegak Hukum dapat memberikan pengamanan
fisik terhadap pelapor maupun keluarganya. (PP No.71/ 2000, Bab.II Pasal 6 Ayat
2)
Penghargaan
Kepada setiap orang, organisasi masyarakat atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), yang telah membantu upaya pencegahan atau
pemberantasan TPK dapat diberikan penghargaan berupa Piagam atau Premi, setelah
putusan pengadilan yang mempidana terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap (PP
No.71/2000, bab III pasal 7 s/d 11).
Sumber: LBH Bintang Raya Keadilan
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.