Skip to main content

Wawasan Tindak Pidana Perbankan; Modus dan Penanganan.



Kasus bobolnya Bank BNI dengan jumlah cukup spektakular yang kemudian disusul dengan “perampokan” Bank BRI . Kasus ini mempertebal kepercayaan kita akan rendahnya etika profesionalisme pengelola industri perbankan dan lemahnya system pengawasan bank terutama system pengawasan internal. Padahal etika profesionalisme sangat penting bagi pengelolaan bank karena pada dasarnya kekayaan yang dikelola oleh pengurus bank sebagian besar merupakan kekayaan masyarakat yang dipercayakan padanya. Pada tahun-tahun terakhir ini perbankan memang telah mengalami suatu ujian yang sangat berat terutama dalam profesionalisme kepengurusan bank. Sebenarnya hal tersebut tidak hanya terjadi pada industri perbankan Indonesia tetapi juga pada industri perbankan di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari besarnya kerugian yang diderita oleh bank multinasional yang disebabkan oleh pengurus bank.

Disamping penipuan yang dilakukan oleh orang dalam perbankan, bentuk transaksi bank telah pula menyebabkan perbankan dapat digunakan sebagai sarana untuk menyembunyikan dan atau mengaburkan asal usul dana yang berasal dari tindak pidana. Upaya pengaburan ini dikenal dengan pencucian uang (money laundering) yang beberapa tahun terakhir ini semakin menjadi sorotan internasional. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya tindak kejahatanmoney laundering yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem ekonomi suatu negara.


Tindak Pidana Perbankan
Terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.

Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).

Jenis-Jenis Tindak Pidana Perbankan
Dalam UU Perbankan terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam:
1.      Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam Pasal 46.
2.      Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 47 A.
3.      Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank diatur dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
4.      Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam pasal 49 ayat (1) huruf a,b dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A.

Pasal 46 ini satusatunya pasal dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
Ketentuan Pasal 46 ayat (1) sering menimbulkan permasalahan yaitu: Pertama, apakah yang dimaksud dengan “menghimpun dana dari masyarakat”. Kedua, apakah simpanan yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya berupa giro, tabungan, deposito dan sertifikat deposito atau juga meliputi bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Ketiga, apakah si pelaku harus menggunakan nama bank atau tidak.

Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dilihat pada putusan pengadilan yang menerapkan Pasal 46 yaitu dalam kasus PT BMA yang berkedok sebagai usaha Multi Level Marketing. PT BMA menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk yang kurang jelas. Kepada penyimpan dana diberikan seperangkat tekstil dan atau hak untuk meminjam sejumlah uang. Menurut Bank Indonesia, MLM ini telah melakukan kegiatan bank gelap yang melanggar Pasal 46 UU Perbankan. Pendapat diterima oleh pengadilan.

Suatu pertanyaan yang sering timbul adalah apakah tindak pidana yang diatur dalam UU Perbankan merupakan tindak pidana umum atau khusus. Hal ini berkaitan dengan tugas penyidikan terhadap tindak pidana ini. Terdapat kesan, bahwa pihak Kepolisian menganggapnya sebagai tindak pidana umum, karena walaupun tindak pidana ini diatur di luar KUHP, tetapi UU adedidikirawanPerbankan tidak mengatur Hukum Acara khusus mengenai tindak pidana perbankan. Ada pihak lain yang menyebut sebagai tindak pidana khusus, karena diatur di luar KUHP, ancaman hukum berat dan kumulatif dengan minimum hukuman dan ada sedikit hukum acara seperti yang diatur dalam Pasal 42 yang berkaitan dengan permintaan keterangan yag bersifat rahasia bank dalam proses peradilan perkara pidana.

Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal  4 Februari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana khusus (sebagai penjelasan dari Pasal 284 KUHAP). Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat perhatian khusus. Kejahatan orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam bank terhadap bank (crimes against the bank). Kejahatan “orang dalam” dalam bentuk penipuan (fraud) dan self dealing merupakan penyebab utama kehancuran bank karena bagian terbesar asset bank berbentuk likuid. Di Amerika Serikat misalnya insider fraud merupakan 50% dari kejahatan yang terjadi pada perbankan. Kejahatan oleh “orang dalam” ini dapat dilakukan oleh pengurus dan atau pemegang saham dominan (pemegang saham pengendali) yang mempengaruhi pengurus bank. Kejahatan yang dilakukan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua cara. Pertama, dilakukan dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum. Keduamismanagement berat berupa tindakan ceroboh yang oleh hakim pasti dikecualikan dari prinsip business judgement.

Kejahatan “orang dalam” sangat erat kaitannya dengan dominasi terhadap kebijakan dan administrasi oleh seorang atau beberapa orang dan lemahnya pengawasan baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal (regulator). Di samping itu, berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan, yang menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan bank yang disebabkan oleh penipuan oleh orang dalam menjadi lebih tinggi.

Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu.
1.      Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian), dll.
2.      Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.
3.      UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak  terafiliasi dengan bank (“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.

Pada dasarnya, dalam suatu perkara pidana, yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”):

“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Adapun arti penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dari definisi penyidik dalam KUHAP di atas dapat kita ketahui bahwa penyidik itu bisa merupakan pejabat kepolisian, bisa juga pejabat pegawai negeri sipil (PNS) tertentu yang memang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Siapa saja para penyidik tersebut? Kami akan jelaskan kemudian di bawah ini.

Penyidik Kepolisian

Pertama kami akan jelaskan terlebih dahulu mengenai kewenangan kepolisian (dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia/”Polri”) untuk melakukan penyidikan. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf gUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”), kepolisian bertugas menyelidik danmenyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini artinya, Polri berwenang untuk bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana atau kejahatan perbankan juga.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”)

Namun, jika memang perkara pindana itu terjadi dalam ranah perbankan dan melibatkan juga tindak pidana korupsi di dalamnya, maka penyidik yang berwenang melakukan penyidikan tidak hanya penyidik kepolisian, tapi juga penyidik KPK yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

KPK diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana korupsi. Hal ini terdapat dalam Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (“UU KPK”) yang mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c UU KPK, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK):
a.    melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan  tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b.    mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.    menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 45 ayat (1) UU KPK yang berbunyi:

“Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”

Saat kasus korupsi tersebut sedang ditangani oleh penyidik kepolisian, KPK memiliki kewenangan mengambilalih perkara korupsi itu walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (lihat Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Namun, pengambilalihan perkara korupsi tersebut harus denganalasan-alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK, yaitu:
a.    laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b.    proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c.    penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d.    penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e.    hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f.     keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, baik Polri maupun KPK, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Polri serta Pasal 6 huruf c UU KPK, keduanya sama-sama memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana korupsi (khususnya dalam konteks pertanyaan Anda adalah kejahatan perbankan yang di dalamnya menyangkut kasus korupsi juga). Penjelasan lebih lanjut mengenai wewenang penyidik Polri dan penyidik KPK dalam tindak pidana korupsi dapat Anda simak dalam artikel Kewenangan Penyidikan KPK dan Polri.

Sebagai contoh wewenang KPK sebagai penyidik dalam kasus korupsi yang juga berkaitan dengan kejahatan perbankan adalah kasus korupsi fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Dalam artikel Robert Tantular Minta KPK Dalami Dana Rp6,7 Triliun antara lain dikatakan bahwa pada tahap penyidikan, KPK telah menyidik kasus Century dengan memeriksa 57 orang saksi dan menetapkan mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya sebagai tersangka pada 7 Desember 2012.

Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Lembaga lain yang ditunjuk khusus oleh UU untuk menjadi penyidik dalam kasus kejahatan perbankan yaitu OJK. Berdasarkan Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Penyidikan merupakan salah satu tugas penngawasan OJK seperti yang disebut dalam Pasal 9 huruf c UU OJK yang berbunyi:

“Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Wewenang OJK dalam melakukan penyidikan ini juga dipertegas dalamPasal 49 ayat (1) UU OJK:

“Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia,Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagaipenyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.”

Adapun wewenang penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang dimaksud pada kejahatan perbankan antara lain adalah [Pasal 49 ayat (3) UU OJK]:
1.    memanggil, memeriksa, serta meminta keterangan dan barang bukti dari setiap orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
2.    meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
3.    memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
4.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan; dan

Sebagai contoh, dalam artikel OJK Tangani 64 Kasus Tindak Pidana Perbankan disebutkan antara lain bahwa Otoritas Jasa Keuangan menangani 64 kasus tindak pidana perbankan dan telah diserahkan keDirektorat Penyidikan untuk ditindaklanjuti. Namun memang pada praktiknya, pihak OJK mengakui tidak memiliki personil penyidik, sehingga bermitra dengan pihak kejaksaan dan kepolisian untuk menjaring penyidik yang akan membantu menindaklanjuti kasus tindak pidana perbankan.

Di samping itu, dalam artikel Optimalkan Peran, OJK-Ditjen Pajak Berkolaborasi disebutkan bahwa pengadaan penyidik OJK juga dibantu oleh PPNS dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Kerjasama perbantuan ini juga bertujuan meningkatkan pemahaman dan kualitas dari PPNS di Ditjen Pajak terkait kasus yang terdapat di OJK.

Selain penyidik-penyidik di atas, ada lembaga lain yang juga memiliki keterkaitan dengan pemberantasan tindak pidana pada sektor perbankan dan memiliki wewenang untuk mempermudah para penyidik untuk melakukan penyidikan, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Lembaga lain yang memiliki wewenang dalam pemberantasan tindak pidana pada sektor perbankan, khususnya tindak pidana pencucian uang adalah PPATK. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU 8/2010”), PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

PPATK memang tidak diberikan wewenang secara khusus untuk menjadi penyidik. Akan tetapi, PPATK berwenang meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik. Hal ini disebut dalamPasal 44 ayat (1) huruf j dan l UU 8/2010.

PPATK memiliki keterkaitan dengan penyidik dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana disebut dalam Pasal 64 ayat (2) UU 8/2010:

“Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan.”

Begitu pula sebaliknya, penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK dalam melakukan penyidikan [Pasal 64 ayat (3) UU 8/2010]. Hal ini dipertegas dalam Pasal 72 ayat (1) UU 8/2010 yang mengatur bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang meminta keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari:
a.    orang yang telah dilaporkan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) kepada penyidik;
b.    tersangka; atau
c.    terdakwa.

Sebagai contoh tugas PPATK membantu penyidik dalam proses penyidikan adalah dalam kasus terorisme. Dalam artikel PPATK Bekukan Aset Tiga Terduga Teroris diberitakan bahwa Wakil Kepala PPATK Agus Santosoantara lain mengatakan 17 terduga teroris yang telah ditetapkan sebagai buronan internasional terkait jaringan Al-Qaeda dan Taliban dan namanya telah dimasukkan ke website PPATK, agar mudah diakses penyidik apakah nama itu memang ada sebagai nasabah.

Dasar Hukum:

  

Sumber: 
  1. S. Maronie
  2. Hukum Online

Comments

Popular posts from this blog