Hadiṡ sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad berupa
perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan) dan hal ihwalnya[1],
merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur’an. Cukup banyak ayat-ayat
Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang mukmin untuk mematuhi utusan Allah,
mengikuti petunjuk-petunjuknya serta meneladani kehidupannya. Di antara ayat
tersebut adalah Q.S Ali Imran: 32, Q.S Al-Hasyr: 7, Q.S An-Nisaa’: 80 dan Q.S
Al-Ahzab: 21. Di antara hadiṡ dengan Al-Qur’an, memiliki kaitan yang erat, yang
untuk memahami dan mengamalkannya tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan
persial. Hal ini karena Al-Qur’an merupakan dasar hukum pertama yang di
dalamnya berisi garis-garis besar syariat Islam, sedangkan hadiṡ merupakan mubayyin
atau penjelas terhadap Al-Qur’an dan memberikan gambaran kongkrit tentang
batas-batas yang dinyatakan oleh Al-Qur’an pada Q.S Al-An’am: 38, Q.S Al-A’raf:
52, Q.S Yusuf: 111 dan Q.S An-Nahl: 44[2]. Dengan
demikian seseorang tidak akan bisa memahami Al-Qur’an tanpa memahami dan
menguasai hadiṡ, begitu pula halnya menggunakan hadiṡ tanpa Al-Qur’an.
Dalam memberikan penjelasan terhadap Al-Qur’an, hadiṡ Nabi dapat saja berbentuk perkataan langsung dari Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan istilah hadiṡ qauly. Dan pada saat yang berbeda dapat berbentuk perbuatan Nabi Muhammad SAW yang kemudian dipahami oleh para sahabat sebagai hadiṡ fi’ly. Ada kalanya, sikap nabi tersebut berupa ketetapan Nabi Muhammad SAW dalam bentuk mendiamkan atas perilaku atau pendapat yang dimaknai menyetujui terhadap para sahabatnya, yang hal ini lantas dikenal sebagai hadiṡ taqriry. Dalam perspektif yang berbeda, hadiṡ dapat saja berupa penjelasan yang dideskripsikan oleh para sahabat Nabi terkait karakteristik, keadaan dan karakter Nabi yang kemudian dikenal dengan istilah hadiṡ ahwaly. Pun, hadiṡ-hadiṡ Nabi Muhammad SAW dapat berupa keinginan atau adicita Nabi yang belum sempat terealisasikan yang hal ini kemudian dikenal sebagai hadiṡ hammy[3].
Mencermati fakta sejarah bahwa kehidupan Nabi Muhammad SAW semenjak bi’ṡah
hingga wafatnya yang memakan rentang waktu cukup panjang, yakni kurang lebih 23
tahun, maka sangat dimungkinkan bahwa apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW
pada suatu saat akan berbeda dengan yang disampaikan pada saat yang lain karena
perbedaan situasi dan kondisinya[4]. Di
samping itu, para sahabat di dalam merekam perkataan, perbuatan, taqrir,
sifat dan hal-ihwal Nabi Muhammad SAW antara satu dengan yang lainnya tentu
saja tidak sama. Beberapa penyebab perbedaan penerimaan para sahabat tersebut
karena adanya kesenjangan daya intelektualitas, durasi kebersamaan mendampingi
Nabi dan perbedaan-perbedaan perspektif serta persepsi karena faktor lainnya.
Beberapa perbedaan persepsi tersebut pada kasus tertentu pada gilirannya yang
sampai pada generasi berikutnya pun akan mengalami perbedaan penafsiran pula
lantaran perbedaan sanad atau jalur penyampainnya. Oleh karena itu, perbedaan
penafsiran tersebut, hadiṡ yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW sebenarnya
bersifat parsial, subyektif dan tidak komprehensif[5]. Hal ini
tentu menimbulkan pertanyaan bagi umat Islam, manakah hadiṡ yang harus
digunakan sebagai argumentasi, dan mana pula hadiṡ yang tidak bisa dijadikan hujjah
atau argumentasi.
Pada dasarnya, jika dilihat dari kedudukan kehujjahan suatu hadiṡ,
maka hal ini secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam: pertama, hadiṡ
maqbul yaitu hadiṡ yang memenuhi persyaratan untuk diterima dan
dijadikan hujjah. Kedua, hadiṡ mardud yaitu hadiṡ yang tidak
memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah, maka itu harus
ditolak. Menurut ulama ahli hadiṡ, yang termasuk kategori pertama adalah hadiṡ ṣahih
dan hadiṡ hasan, sedangkan yang termasuk pada kategori kedua adalah hadiṡ
dha’if. Namun demikian, bukan berarti hadiṡ-hadiṡ yang termasuk maqbul
itu lantas bebas sama sekali dari permasalahan.
Di antara persoalan yang sering mengemuka adalah adanya hadiṡ-hadiṡ yang antara satu riwayat dengan riwayat yang lain saling bertentangan (ta’ārudh), baik dalam arti berlawanan (tanāqudh) atau dalam arti tidak sejalan (ikhtilāf). Fenomena inilah yang oleh ulama ahli hadiṡ diistilahkan sebagai hadiṡ mukhtalif, muhtalif al-hadiṡ, ikhtilaf al-hadiṡ, musykil al-hadiṡ[6] atau ta’arruḍ al-hadiṡ[7]. Sedangkan ilmu yang membahas tentang hadiṡ kontradiktif (ikhtilāf al-hadiṡ) ini disebut secara beragam dengan istilah Ilmu Musykil al-Hadiṡ, Ilmu Ikhtilaf al-Hadiṡ, Ilmu Ta’wil al-Hadiṡ ataupun Talfiq al-Hadiṡ. Semua istilah tersebut memiliki pengertian yang sama. Al-Sakhawiy menandaskan bahwa ilmu mukhtalif ini merupakan perangkat ilmu yang terpenting di samping ilmu hadiṡ yang lain. Karena jika seseorang yang membaca atau memahami hadiṡ tanpa adanya bantuan ilmu ini, seseorang dapat mengatakan suatu hadiṡ yang ṡahih menjadi ḍa’if dan sebaliknya, jika menemukan hadiṡ yang tampaknya bertentangan. Dalam penjelasannya al-Sakhawiy menuturkan ”Ilmu ini termasuk jenis yang terpenting yang sangat dibutuhkan oleh ulama di berbagai disiplin ilmu. Yang bisa menekuninya secara tuntas adalah mereka yang berstatus sebagai imam yang memadukan antara hadiṡ dan fikih dan yang memiliki pemahaman yang sangat mendalam”[8].
Terminogi Hadiṡ Kontradiktif
Istilah hadiṡ kontradiktif (ikhtilāf al-hadiṡ)
secara etimologis merupakan kata majemuk yang dalam bahasa Arab terdiri dari
kata ikhtilāf dan hadiṡ. Lafadz ikhtilāf sendiri merupakan
wazan masdar dari fi’il māḍi, yaitu ikhtalāfa yang
mengandung makna bertentangan, berlawanan, berselisih atau menggantikan. Jika
ditelusuri, lafadz ikhtilāf ini bersumber dari susunan khalāfa-yakhlufu-khilāfatan
yang bermakna menggantikan[9]. Ada
pendapat yang lainnya, bahwa lafadz ikhtilāf berasal dari wazan khalāfa-yakhlufu-khalfan
yang bermakna belakang[10].
Alhasil, pemaknaan ikhtilāf mengandung arti perselisihan untuk
didialogkan atas hal-hal yang berbeda[11].
Adapun mukhtalif menurut bahasa adalah isim fa’il dari ikhtilāf
(berbeda) yang merupakan lawan dari ittifaq (sesuai) [12], maksudnya
hadiṡ- hadiṡ yang sampai kepada kita dan berbeda satu sama lain dalam makna, tegasnya:
maknanya saling bertentangan[13].
Sedangkan menurut istilah:
الْعِلْمُ الَّذِيْ یَبْحَثُ فِى
اْلأَحَادِیْثِ الَّتِيْ ظَاھِرُھَا مُتَعَارِضٌ فَیُزِیْلُ تَعَارُضَھَا أَوْ
یُوَفِّقُ بَیْنَھَا كَمَا یَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِیْثِ الَّتِيْ
یَشْكُلُ فَھْمُھَا أَوْ تَصَوُّرُھَا فَیَدْفَعُ أَشْكَالَھَا وَیُوَضِّحُ حَقِیْقَتَھَا.
Ilmu yang membahas hadiṡ-hadiṡ yang
tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadiṡ yang sulit dipahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.
Sementara, Muhammad Thahhan mendefenisikan mukhtalif hadiṡ sebagaimana
berikut[14]:
الحدیث المقبول المٌعَارَض بمثله مع
إمكان الجمع بینھما
Hadiṡ maqbul yang saling
bertentangan dengan yang semisalnya, sehingga kemungkinan kedua hadiṡ tersebut
bisa dikompromikan.
Ulama hadiṡ mengemukakan, tidak selamanya hadiṡ yang bertentangan dianggap
suatu yang mukhtalif. Oleh karena itu, untuk memberikan batasan terhadap
hadiṡ yang termasuk dalam kategori mukhtalif maka ulama hadiṡ memberikan
beberapa syarat:
1.
Hadiṡ tersebut sama-sama berkualitas maqbūl,
lawan dari mardūd. Karena hadiṡ mardūd tidak termasuk dalam
kategori mukhtalif al-hadiṡ.
2.
Membicarakan tentang objek yang sama, satu hadiṡ
menyatakan larangan dan satu hadiṡ menyatakan kebolehan terkait objek yang
sama.
2.
Klasifikasi Ikhtilāf al-Hadiṡ
Secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan
mukhtalaf atau ikhtilāf. Sedangkan dalam istilah ahli hadiṡ, mukhtalif
hadiṡ (dengan dibaca kasrah huruf lam) adalah hadiṡ yang
secara ẓahir tampak saling bertentangan dengan hadiṡ lain. Dan dengan
dibaca fathah lam-nya adalah dua hadiṡ yang secara makna saling
bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa mukhtalif al-hadiṡ
adalah esensi hadiṡ itu sendiri, sedangkan mukhtalaf al-hadiṡ adalah
pertentangannya. Hal ini sebagaimana deskripsi Imam Al-Suyuṭi yang menyebutkan
dalam kitab Tadrib al-Rāwi, bahwa hadiṡ-hadiṡ mukhtalif merupakan
dua buah hadiṡ yang saling bertentangan pada makna ẓahirnya, maka di
antara kedua hadiṡ tersebut dikompromikan atau di-tarjih salah-satunya. Ilmu
ini merupakan sebuah pengetahuan antara fikih dan hadiṡ sehingga sampai kepada
sebuah pengambilan kesimpulan yang benar[15].
Para imam dan tokoh kritikus hadiṡ secara umum membagi hadiṡ yang mengandung
problem ke dalam dua kategori. Kelompok pertama, adalah hadiṡ-hadiṡ mukhtalif
yang dapat dikompromikan dan diambil titik temunya. Kelompok pertama inilah
yang terbanyak jumlahnya. Kelompok kedua, adalah hadiṡ-hadiṡ mukhtalif
yang sama sekali tidak dapat dikompromikan dan tidak diambil titik temunya. Hadiṡ
ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, adalah satu dari hadiṡ yang
bertentangan itu merupakan nasikh sedangkan yang lain mansukh,
maka nasikh diamalkan dan mansukh ditinggalkan. Kedua,
tidak ada tanda dan petunjuk bahwa salah-satu riwayat itu merupakan nasikh
dan yang lain mansukh. Maka jalan penyelesaiannya adalah dengan tarjih.
Apabila kedua hadiṡ mukhtalif sama kuatnya dan tidak dapat dikompromikan
atau diambil titik temunya, maka keduanya dihukumi sebagai hadiṡ muḍṭarib[16].
Prinsip pokok dalam penyelesaian hadiṡ-hadiṡ yang saling bertentangan, menurut
jumhur ushuliyyun urutannya sebagai berikut:
a.
Al-Jam’u wa al-Taufiq
Salah satu hal penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan
hadiṡ-hadiṡ yang tampak bertentangan serta menggabungkan antara hadiṡ satu
dengan hadiṡ lainnya, meletakkan masing-masing hadiṡ sesuai dengan tempatnya
sehingga menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, tidak saling
bertentangan. Maksudnya adalah penyelesaian hadiṡ-hadiṡ yang tampak (makna
lahiriahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing.
Sehingga maksud yang sebenarnya yang dituju oleh yang satu dengan yang lainnya
dapat dikompromikan.
Metodologi Imam Syafi’i dalam menyelesaikan hadiṡ-hadiṡ mukhtalif
dalam bentuk jam’u wa al-taufiq ditempuh dengan beberapa tahapan[17]. Pertama,
penyelesaian dengan pendekatan kaidah uṣul fikih dengan memperhatikan
lafadz ‘am dan khaṣ[18],
muṭlaq dan muqayyad[19]
dan lainnya. Kedua, penyelesaian dengan pemahaman kontekstual, yaitu
memahami hadiṡ-hadiṡ Rasulullah SAW. dengan memperhatikan dan mengkaji
keterkaitannya dengan peristiwa (situasi yang melatarbelakangi munculnya sebuah
hadiṡ tersebut), dengan kata lain memperhatikan dan mengkaji konteksnya. Ketiga,
penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif, mengkaji hadiṡ-hadiṡ mukhtalif
bersama hadiṡ lain terkait, dengan memperhatikan keterkaitan makna satu dengan
yang lainnya, agar maksud yang dituju dari hadiṡ-hadiṡ tersebut dapat dipahami
dengan baik. Keempat, penyelesaian dengan cara takwil, maksudnya
menakwilkan hadiṡ dari makna lahiriyah yang tampak bertentangan kepada makna
lain karena adanya dalil, sehingga pertentangan yang tampak itu dapat ditemukan
pengkompromiannya.
Sementara itu Hasbi al-Shiddieqy menggunakan kata jama’ atau taufiq
yang diartikan mengumpulkan dua hadiṡ yang bertentangan. Apabila kelihatan pertentangan
antara dua hadiṡ, maka hendaklah peneliti hadiṡ berusaha untuk mengumpulkan
atau mentaufiqkan antara keduanya. Imam al-Nawawi mengatakan, ikhtilāf
al-hadiṡ ialah datangnya dua hadiṡ yang berlawanan maknanya pada lahirnya
lalu ditaufiqkan (dikumpulkan) antara keduanya atau ditarjihkan
salah satu diantara kedua hadiṡ yang bertentangan. Sedangkan al-Qarafi
mengartikan al-jam’u sebagai mengkompromikan hadiṡ-hadiṡ yang tampak
bertentangan untuk diamalkan dengan melihat seginya masing-masing. Dari sekian
definisi tentang al-jam’u dapat disimpulkan bahwa al-jam’u
adalah usaha yang dilakukan guna mengkompromikan antara dua hadiṡ dan yang
secara ẓahir tampak bertentangan yang kemudian kedua hadiṡ tersebut
diamalkan secara bersama-sama tanpa meniadakan salah satunya dengan melihat
seginya masing-masing.
b.
Tarjih
Secara bahasa tarjīh ialah tafḍī yaitu mengutamakan, taqawiyah
yaitu menguatkan. Menurut istilah ahli hadiṡ[20]:
“Menjadikan rajih
salah-satu dari dua hadiṡ yang berlawanan yang tak bisa dikumpulkan, dan
menjadikan yang sebuah lagi marjuh, dengan karena ada sesuatu sebab dari
sebab-sebab tarjih”
Defenisi lain menyebutkan, yaitu memperbandingkan hadiṡ-hadiṡ yang
tampak bertentangan yang bisa dikompromikan dan tidak pula terkait sebagai nāsikh
dan mansūkh, dengan mengkaji lebih jauh hal-hal yang terkait dengan
masing-masingnya agar dapat diketahui mana sebenarnya di antara hadiṡ-hadiṡ
tersebut yang lebih kuat atau lebih tinggi nilai hujjahnya dibanding
dengan yang lain, untuk selanjutnya dipegang dan diamalkan yang kuat dan
ditinggalkan yang lemah[21].
Metode yang kedua, yaitu tarjīh (memilih atau mengunggulkan yang satu
atas yang lain), cara ini dilakukan apabila tidak memungkinkan untuk melakukan
metode pertama, dan tidak ditemukan dalil untuk melakukan metode yang kedua,
maka yang harus dilakukan adalah melakukan metode yang ketiga (tarjīh)
terhadap dalil mana yang lebih kuat atau unggul atas kedua hadiṡ tersebut
berdasarkan dalil atau keterangan, bukan berdasarkan nafsu atau keinginan
semata.
Adapun jalan untuk mentarjih dua dalil yang tampaknya
bertentangan itu dapat ditinjau dari beberapa segi, pertama, segi sanad
(i’tibar al-sanad). Kedua, segi matan (i’tibar al-matan).
Ketiga, segi penunjukkan (madlul), misalnya, madlul yang
positif, merajihkan yang negatif (didahulukan mutsbit ‘ala
al-nāfi). Keempat, dari segi luar (al-umūr’ul kharijah),
misalnya dalil quliyah merajihkan dalil fi’liyah.
c.
Al-Naskh
Metode yang ketiga yaitu al-Naskh (menghapus) artinya ketika
tidak dimungkinkan untuk dilakukan al-Jam’u wa al-Taufiq (menggabungkan
dan mengkompromikan) antara dua hadiṡ tersebut, maka yang harus dilakukan
adalah melihat dari sisi sejarah, untuk mengetahui mana hadiṡ yang lebih akhir
dan mana hadiṡ yang lebih dulu, dan yang lebih akhir akan mengahapus yang lebih
dulu, hal ini dikenal sebagai metode al-Naskh wa al-Mansukh[22].
Maksud bahwa suatu hukum yang sebelumnya berlaku kemudian dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh syar’i (Allah dan RasulNya), yakni dengan
didatangkannya dalil syar’i yang baru yang membawa ketentuan lain dari
yang berlaku sebelumnya. Hukum lama lama yang tidak berlaku lagi disebut mansūkh,
sedangkan hukum yang baru datang disebut nāsikh[23].
Ulama yang membolehkannya nasakh, mengemukakan beberapa syarat, pertama,
yang di nasakh itu adalah hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah, bukan hukum
‘aqli dan bukan yang menyangkut hal ‘aqidah. Kedua, dalil yang menunjukkan
berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu datang secara terpisah dan
terkemudian dari dalil yang di-nasakh. Kekuatan kedua dalil itu adalah sama,
dan tidak mungkin untuk dikompromikan. Ketiga, dalil dari hukum yang dinasakh
tidak menunjukkan berlakunya hukum untuk selamanya, karena pemberlakuan secara
tetap mentup kemungkinan pembatalan berlakunya hukum dalam suatu waktu.
Adapun cara untuk mengetahui adanya nasakh suatu hadis di antaranya :
a). Dengan penjelasan dari nash atau sya͂ ri’, dalam hal ini penjelasan
langsung dari Rasulullah SAW. b). Dengan penjelasan dari sahabat. c). Dengan mengetahui
tarikh diucapkannya hadis tersebut[24].
d.
Tawaqquf
Yaitu mendiamkan dan tidak mengamalkan dan tidak mengamalkan hadis-hadis
tersebut sampai ada dalil-dalil yang menunjukkan keabsahan hadis tersebut.
C.
Penutup
Suatu hadis dapat
dikategorikan saling kontradiksi jika hadis tersebuti tergolong hadis maqbūl.
Meski demikian, harus dipahami bahwa kontradiksi yang terjadi hanya sebatas
pada arti tekstualnya bukan makna kontektual. Selain itu, masing-masing dari
hadis yang saling kontradiksi bisa dijadikan sebagai hujjah bagi
penetapan sebuah hukum, sangat mungkin dilakukan pengkompromian atau
pengunggulan terhadap salah satu hadis yang saling kontradiksi, hukum yang
ditetapkan hadis yang kontradiksi tersebut saling berlawanan, obyek kedua hukum
yang saling bertentangan tersebut sama, masa atau waktu berlakunya hukum saling
bertentangan tersebut sama. Apabila semua persyaratan itu sudah terpenuhi semua,
maka solusi penyelesaiannya adalah dengan melakukan salah satu dari metode al-jam‘u,
al-taufîq, al-naskh, al-tarjîh, dan al-tawaqquf.
Namun demikian, para
sarjana muslim masih berdebat tentang urutan dalam mengaplikasikan
metode-metode tersebut. Mayoritas ulama hadis, lebih dahulu mencoba untuk
menggunkan metode al-jam‘u dalam menyelesaikan mukhtalaf al-hadis,
kemudian dilanjutkan dengan metode al-naskh, al-tarjîh, dan al-tawāquf.
Sedangkan ulama yang berafiliasi dengan mazhab Hanafîyah, lebih suka menerapkan
metode al-naskh terlebih dahulu, kemudian al-tarjīh, dan al-jam‘u,
jika kesemuanya tidak dapat menyelesaikan hadis yang kontradiktif, maka
ditangguhkan (al-tawaqquf).
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Uṣul al-Fiqh (Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958.
Beirut: Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958.
Al-Hammad, Nafiz Husain. Mukhtalif Hadits bain
al-Fuqaha wa al-Muhadditsin. Al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1993.
Al-‘Itr, Nuruddin. Ulum al-Hadits. Mujiyo.
Bandung: Rosda Karya, 2012.
Al-Khaṭib, Muhammad Ajaj. Uṣūlu Al-Hadiṡ,
‘Ulūmuhu wa Musṭalāhuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 1989.
Al-Shiddiqy, Hasbi. Pokok-Pokok Penyelesaian
Hadits-Hadits Mukhtalif. 2 ed. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Al-Suyuthi, Abdirrahman bin Abi Bakar. Tadrib
al-Rawi fı͂ Syarhi Taqrib al-Nawawi. 1 ed. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1992.
Al-Syafi’i, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad ibn
Idris. Ikhtilaf al-Hadiṡ. Muhammad Ahmad Abdul Aziz. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1986.
Al-Zuhaily, Wahbah. Ushulu al-Fiqh al-Islamy.
Damaskus: Dar al_Fikri, 1986.
Anas, Mohamad. “Metode Memahami Hadis-hadis
Kontradiktif.” MUTAWATIR 3, no. 1 (9 September 2015): 123. https://doi.org/10.15642/mutawatir.2013.3.1.123-139.
Bay, Kaizal. “Metode Penyelesaian Hadis-hadis
Mukhtalif Menurut al-Syafi’i.” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014): 183–201.
Daynury, Al-Imam Abdullah ibn Muslim ibn
Qutaibah al-. Ta’wil Mukhtalif al-Hadits. Muhammad Abd al-Rahim. Beirut: Dar
al-Fkr, 1995.
Isa, Abdul Jalil. Mā Lā Yajūzu fīhi al-Khilāf
baina al-Muslimīn. Kuwait: Dār al-Bayan, 1969.
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadits.
Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Jauzy, Al-‘Alamah Abi al-Faraj al-. Al-Tahqiq
fi al-Hadiṡ al-Khilaf. Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
Khariri, KH. Metode Penyelesaian Hadits
Kontradiktif. 1 ed. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009.
Khayyath, Usamah bin ‘Abdullah. Mulhtalif
al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al- Usuliyyin al-Fuqaha’. Beirut: Dar Ibn
Hazm, 2001.
Manzhur, Ibnu. LIsan al-’Arab. Vol. 3. Kairo:
Dar al-Hadits, 2003.
Qusthalaani, Imam. “Studi Kontradiksi pada
Matan Hadis.” Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial 15, no. 1 (2017): 115–29.
Rahman, Fathur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadits.
Bandung: Al-Ma’arif, 1995.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996.
Ṣalih, Ṣubhy. ‘Ulūm al-Hadiṡ wa Musṭalahuhu.
Beirut: Dār al-‘Ilmi li al-Malayin, 1988.
Ṣihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur’an.
Bandung: Mizan, 1995.
Suhefri, Suhefri. Nasakh al-Hadits Menurut Imam
Syafi’i. Jakarta: Bina Pratama, 2007.
Tahhan, Mahmud al-. Taesiru al-Mushtalah
al-Hadits. Surabaya: Bungkul Indah, t.t.
Takwallo, Takwallo. “Studi komparasi metode
penyelesaian Hadis Mushkil menurut Ibn Furak (w. 406 H) dan Ibn Al Jawzi (w.
597 H).” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019.
Thahhan, Mahmud al-. Taisir Musthalah al-Hadits.
Iskandariyah: Markaz al-Huda al- Dira͂sat, 1405.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:
PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1972.
[1] Ṣubhy Ṣalih, ‘Ulūm al-Hadiṡ wa Musṭalahuhu
(Beirut: Dār al-‘Ilmi li al-Malayin, 1988), 3; Mahmud al-Tahhan, Taesiru
al-Mushtalah al-Hadiṡ (Surabaya: Bungkul Indah, t.t), 15; Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadiṡ (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 27.
[2] Muhammad Abu Zahrah, Uṣul al-Fiqh
(Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958 (Beirut: Dār al-Fikri al-‘Arabi, 1958), 112;
Wahbah Al-Zuhaily, Ushulu al-Fiqh al-Islamy (Damaskus: Dar al_Fikri,
1986), 461; Muhammad Ajaj Al-Khaṭib, Uṣūlu Al-Hadiṡ, ‘Ulūmuhu wa Musṭalāhuhu
(Beirut: Dār al-Fikr, 1989), 34; Muhammad Quraish Ṣihab, Membumikan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 122.
[3] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalah al-Hadiṡ (Bandung:
Al-Ma’arif, 1995), 6–12; Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadiṡ (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1996), 12–19.
[4] Abdul Jalil Isa, Mā Lā Yajūzu fīhi
al-Khilāf baina al-Muslimīn (Kuwait: Dār al-Bayan, 1969), 66–71.
[5] KH. Khariri, Metode Penyelesaian
Hadits Kontradiktif, 1 ed. (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2009), 1–5.
[6] Al-Imam Abdullah ibn Muslim ibn
Qutaibah al-Daynury, Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, Muhammad Abd al-Rahim
(Beirut: Dar al-Fkr, 1995), 86–308; Al-‘Alamah Abi al-Faraj al-Jauzy, Al-Tahqiq
fi al-Hadiṡ al-Khilaf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994),
493–97; Al-Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadiṡ,
Muhammad Ahmad Abdul Aziz (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), 46–50.
[7] Mohamad Anas, “Metode Memahami Hadiṡ-Hadiṡ
Kontradiktif,” Mutawatir 3, no. 1 (9 September 2015): 124,
https://doi.org/10.15642/mutawatir.2013.3.1.123-139.
[8] Nafiz Husain Al-Hammad, Mukhtalif
Hadits bain al-Fuqaha wa al-Muhadditsin (Al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1993),
83.
[9] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia
(Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuriyah, 1972), 120.
[10] Ibnu Manzhur, LIsan al-’Arab,
vol. 3 (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), 184.
[11] Imam Qusthalaani, “Studi Kontradiksi
pada Matan Hadiṡ,” Dialogia: Jurnal Studi Islam dan Sosial 15, no. 1
(2017): 117.
[12] Usamah bin ‘Abdullah Khayyath, Mulhtalif
al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Usuliyyin al-Fuqaha’ (Beirut: Dar Ibn
Hazm, 2001), 25.
[13] Mahmud al-Thahhan, Taisir
Musthalah al-Hadits (Iskandariyah: Markaz al-Huda al- Dira͂sat, 1405), 46.
[14] Al-Khaṭib, Uṣūlu Al-Hadiṡ,
‘Ulūmuhu wa Musṭalāhuhu, 283.
[15] Abdirrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi,
Tadrib al-Rawi fı͂ Syarhi Taqrib al-Nawawi, 1 ed. (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1992), 310.
[16] Nuruddin Al-‘Itr, Ulum al-Hadits,
Mujiyo (Bandung: Rosda Karya, 2012), 351–54.
[17] Kaizal Bay, “Metode Penyelesaian Hadiṡ-Hadiṡ
Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” Jurnal Ushuluddin 17, no. 2 (2014):
189–94.
[18] ‘am adalah suatu kata yang pemakaiannya mencakup seluruh afrad
atau satu yang tercakup dalam arti kata tersebut. Sedangkan khas suatu kata
yang pemakaiannya, hanya untuk sebagian makna yang dicakup oleh kata tersebut. Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2008), 2, 47-48
[19] Muṭlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya, tetapi tidak
mencakup seluruh afrad di dalamnya. Adapun bedanya dengan ‘am,
adalah ‘am itu bersifat syumul dan muṭlaq bersifat badali.
Sedangkan muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang diikatkan
kepada lafadz itu suatu sifat. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 116-119.
[20] Hasbi Al-Shiddiqy, Pokok-Pokok
Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif, 2 ed. (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
277.
[21] Suhefri Suhefri, Nasakh al-Hadits
Menurut Imam Syafi’i (Jakarta: Bina Pratama, 2007), 56.
[22] Takwallo Takwallo, “Studi komparasi
metode penyelesaian Hadis Mushkil menurut Ibn Furak (w. 406 H) dan Ibn Al Jawzi
(w. 597 H)” (PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), 50.
[23] Bay, “Metode Penyelesaian Hadis-hadis
Mukhtalif Menurut al-Syafi’i,” 195.
[24] Bay, 196.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.