Jakarta, 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mempercepat revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), sebuah langkah yang diklaim untuk meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan. Namun, di balik gebrakan ini, suara lantang dari aktivis lingkungan, akademisi, hingga masyarakat adat menggema: “Ini bukan revisi, ini penghancuran!”
Revisi Kilat, Kepentingan Siapa?
Dalam hitungan bulan, DPR bergerak cepat menggodok perubahan UU Minerba yang dinilai semakin mempermudah investasi pertambangan. Jika sebelumnya regulasi memberikan batasan ketat bagi perusahaan tambang untuk beroperasi, revisi terbaru justru melonggarkan syarat perizinan dan memperpendek proses birokrasi.
“Kami melihat ini sebagai ‘karpet merah’ bagi pengusaha tambang, sementara rakyat semakin terpinggirkan,” ujar seorang aktivis lingkungan dari WALHI.
Lebih lanjut, revisi ini juga menghapus beberapa pasal yang sebelumnya memberi perlindungan bagi masyarakat adat dan ekosistem. Salah satu poin kontroversialnya adalah penghapusan kewajiban perusahaan tambang untuk mereklamasi lahan bekas tambang sebelum mendapatkan izin eksplorasi baru. Ini berarti, hutan yang telah gundul dan tanah yang rusak bisa dibiarkan begitu saja, tanpa ada upaya pemulihan yang memadai.
Lingkungan di Ambang Kehancuran
Dalam beberapa tahun terakhir, deforestasi dan pencemaran lingkungan akibat tambang sudah mencapai level kritis. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lebih dari 8 juta hektare hutan telah tergerus aktivitas pertambangan ilegal dan legal di Indonesia. Dengan revisi baru ini, angka tersebut diperkirakan akan melonjak drastis.
“Jangan salah, ini bukan hanya soal tambang legal atau ilegal, ini tentang kebijakan yang makin membuka gerbang kehancuran bagi lingkungan kita,” kata seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada yang meneliti dampak revisi ini.
Selain deforestasi, polusi air dan tanah akibat limbah tambang juga semakin mengancam masyarakat sekitar. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi aliran air beracun yang membahayakan warga dan ekosistem.
Rakyat Vs. Korporasi: Pertarungan yang Tak Seimbang
Salah satu aspek paling kontroversial dari revisi UU Minerba adalah penghapusan hak veto masyarakat dalam pemberian izin tambang. Sebelumnya, masyarakat adat dan warga sekitar memiliki hak untuk menolak operasi pertambangan jika dianggap merugikan. Namun, dalam revisi baru, hak ini dihapus atau diperlemah.
“Bayangkan, tanah leluhur yang telah diwariskan turun-temurun kini bisa diambil alih tanpa persetujuan pemiliknya. Ini bukan lagi demokrasi, ini kolonialisme gaya baru!” teriak seorang pemuka adat dari Kalimantan yang wilayahnya terancam oleh pertambangan besar.
Polemik ini semakin diperkeruh dengan indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tambang besar menjadi pihak yang paling diuntungkan dari revisi ini. Sementara masyarakat kecil yang terdampak langsung justru kehilangan haknya untuk bersuara.
Siapa yang Untung? Siapa yang Buntung?
DPR dan pemerintah berdalih bahwa revisi UU Minerba bertujuan untuk meningkatkan daya saing investasi Indonesia dalam sektor tambang. Dengan aturan yang lebih fleksibel, diharapkan akan ada peningkatan pendapatan negara dan penciptaan lapangan kerja baru.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keuntungan terbesar justru akan mengalir ke kantong para pengusaha besar, bukan rakyat kecil. Sejumlah nama elite bisnis dan politisi disebut-sebut sebagai dalang di balik revisi ini, mengingat sektor tambang merupakan salah satu penyumbang dana terbesar dalam perpolitikan nasional.
“Siapa yang dapat izin tambang? Pengusaha! Siapa yang kaya? Pengusaha! Tapi siapa yang kehilangan rumah, air bersih, dan kesehatan? Rakyat!” keluh seorang warga dari Sulawesi yang tanahnya kini dipenuhi limbah tambang.
Gelombang Perlawanan dan Harapan
Di tengah derasnya arus revisi UU Minerba, berbagai kelompok masyarakat mulai mengorganisir aksi protes. Dari demonstrasi besar di Jakarta hingga aksi di daerah-daerah tambang, suara-suara penolakan semakin keras menggema.
Selain itu, sejumlah LSM dan akademisi berencana menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi, berharap adanya pembatalan atau setidaknya revisi kembali terhadap pasal-pasal yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
Namun, pertanyaannya kini: Apakah rakyat akan didengar? Ataukah revisi ini akan tetap berjalan atas nama 'kemajuan ekonomi' yang hanya menguntungkan segelintir orang?
Yang jelas, satu hal yang pasti: ketika tambang terus menggerus tanah dan masa depan rakyat, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri melawan dan siapa yang berpaling diam.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.