Pagi hari, pada waktu pencoblosan pemilu legislatif tahun ini
penulis kedatangan seorang mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah di Ciputat, yang datang mewawancarai penulis dalam rangka
mencari/riset negeri kita. Sebagaimana kita ketahui, dalam beberapa tahun
terakhir banyak para teroris berkeliaran untuk “menjajakan” kekerasan dalam
berhubungan dengan kalangan lain bangsa kita. Dalam wawancara itu, pertama-tama
penulis mengungkapkan dua buah pendekatan yang diambil orang dalam hubungan
dengan Islam. Ada yang mengutamakan pendekatan “budaya Islam”, sehingga menjadi
tumbuh sebagai jalan hidup yang semakin lama semakin dihayati dan diamalkan
orang. Pendekatan budaya ini menerangkan mengapa halal-bihalal, haul, ziarah
kubur gerakan Islam dan para ulama memiliki peran yang positif, namun semua itu
memerlukan dukungan gerakan Islam yang dewasa.
Sebaliknya pendangkalan agama terjadi, manakala yang dipentingkan
adalah instuisi Islam, bukanya budaya agama tersebut. Memang secara
institusional gerakan-gerakan Islam tertinggal dalam segala hal, sehingga pada
akhirnya menimbulkan rasa cemas di kalangan mereka. Cemas jangan-jangan Islam
akan dikalahkan oleh peradaban Barat. Apalagi banyak teori yang disusun dan
dikembangkan berdasarkan asumsi institusional tersebut, antara lain teori
“perbenturan peradaban” (Clash of Civilization) yang dikemukakan beberapa tahun
yang lalu oleh Samuel Huntington seorang mahaguru Harvard University. Menurut
konsep itu, peradaban Islam yang demikian berbeda dari peradaban Barat akan
berbenturan dengan sendirinya.
Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Yomiuri Shimbun yang
terbit di Jepang, penulis berhadapan dengan pengagas konsep itu. Penulis
katakan dalam presentasi itu, teori itu timbul tanpa mengingat perkembangan
sejarah yang sebenarnya, bahwa ada ratusan ribu orang pemuda muslim, mengambil
ilmu-ilmu eksakta dan teknologi mutakhir dari barat. Tentu mereka juga paling
tidak “menyerap” peradaban dan budaya Barat. Walaupun sudah tentu yang diambil
hanyalah sebagai kecil dari peradaban itu sendiri, seperti halnya penulis yang
menggunakan “pakaian Barat,” tanpa “di-baratkan” 100%. Tentu saja, ini berarti
mereka juga tidak berkonfrontasi dengan kebudayaan barat itu, jadi tidak merasa
khawatir terhadap “tantangan Barat.” Sudah tentu ini sesuai dengan kenyataan
historis yang terjadi di mana-mana dalam lingkungan dunia Islam.
Karena tidak memiliki pengetahuan akan proses ini, maka mereka yang
mendukung pendekatan institusional itu, ada yang merasa sangat khawatir jangan-jangan
akan kehilangan akan kebesaran Islam. Karena ketakutan itulah ‘anak-anak’ itu
tidak mampu memandang persolaan secara jernih, akibatnya keluar ketakutan Islam
akan tertinggal lebih jauh. Nah, sikap ketakutan inilah yang sebenarnya menjadi
motif bagi terorisme yang dilakukan itu. Diperkirakan dengan melakukan hal itu,
pihak-pihak lain akan “ketakutan” pada Islam sehingga akan menjauh dari
kelompok-kelompok muslimin, dan dengan keterpisahan itu kaum muslimin, akan
aman dari ‘gangguan’. Sikap seperti itu sebenarnya adalah bukti dari kekerdilan
jiwa dan kurangnya pengetahuan akan proses sejarah. Karenanya untuk mencegah
berkembang terus pandangan seperti itu, diperlukan ketegasan sikap dan
keberanian bertindak terhadap siapa saja yang menyebarkannya dan mempercayai
adanya penyebaran itu sendiri.
Sebenarnya, sikap untuk menggunakan kekerasan melalui perkembangan
teknologi modern (dengan membuat sendiri bom-bom dan senjata-senjata rakitan),
adalah pengakuan akan “kelemahan” Islam sendiri. Karenanya kelemahan-kelemahan
pemahaman seperti ini, harus terus menerus ditunjukkan kepada mereka, melalui
pemaparan tiada henti dalam karya-karya ilmiah dan media massa. Namun, sikap
kita sendiri tidak boleh didasarkan pada rasa benci kepada siapapun, karena
kebencian hanyakan melahirkan kebencian-kebencian baru. Kita harus sabar
menunjukkan kepada mereka kelemahan-kelemahan dalam pandangan mereka, dan
“kelebihan-kelebihan” ajaran Islam menurut mereka, namun tidak berarti kita
boleh berbuat seenak perut kita dalam tata pergaulan internasional. Kita harus
menghormati orang lain, jika kita ingin dihormati orang pula.
Sikap resiprokal (saling mengimbangi) seperti inilah yang harus
dikembangkan di dunia saat ini. Sebuah sikap untuk tidak mau mengalah, alias
sikap mau menang sendiri tidak mencerminkan kekuatan kita, melainkan
sebaliknya. Hal ini harus selalu ditekankan kepada mereka, yaitu sikap adanya
keharusan menghormati orang lain guna memperoleh penghormatan kepada diri kita,
membuat kita harus mengambil sikap berikut: kita berkeras menjaga hubungan baik
dengan semua pihak tetapi pada saat yang sama menumbuhkan sikap saling hormat
antara para warga masyarakat. Karena itulah, penulis menelpon Ustad Abu Bakar
Ba’asyir sewaktu berada dalam tahanan/penjara di Cipinang. Demikian juga,
penulis saling bertukar “pesan-pesan persaudaraan” dengan Habib Rizieq di
penjara.
Inti dari sikap penulis itu, adalah ketundukan kepada aturan-aturan
hukum, tetapi disertai penghormatan kepada manusia-manusia yang melanggarnya.
Kita harus mampu menegakkan “kebenaran” undang-undang, tetapi pada saat yang
sama harus pula memahami sebab-sebab yang sangat besar yang mendorong mereka
membuang peraturan-peraturan itu sendiri. Pengertian mendalam akan sebab-sebab
yang mendorong mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut, harus juga
dicari dan ditengahkan melalui tulisan-tulisan seperti ini. Sebuah sikap
sepihak, yang hanya bersifat menghukum tetapi tidak mengerti sebab-sebab sebuah
“kejahatan” dilakukan, hanya akan melahirkan rangkaian kejahatan yang tidak
berkeputusan. Apalagi jika keputusan yang diambil dengan tidak menimbulkan
‘rasa keadilan’ yang maksimal, seperti dalam kasus Amrozi atau dalam kasus
sikap keras dari pemerintah Ariel Sharon di Israel saat ini.
Dalam dunia yang bergerak sangat cepat, tentu tidak ada tempat yang
memadai bagi sikap yang dikemukakan penulis itu. Apalagi jika sikap yang
diambil terhadap tindakan-tindakan mereka, sangat dipengaruhi oleh
tindakan-tindakan politik tertentu terhadap mereka. Seperti dalam kasus Amrozi
di Pengadilan Tinggi Denpasar. Mengapakah tidak ada pemeriksaan mendalam atas
sebuah bom rakitan lain, yang berkekuatan lebih besar disamping bom rakitan
yang dinyatakan dalam pembelaan tertulis/pledoi yang dibuatnya dalam
pemeriksaan tersebut? Bahwa orang seperti penulis sampai mengajukan pertanyaan
seperti ini, menunjukkan bahwa tuduhan Amrozi itu memerlukan pembuktian yang
nyata, dan itu hanya akan diperoleh jika kita berani melakukan pemeriksaan yang
tuntas atas tuduhan itu sendiri.
Sikap jujur seperti inilah yang sebenarnya dituntut oleh siapapun
untuk ditegakkan di tanah air kita. Ini sama dengan kasus Sekarmadji
Kartosuwiryo yang oleh Panglima Besar Soedirman diperintahkan untuk mendirikan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat di paruh kedua
tahun-tahun 40-an, karena perjanjian Renville menetapkan Angkatan Perang
Republik Indonesia (APRI) harus ditarik kembali di wilayah Republik Indonesia
di Jawa Tengah mengakibatkan vakum kekuasaan di Jawa Barat. Menakuti “Tentara
Pasundan” akan mengisi kekosongan itu, Pak Dirman memerintahkan pembentukan
DI-TII oleh Sekarmadji Kartosuwiryo. Kesalahannya, terletak pada kenyataan
bahwa ia menggunakan gerakan tersebut untuk memberontak di tahun-tahun 50-an.
Memang memahami sejarah adalah sesuatu yang sulit, apalagi melaksanakannya
dalam kenyataan, bukan?
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.