Dewasa ini
pengembangan kurikulum studi ekonomi Islam setidaknya masih mengacu kepada
pemikiran tiga madzhab besar, yaitu: madzhab Baqir as-Sadr, madzhab mainstream
dan madzhab Alternatif Kritis[1].
Penganut madzhab Baqir as-Sadr menyakini bahwa ilmu ekonomi dan Islam tidak
akan pernah bisa sejalan. Terdapat dikotomis dan garis tegas diametral antara
keduanya. Dalam hal ini disebutkan bahwa ilmu ekonomi itu muncul
dilatarbelakangi keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara sumber daya
yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia terbatas. Sementara Madzhab
as-Sadr, al-Qur’an menolak aksioma tersebut. Dimana Islam tidak mengenal sumber
daya sebagaimana pernyataan al-Qur’an, dan problem ekonomi itu sendiri muncul semata-mata
karena faktor keserakahan manusia. Lebih ekstrim lagi, Madzhab as-Sadr juga
menolak pengistilahan ekonomi Islam dan lebih memilih istilah al-Iqtishaad guna mengembalikan makna
dasarnya, yaitu keseimbangan (equilibrium).
Berbeda dengan
pemikiran Madzhab as-Sadr, Madzhab Mainstream justru memiliki pandangan yang
sama dengan pemikiran ekonomi konvensional. Dalam hal ini yang membedakan
hanyalah pada cara penyelesaian problematika ekonomi yang sedang berlangsung.
Jika pada ekonomi konvensional penyelesaian masalah ekonomi dilakukan dengan
pertimbangan keputusan pribadi dan atau pertimbangan sosial, maka di dalam
ekonomi Islam dikembalikan kepada konsepsi mashadir
al-syari’ah. Artinya, madzhab ini bermaksud mengimplementasikan nilai dan
etika Illahiyyah dalam konstruksi
ilmu ekonomi dan prakteknya[2].
Pada
perkembangannya, kedua pemikiran ekonomi di atas mendapat kritik yang serius
oleh Timur Kuran. Disebutkan bahwa Madzhab as-Sadr terkesan terlalu ambisius di
dalam melakukan klaim penemuan yang baru dalam konsepsi ekonomi, bahkan
terhadap sesuatu yang sebenarnya telah ditemukan oleh ilmuwan lainnya.
Sementara, Madzhab Mainstream juga disebut-sebut sekedar melakukan plagiasi
pemikiran ekonomi neo-klasik minus variabel riba, dan dengan menambahkan
instrumen zakat. Bagi Kuran, kedua madzhab pemikiran tersebut sangat terbuka
untuk dikritik. Dimana, masih menurut Kuran, al-Qur’an benar absolut namun
ekonomi Islam sebagai produk penafsiran tetaplah bersifat relatif dan mungkin
saja mengandung kekeliruan. Oleh sebab itu, kritik terhadap ekonomi
konvensional dan Islam harus senantiasa terbuka untuk dilakukan[3].
Pergemulan
diskursus pemikiran tiga madzhab pada premis di atas berlangsung sangat sengit
pada kurikulum pembelajaran ekonomi Islam (al-iqtishaad)
di dunia, termasuk Indonesia. Maka yang tampak kemudian adalah terkoptasinya
banyak akademisi ke dalam beberapa madzhab. Namun demikian, sebagian Perguruan
Tinggi Agama Islam dan para peminat ekonomi Islam lebih memilih Madzhab Mainstream dengan jargon Islamisasi ilmu
ekonomi. Mereka beranggapan bahwa kontribusi Islam sesungguhnya hanyalah pada
aspek aksiologi semata. Di sini aspek epistemologi ilmu ekonomi Islam
senantiasa dipertanyakan jika telah dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang
mandiri. Di lain sisi, mereka tetap giat melakukan kritik terhadap ekonomi
konvensional dengan tetap tekun menemukan teori-teori dan konsepsi baru sebagai
material konstruksi ekonomi Islam yang lebih termurnikan[4].
Lihat perjelasan materi di atas pada video berikut ini:
[1] Adiwarman
Karim, Ekonomi Mikro Islam, Ed. III,
Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Hal. 30-31.
[3] Syaparuddin,
Rekonstruksi Pembelajaran Ekonomi Islam
pada Perguruan Tinggi Agama Islam (Antisipasi Pengembangan ke Depan),
(Jurnal Studi Ekonomi At-Taradhi, Vol. 3 No. 1, 12 Juni 2012). Hal. 13.
[4] Muhammad,
Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam,
Cet. 1 (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004). Hal. 39-41.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.