Skip to main content

MAQASHID AL-SYARI’AH MENURUT MUHAMMAD THAHIR IBN ‘ASYUR


Teori Maqashid al-Syari’ah dalam wacana hukum Islam dan ushul fikih memiliki sejarah yang sangat berliku-liku. Di setiap fase sejarah itu teori ini memiliki ciri dan watak yang berbeda-beda di tangan para penggagasnya masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa teori Maqashid al-Syari’ah ini mengalami semacam evolusi dan selalu berkembang menurut semangat jaman dan kebutuhan sosial yang melingkupinya. Saat ini, era globalisasi yang berbasis pada negara global (global governance) dan negara bangsa telah lahir tantangan-tantangan dan masalah yang sangat kompleks. Karenanya, dibutuhkan rekonstruksi dan kontekstualisasi terhadap Maqashid al-Syari’ah agar dapat menjawab tantangan ruang dan waktu. Maqashid yang selama ini dipahami sebagai konsep, gugusan nilai, harus ditransformasikan menjadi metode pendekatan, dan dengan sendirinya berimplikasi kebutuhan akan reformulasi dan kontekstualisasi ushul fikih.[1]
Pasca mangkatnya al-Syathibi geliat perkembangan diskursus maqashid mengalami stagnansi akut. Wacana maqashid yang pertama kali terkodifikasikan dengan rapi dan sistematis oleh Imam al-Syathibi mendadak hilang tak berbekas. Barangkali salah satu faktor redupnya sinar diskursus maqashid ini disebabkan oleh jatuhnya kekuasaan daulah Islam di Andalus -tempat al-Syatibhi hidup– ketangan penguasa kristen Spanyol. Bersamaan dengan itu diberlakukan pengusiran besar-besaran umat islam (mahkamah taftisy) dari tanah Andalus, dan implikasi logisnya, lenyap pulalah hampir semua peninggalan kebudayaan islam beserta karya-karya agung yang sempat terbukukan, termasuk buku-buku karya al-Syathibi.
Sampai kemudian di paruh pertama abad 20, tampillah Ibnu ‘Asyur sebagai bapak reformasi studi maqashid, yang menawarkan pendekatan baru dalam mempelajari maqashid syariah yang disesuaikan dengan realitas kekinian dan konteks modern. Upaya reformasi ini, tertuang dalam karya briliannya, maqashid al-syariah al-islamiah yang terbit pertama kali di Tunisia, tahun 1946 M. Dalam bukunya ini, sengaja Thahir bin ’Asyur tujukan untuk menyingkap rahasia dan hikmah diturunkannya syariat, sebagai sebuah obor penerang, saat munculnya ikhtilaf diantara para ulama, baik dikarenakan perbedaan masa hidup, kondisi sosial masyarakat, atau perbedaan kadar kemampuan dalam perumusan suatu hukum.[2] Tawaran Ibnu Asyur ini, bisa dikatakan sebagai jembatan yang bisa meminimalisir adanya jurang khilaf diantara kaum muslimin, demi memupus kecenderungan fanatik sempit pengikut mazhab tertentu dan disintegrasi umat.[3] Dalam kitabnya tersebut Asyur menegaskan bahwa tasyri’ hukum Islam yang sesuai dengan maqashid syariah bertujuan untuk menunjukkan keagungan syariah itu sendiri; bahwa Islam sejatinya turut menjaga tegaknya maslahat dan mencegah kemudaratan. Lebih dari itu, yang paling penting tasyri’ hukum Islam berperan dalam menciptakan keteraturan dan perbaikan di masyarakat.[4]
  

PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Thahir bin Asyur[5]
1.      Kelahiran dan Latar Belakang Pendidikan
Di tepi pantai utara dekat Ibukota Tunis, Ibnu Asyur dilahirkan pada tahun 1879 M dari rahim keluarga mulia pecinta ilmu. Ibnu Asyur memulai pendidikannya di usia enam tahun dengan belajar al-Quran dan menghapalkannya dibawah asuhan Sheikh Muhammad al-Khiyari. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari matan ajrumiah dalam bidang nahwu dan kitab-kitab fikih mazhab Maliki. Tahun 1893 M belajar di perguruan tinggi Zaitunah, institusi pendidikan tinggi Islam tertua di wilayah Maghribi yang sudah eksis sejak abad 8 M. Disana ia belajar ulum al-quran, hadist, fikih, ushul al-fiqh, sejarah, bahasa dan lain sebagainya, disamping ia juga mendalami bahasa Perancis, bahasa resmi yang digunakan pemerintah kolonial Perancis di Tunisia ketika itu. Setamatnya dari Zaituna yang ditandai dengan mendapat ijazah tathwi’, ia meneruskan belajar pada Menteri Besar Tunis, Sheikh Aziz Benashur, Shaik al–Islam Mahmud Benhojah, salah satu pembesar madzhab Hanafi di Tunis, Sheikh Salim Bouhajib seorang ulama besar Maliki, dan Sheikh ‘Umar Ahmad, Imam besar mazhab Maliki. Dari sekian banyak gurunya, keempat guru tersebutlah yang paling banyak memberikan pengaruh penting dalam lika-liku intelektual Thahir bin Asyur.
Sementara karir akademis Thahir bin 'Asyur dimulai dengan menjadi tenaga pengajar di almamaternya, Zaituna pasca mendapatkan  ijazah tathwi tahun 1899 M, dilanjutkan dengan keberhasilannya lulus menjadi ulama tabaqat at-tsaniah tahun 1903 M, menjadi dosen di madrasah al-shadiqia pada 1904 M, naik pangkat sebagai ulama thabaqat al-ula tahun 1905 M, menjadi anggota Majelis Reformasi Anggota Pendidikan dan Majelis Auqaf, menjadi Hakim Agung mazhab Maliki tahun 1923 M, kemudian dilanjutkan dengan menjabat sebagai mufti besar wilayah Tunisia setahun sesudahnya. Selain berperan aktif dalam belantika dunia pendidikan di negerinya, ia juga aktif mengikuti berbagai seminar dan workshop Internasional, seperti partisipasinya sebagai seorang peneliti di majma’ lughah al-‘arabiah (Pusat Studi Bahasa Arab) di Damaskus dan Kairo.
Sepanjang puluhan tahun pengembaraan intelektualnya, Ibnu 'Asyur banyak melahirkan karya-karya ilmiah, baik berupa syarah (penjelasan) atas karya cendekiawan lain, tahqiq (komentar), kumpulan syair, dan buku-buku ilmiah. Berikut beberapa karya Thahir bin 'Asyur; kitab tafsir tahrir al-ma’na al-sadid wa tanwir al-‘aql al-jadid min tafsir al-kitab al-majidmaqashid al-syari’ah al-islamiah yang merupakan magnum opus-nya di bidang maqashid al-syariahalaisa al-subh biqaribushul an-nidzam al-ijtima’i fi al-islam, kashf al-mughatha min al-maani wa al-alfadz al-waqi’ah fi al-muwatho’, naqd ilmi likitab al-islam wa ushul al-hukm, dan banyak lagi buku-buku karyanya, termasuk manuskrip, catatan pribadi, ceramah dan makalah-makalah ilmiah yang masih tercecer dan belum dibukukan.

2.      Setting sosial-politik
Secara umum, potret kondisi politik dalam kehidupan Ibnu 'Asyur terbagi menjadi dua fragmen besar periode kehidupan. Pertama adalah era penjajahan kolonial Perancis atas negara-negara maghrib ‘arabi (Maroko, Al-Jazair, dan negerinya, Tunisia) yang berkisar antara tahun 1881-1956. Sementara  periode kedua adalah masa kemerdekaan yang diraih rakyat Tunisia pada tahun 1956 sampai 1973, tahun dimana ia mangkat.
Periode pertama kehidupannya, ditandai dengan berbagai peristiwa besar di dunia Islam seperti lemahnya otoritas kekhalifaan Turki Ustmani atas negara-negara kekuasaannya. Walhasil hal ini dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis Eropa untuk menancapkan kuku kekuasaannya atas negara-negara Islam di Timur Tengah, termasuk Tunisia. Berusaha untuk lepas dari penjajahan Perancis, tumbuhlah berbagai gerakan perlawanan rakyat. Setidaknya, ada tiga faktor penting dalam mendorong munculnya berbagai gerakan ini diantaranya adalah pengaruh gerakan reformasi yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh di Mesir. Urwa al-wutsqa, majalah yang diasuh oleh Abduh berhasil memberikan pengaruh kuat kepada rakyat Tunisia untuk bangkit melakukan perlawanan terhadap penguasa kolonial. Kesadaran rakyat untuk melawan penguasa semakin kuat pasca kunjungan Abduh ke Tunisia pada tahun 1884 dan 1903. Faktor kedua yang membawa pengaruh besar pada arus perlawanan rakyat Tunisia adalah pikiran-pikiran seorang reformis Tunisia, Khairudin al-Tunisy, dimana dengan inisiatifnya ia berusaha memajukan  bangsanya lewat jalur pendidikan. Langkah-langkah yang ditempuh al-Tunisy diantaranya adalah menebarkan ide pembebasan lewat tulisan-tulisannya di berbagai majalah dan mencetak buku-buku murah untuk disebarkan kepada khalayak, dan mendirikan universitas Khalduniah dan al-Shadiqiah demi mempelajari ilmu-ilmu modern. Sementara faktor ketiga adalah konfrontasi secara langsung dengan pihak penguasa, yang berujung pada terjadinya bentrok fisik antara pejuang Tunisia vis a vis penguasa Perancis, seperti peristiwa Zalaj dan Teram tahun 1912, Revolusi Ibn Askar tahun 1915, munculnya embrio gerakanniqabiah tahun 1924, dan muktamar nasional Tunisia tahun 1946 yang menuntut kemerdekaan penuh atas Perancis. Semua pergolakan ini terus berlangsung sampai dengan proklamasi kemerdekaan tahun 1956, yang menandai era baru kehidupan berbangsa dan bernegara rakyat Tunisia.
Pasca kemerdekaan yang ditandai dengan naiknya Habib Borgouiba sebagai presiden, terjadi banyak perubahan besar di wajah Tunisia. Dengan dalih mengejar ketertinggalan negaranya dari negara-negara maju, Borgouiba aktif melakukan kampanye sekulerisasi dimana-mana dan mengklaimnya sebagai satu-satunya jalan untuk membawa negara ke arah kemajuan. Islam disisihkan dari gelanggang politik, bahkan dari ruang publik. Imbasnya, syiar keagamaan nyaris tak nampak dalam kehidupan keseharian. Kecuali dalam ritual-ritual resmi seperti salat Jumat atau peringatan hari-hari besar agama. Di sisi lain, tradisi Barat dijadikan satu-satunya prototype ideal yang  layak diikuti. Atas nama HAM dan kebebasan, potret Islam yang liberal, humanis serta penuh kompromi, mulai dikembangkan dan  materi HAM menjadi salah satu bahan pelajaran utama di semua lembaga pendidikan.

B.     Maqashid Syariah menurut Thahir bin Asyur
1.      Urgensi Maqashid Syariah dalam Kajian Fikih
Gagasan tentang maqashid syariah, sebagai sebuah nilai, prinsip, dan paradigma, telah dikenal jauh ketika awal-awal Islam, bahkan ada yang mengidentifikasi bahwa pemikiran maqashidi sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw.[6] Namun secara konseptual, pemikiran tentang maqashid syariah baru disusun secara sistematis oleh Al-Syathibi. Sehingga banyak kalangan yang menganggap al-Syathibi sebagai bapak perumus Maqashid Syari’ah pertama.
Al-Syathibi menulis al-Muwafaqat dengan tujuan untuk ‘mendamaikan’ antara madzhab maliki yang menjadi mayoritas madzahab di Granada pada waktu itu, dan madzhab Hanafi sebagai madzhab minoritas.Salah satu motivasi Imam Syathibi untuk menulis karya yang secara khusus membahas tentang Maqashid Syariah adalah munculnya sikap ta’ashub berlebihan yang dipraktekan para ulama Granada dan masyarakat Andalusia saat itu terhadap madzhab Maliki. Mereka memandang setiap orang yang bukan madzhab Maliki adalah sesat. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masyarakat Andalus memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180H menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara.[7]
Saking berlebihannya ta’asub mereka, mereka tidak lagi mengenal bahkan cenderung tidak bersahabat dengan madzhab-madzhab lainnya terutama madzhab Hanafi sehingga Muhammad Fadhil bin Asyur melukiskan mereka: “Mereka tidak lagi mengenal selain al-Qur’an dan al-Muwatha’ Imam Malik”.[8]
Dari uraian di atas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa secara metodologis, pemahaman fikih dengan pendekatan maqashid sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syathibi, adalah cara terbaik untuk meminimalisir terjadinya khilaf dan perdebatan dalam fikih, yang acapkali menimbulkan perpecahan umat dan pengkotakan kaum muslim dalam kotak-kotak madzhab yang justru kontraproduktif terhadap upaya menyatukan umat muslim.
Jika pada waktu itu di Granada ada dua madzhab yang dalam praktik di masyarakat saling berkompetisi bahkan bermusuhan, al-Syathibi merasa sangat urgen untuk membuat karya yang secara sistematis dan konseptual dapat meminimalisir ketegangan-ketegangan antar kedua madzhab, maka di masa sekarang di mana ketegangan-ketegangan yang seringkali terjadi bukan hanya antara dua madzhab, tapi sudah meluas antara dan dalam empat madzahab fikih sunni, plus syiah dan wahhabi, maka urgensi untuk kembali membangkitkan geliat pemikiran tentang Maqashid Syariah makin menemukan relevansinya.
Sedang secara metodologis, urgensi pengkajian dan penggaliannya maqashid syariah dipandang perlu karena pemahaman tentangnya merupakan kunci yang membukakan belenggu kekakuan berfikir dan kebekuan paradigma umat Islam dalam memandang syariah Islam itu sendiri. Pasalnya, syariat Islam hingga kini belumlah terasa menjadi problem solver dan pemecah kebuntuan problematika yang mendera umat, menjawab tantangan persoalan zaman serta mengentaskan umat dari kemunduran dan keterpurukan. Sebaliknya syariat masih sebatas dipandang sebagai hukum legal-formal yang membebani kehidupan, menjadi aturan kaku yang membatasi interaksi keseharian (dengan fatwa halal-haram) dan belumlah dimaknai sebagai solusi atas problem yang ada demi mancapai kemaslahatan dan kemudahan umat sebagaimana maksud dan tujuan syariat itu diturunkan oleh Syari’ Azza Wa Jalla pada mulanya.  
Berangkat dari pemikiran di atas, maka upaya memformulasikan kembali maqashid syariah menjadi penting adanya, tentu dengan segenap perubahan zaman yang terjadi demikian rupa, maka upaya tersebut harus disesuaikan dan dikontelstualisasikan  dengan kebutuhan sosial pada masa sekarang. Reformulasi dan kontekstualisasi Maqashid Syariah akan dijelaskan di belakang.
2.      Argumentasi Normatif Maqashid Syariah
Mengenai legalitas maqashid, seperti disebutkan dimuka, bahwa Allah sebagai Sang Pemilik Syariat mustahil untuk menurunkan syariat kepada manusia tanpa diiringi dengan tujuan dan hikmah mulia. Asyur menjelaskan legalitas (hujjiyyah) maqashid syari’ah dengan menyetir ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan akan hal tersebut, seperti tersebut dalam QS. Al-Dukhan 38-39, al-Mu’minun 115, al-Hadid 25, Ali Imran 19, al-Nisa 171, al-Syura 13, al-Maidah 44-48, al-Baqarah 179.[9]
3.      Definisi dan ruang lingkup Maqashid Syariah
secara etimologi (ma’na lughawy) kata maqashid berakar dari kata kerja (  قصد- يقصد- قصدا- ومقصدا  ). Yang berarti maksud atau tujuan. Dalam penggunaan keseharian, maqashid mempunyai paling tidak tiga makna, (1) bergantung dan mendatangkan sesuatu, (2) jalan yang lurus dan mudah dilalui, (3) adil dan moderat.[10]
Sedang dalam terminologi (ma’na isthilahy) terdapat beberapa pengertian yang saling berdekatan maksudnya yang bermuara pada arti ‘maksud dan tujuan di balik syariat demi kemaslahatan umat’. Banyak definisi yang sudah diberikan oleh ulama mengenai arti maqashid syariah, dimana antara satu definisi dengan definisi yang lain saling melengkapi. Menurut Thahir bin ‘Asyur sendiri, definisi maqashid syariah adalah:
المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها، بحيث لاتختص ملاحظتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة، فيدخل في هذا أوصاف الشريعة وغاياتها العامة والمعاني التي لا يخلو االتشريع عن ملاحظتها.

Makna-makna dan himah-hikmah yang menjadi pertimbangan Syari’ dalam segenap atau sebagian besar pen-tasyri’-annya, dimana pertimbangan tersebut tidak terbatas dalam satu jenis tertentu. Jadi, termasuk ke dalam maqashid adalah karakteristik syari’ah, tujuan-tujuannya yang umum, serta makna-makna yang tidak mungkin untuk tidak dipertimbangkan dalam pentasyri’an.[11]

 4.      Metode Penetapan Maqashid Syariah
Berkaitan dengn metode penetapan maqashid syari’ah, Thahir bin Asyur mempunyai perbedaan dengan al-Syathibi. Menurut Asyur, metode penetapan maqashid syari’ah ada tiga:
a.      Meneliti ‘kebijakan-kebijakan’/ Tasharrufat syariah. Langkah ini bisa dalam dua bentuk:
1)      Meneliti hukum-hukum yang sudah diketahui illatnya melalui prosedur masalikul illat yang dikenal dalam ushul fikih, untuk kemudian dicari hikmah dari hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh, pengharaman muzabanah dan jual beli kurma basah. Maqashid yang dapat diambil atas pelarangannya adalah: demi menghindari penipuan (gharar) dalam transaksi. Contoh lainnya, dilarangnya meminang wanita makhtubah (sedang dalam pinangan orang lain). Maka maqashid yang nampak dari kasus ini adalah: demi menjaga kelangsungan ukhuwwah di antara sesama muslim.[12]
2)      Meneliti secara induktif   dalil-dalil hukum yang mempunyai illat sama, sehingga memberi keyakinan bahwa illat tersebutlah yang dikehendaki oleh syara’ atau yang menjadi maqashid  al-syariah. Contoh: dilarangnya jual-beli makanan sebelum sampai ke tangan pembeli, barter makanan dengan salah satunya dihutang dan dilarangnya menimbun makanan. Maka dari ketiga persoalan ini dapat ditarik satu illat tasyri’ yang sama, yakni demi berlangsungnya peredaran makanan secara sehat dipasaran dan agar makanan dapat dengan mudah didapatkan. Sehingga illat inilah yang menjadi maqashid pelarangan ketiga kasus tersebut.[13]
b.      Memahami dalil-dalil quran yang dalalahnya jelas, yang kemungkinan adanya maksud lain selain yang tampak dari dalil-dalil quran tersebut lemah. misalkan: 
والله لا يحب الفساد 
Ayat ini secara tashrih telah menampakkan dasar dan asas maqashid syariah.[14]     
c.       Memahami Sunnah Mutawatiroh:
1)      Tawatur Maknawi, yakni apa-apa yang disaksikan oleh mayoritas  sahabat sebagai amalan dari Nabi Saw, sehingga menjadi pengetahuan yang disepakati bersama, Contoh: anjuran bersedekah atas sebagian harta dan menyimpan (alhabs) sebagian yang lain, khutbah dua hari raya ied yang dilangsungkan setelah shalat.[15]
2)      Tawatur ‘Amali, yakni beberapa sahabat melihat tindakan Rasulullah yang berulang-ulang, sehingga memberikan kesimpulan pada tujuan atau maqashid al-syari’ah nya Contoh: iqrar (diamnya) Rasul ketika melihat salah seorang sahabat (Abu Barzah Al-Aslamy) berlari mengejar unta yang lepas ketika dalam keadaan shalat.[16]

5.      Perilaku Nabi
Ibn Asyur membagi tingkah laku Rasul SAW  menjadi dua belas bagian. 
a.      At-Tasyri’ (pensyari’atan), ini yang paling dominan, dan karena alas an inilah Allah menjadikanya Rasul di muka bumi. 
b.      Fatwa. Seperti sabda Nabi pada hari nahr ketika para sahabta menanyakan sesuatu yang berbeda-beda, kemudian Rasul menjawab : “إفعل ولا حرج
c.       Qadha. Umumnya hal ini terjadi pada seseorang yang saling berselisih. 
d.     Imam. Seperti sabda Nabi yang : “من قتل قتيل فله سلبه
e.      Bimbingan dan Konseling, dan ini lebih umum dari bagian pertama (at-tasyri’) karena adakalanya Nabi menyuruh dan melarang sesuatu bukan karena sesuatu tersebut adalah sebuah keharusan, melainkan karena sesuatu tersebut adalah yang lebih utama dan baik. 
f.        Kemaslahatan bersama. Seperti ketika terjadi perselisihan antara Zubair dengan Humaid al-Anshari dalam masalah pengairan air
g.      Isyarat. Seperti isarat  Nabi kepada Umar : “إن الراجع في صدقته كالكلب يعود في قيئه
h.      Nasehat. Seperti nasehat nabi kepada Fatimah Binti Qais :
 “أما أبو جهم فلا يضع عصاه عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له”.
i.        Kesempurnaan diri. Seperti anjuran Nabi untuk menjenguk orang yang sakit, mengikuti jenazah sampai dikuburkan, mendoakan orang yang bersin, menjawab salam, mendatangi undangan dll. Dan larangan Nabi seperti memakai cincin emas, memaki gelas yang terbuat dari perak, memakai sutra bagi para lelaki dll.
j.        Ilmu Hakikat, dan memang inilah maqam dari Rasul dan para sahabatnya. Seperti hadits riwayat Abu Dzar beliau bersabda “Jika aku mempunyai emas sebesar gunung uhud maka aku akan menafkahkan semuanya kecuali hanya senilai tiga dinar yang tersisa”.
k.      Kedisiplinan, separti ancaman Nabi untuk membakar rumah para sahabat yang tidak ikut berjamaah. Karena tidak mungkin Nabi membakar rumah para sahabat, dan memang itu tidak terjadi. Maka ancaman seperti ini bisa dimaknai pentingnya untuk selalu disiplin dalam berjamaah. 
l.        Kebiasaan umum. Seperti tingkah laku Nabi ketika berada di rumahnya, ketika mencari ma’isyah untuk kehidupanya. Dalam hal ini Nabi bersabda “إنما أنا بشر فاعملوا بما يصلحكم” .
Di akhir pembahasan Ibn Asyur berpendapat akan pentingnya seorang mutafaqih fidin untuk selalu menganalisa dan mencermati tingkah laku kenabian. Lalu beliau memberikan contoh tentang indikasi-indikasi mengenai At-Tasri’, yaitu berupa perhatian Nabi untuk menyampaikan sesuatu tersebut ke halayak umum, menjaga untuk selalu mengamalkanya, dan memberitaukan hukum dari perbuatan tersebut, misalnya sabda Nabi yang berbunyi “لا وصية لوارث”. Sedangkan indikasi dari sesuatu yang tidak termasuk pensyariatan (at-tasri’) yaitu, kurangnya ketekunan Nabi untuk melakukan suatu perbuatan.
Dari beberapa sifat dan prilaku Nabi yang telah disebutkan di atas, menurut Ibn Asyur, satu hal yang paling penting utuk dipahami lebih jauh adalah perihal pensyariatan (at-tasri’), karena itulah hakikat dari kenabian itu sendri. Allah berfirman di dalam surat al-imran ayat 144 “وما محمد إلا رسول”.[17]

C.     Maqashid Sebagai Kriteria Mendasar untuk Pembaharuan
Berdasarkan pada analisis maqashid dalam berbagai dasar kebahasaan dan bukti/metode rasional, tampak bahwa realisasi maqashid tidaklah spesifik untuk beberapa metode ushul, seperti analogi atau kepentingan, yang belakangan ini banyak disarankan oleh teori tradisional dan kontemporer. Jasser Auda berargumen bahwa realisasi maqashid hukum Islam adalah inti tujuan dari seluruh dasar kebahasaan dan metodologi rasional ijtihad, tanpa melihat berbagai nama dan pendekatan mereka. Selebihnya, realisasi maqashid, dari sudut pandang sebuah sistem, akan menjaga keterbukaan, pembaruan, realisme dan fleksibilitas sistem hukum Islam.
Karena itu, validitas ijtihad, dan dengan demikian perangkat ushul fikih (juga qawa’id al-ushul) harus ditentukan berdasar pada level tujuannya, seperti level realisasi maqashid al-syari’ah. Demikian juga, validitas sebuah hukum harus ditentukan berdasarkan level realisasi maqashid. Pilihan antara alternatif hukum, atau hasil dari ijtihad, secara tradisional dilakukan melalui keterlibatan metode mendasar yang urutannya sudah ditetapkan dalam ijtihad tersebut, seperti ijma’, qiyas, pendapat sahabat, atau tradisi masyarakat Madinah.[18]
Sebagai sebuah gagasan, diskursus maqashid syari’ah adalah bidang ilmu yang lahir dari rahim ushul fikih. Pendekatan Maqashid untuk fikih adalah sebuah pendekatan holistik yang tidak membatasi dirinya pada hadis atau hukum tertentu, akan tetapi merujuk pada prinsip-prinsip umum dan landasan bersama.[19]
Seiring dengan perkembangan zaman, telah terjadi pergeseran paradigma tentang maqashid syariah. Pergeseran paradigma dan teori Maqashid yang lama ke teori Maqashid yang baru terletak pada titik tekan keduanya. Titik tekanMaqashid lama lebih pada protection (perlindungan) dan preservation (penjagaan/pelestarian), sedang teori Maqashid baru lebih menekankan pada development (pembangunan/pengembangan) dan right (hak-hak)[20]:
No
Teori Maqashid klasik
Teori Maqashid kontemporer (postmodern)
1
Menjaga keturunan (an-nasl)
Teori yang berorientasi pada perlindungan keluarga, kepedulian yang lebih terhadap institusi keluarga
2
Menjaga akal (al’Aql)
Melipatgandakan pola pikir dan research ilmiah; mengutamakan perjalanan mencari ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas kerumunan gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk meremehkan kerja otak
3
Menjaga kehormatan dan jiwa (an-nafs dan al’irdh)
Menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan; menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia
4
Menjaga agama (ad-Din)
Menjaga, melindungi dan menghormati kebebasan beragama dan berkepercayaan
5
Menjaga harta (al-mal)
Mengutamakan kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang antara miskin dan kaya.


DAFTAR PUSTAKA

Aep Saefullah Darusmanwiati, “Imam Syathibi: Bapak Maqasid al-Syari’ah Pertama” (www.islamlib.com);

Ahmad Muhammad, “Rekonstruksi Maqashid al-Syari’ah dalam Perspektif Thahir bin ‘Asyur(Sebuah Upaya mendialogkan kembali syariat dengan realitas)” , www.ruangkesadaran.blogspot.com;

Amin Abdullah, “Epistemologi Studi Hukum Waris Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Pendekatan Filsafat Sistem Jasser Auda)”, Kata Pengantar dalam: Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) (Pekalongan: STAIN Press, 2012):

Amrullah, “Geliat Pemikiran Maqashid Syari’ah (sejak I H./VII M. sampai 14 H./21 M.)” Makalah Divisi Kajian Fikih-Ushul Fikih Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (LBM PCINU) pada tanggal 20 Februari 2013 di Sekretariat PCINU Mesir.

Thahir bin Asyur, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001);

Tim Redaksi, “Peta Pemikiran Ulama ushul tentang Maqashid Syari’ah: Menuju Kontekstualisasi dan Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November 2013-Februari 2014);

Tim Redaksi, “Ushul Fiqh: Kontekstualisasi atau Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November 2013-Februari 2014):

Warson Munawwir dan Atabik Ali, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997).





[1] Tim Redaksi, “Peta Pemikiran Ulama ushul tentang Maqashid Syari’ah: Menuju Kontekstualisasi dan Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November 2013-Februari 2014), hal. 33
[2] Thahir bin Asyur, Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiah, (Amman: Dar al-Nafais, 2001) hal. 3
[3] Ibid.
[4] Muhammad Thahir bin ‘Asyur, Op. Cit., hal. 170
[5] Riwayat hidup Thahir bin Asyur ini seluruhnya penulis kutip dari makalah Ahmad Muhammad, “Rekonstruksi Maqashid al-Syari’ah dalam Perspektif Thahir bin ‘Asyur (Sebuah Upaya mendialogkan kembali syariat dengan realitas)” , www.ruangkesadaran.blogspot.com
[6]  Salah satu sampel ijtihad berdasarkan maqashid di masa Nabi, sebagaimana dikemukakan Jaser Audah (pakar maqashid modern), adalah  ijtihad Sahabat terkait hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang secara tekstual melarang melaksanakan solat asar kecuali di Bani Quraidhah. Pada waktu itu Sahabat yang memahami hadis tersebut secara maqâshidiy melaksanakannya ditengah perjalanan, bukan di Bani Quraidlah. Mereka memahami bahwa maksud dari hadis adalah al-isrâ’ (bergegas). Meskipun secara tekstual apa yang mereka lakukan berpunggungan dengan makna lahir teks akan tetapi dibenarkan karena sesuai dengan tujuan yang terkandung dalam teks. Ini terbukti ketika kasus diadukan kepada Nabi, Nabi pun tak mengingkari. Bagi Jaser, hadis tersebut merupakan dasar bolehnya menggali maqashid dari teks berdasarkan dugaan yang kuat (dhan al-ghâlib). Sepeninggal Nabi saw., khususnya di tangan sahabat Umar ra. ijtihad-ijtihad yang berlandaskan kemaslahatan yang merupkan pilar utama maqashid lebih marak lagi digalakkan. Lihat dalam: Amrullah, “Geliat Pemikiran Maqashid Syari’ah (sejak I H./VII M. sampai 14 H./21 M.)” Makalah dipresentasikan dalam Kajian Ushul Fikih diselenggarakan oleh Divisi Kajian Fikih-Ushul Fikih Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (LBM PCINU) pada tanggal 20 Februari 2013 di Sekretariat PCINU Mesir.
[7] Muhammad Fadhil bin Asyur, A’lam al-Fikr al-Islamy, (Tunisia: Maktabah an-Najah, t.th.), hal. 10., sebagaimana dikutip oleh Aep Saefullah Darusmanwiati, “Imam Syathibi:
Bapak Maqasid al-Syari’ah Pertama” (www.islamlib.com), diakses pada15 Mei 2014
[8] Ibid.
[9] Thahir bin Asyur, Op. Cit. hal. 177-179
[10] Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997)
[11] Thahir bin Asyur, Op. Cit., hal.
[12] Thahir bin Asyur, Op. Cit., hal. 190-192
[13] Ibid.,  hal. 192-193
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal.  194
[16] Ibid.  
[17] Ibid., hal. 212-231
[18]  Tim Redaksi, “Ushul Fiqh: Kontekstualisasi atau Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November 2013-Februari 2014), hal. 8-82.
[19] Tim Redaksi, “Ushul Fiqh: Kontekstualisasi atau Reformulasi”, Jurnal Mlangi, vol. I No 3 (November 2013-Februari 2014), hal. 80.
[20] Amin Abdullah, “Epistemologi Studi Hukum Waris Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Pendekatan Filsafat Sistem Jasser Auda)”, Kata Pengantar dalam: Waryani Fajar Riyanto, Sistem Kewarisan Islam Klasik, Modern dan Postmodern (Perspektif Filsafat Sistem) (Pekalongan: STAIN Press, 2012), hal. Liii.

Comments

Popular posts from this blog