Skip to main content

Dr. K.H Chariri Shofa; Seraut Wajah Kerinduan


Di antara pertemuan dengan para muallim, maka kebersamaan dengan K.H. Chariri Shofa merupakan salah satu titik balik di dalam kehidupan penulis. Bersama beliau, berkali-kali merasakan kehadiran ma’unah yang nyata. Hal ini, bahkan berlangsung setelah kemangkatan beliau. Namun, aksara ternyata tak selalu memiliki daya untuk merangkum semua kenangan bermakna itu. Terlalu banyak yang harus diingat, dirangkum dan dicatat. Bagaimanapun, jika kami kesulitan menghadirkan Rasulullah SAW di dalam kehidupan ini, maka kami masih punya sosok Bapak yang telah memberikan keteladanan nyata ajaran agung Rasulullah SAW.

Tahun 2010, sebagai pasangan muda, dengan sudut mata yang senantiasa mengamati, betapa kesalehan itu nyata. Saat itu, kami bermukim bersama di sebuah rumah mungil selatan masjid pesantren. Lima tahun lebih hidup bertetangga kamar dalam satu rumah yang penuh berkah. Sejak akad suci terajut dengan putri kedua beliau, semenjak itu untaian kenangan indah dan pelajaran bermakna mulai tersulam mengisi hari-hari; tentang keteladanan, kealiman, khidmah dan kesalehan. Maka jika kemudian Bapak-Ibu (demikian penulis memanggil), lantas dinobatkan sebagai pemenang keluarga sakinah dari tingkat kabupaten hingga nasional, tentu apresiasi itu bukanlah suatu yang berlebihan.

Jika menerawang hari-hari pada tahun kemarin, mengenang Bapak, yang membayang nyata adalah hari-hari dimana beliau yang tenggelam dalam muthola’ah demi muthola’ah kitab hingga malam, jelang mengisi kelas madrasah atau mengisi jadwal siaran RRI di Ahad pagi. Pemandangan ini semakin intens saat masa pandemi karena keadaan yang memaksa lingkup pesantren membatasi kegiatan eksternal. Sebelum masa itu, sepertiga hari dalam sepekan senantiasa diwarnai dengan kegiatan Bapak untuk mengisi pengajian di masyarakat. Beliau tergolong muallim dengan kemampuan retorika yang mumpuni. Sosok muballigh, telah menjadi ikon selain kapasitas akademik di bidang ilmu-ilmu agama. Sementara, sebagai Kiai yang mengasuh ratusan santri, penekanan akan penguasaan ilmu-ilmu diniyyah, utamanya cabang ilmu alat dan ushul fikih merupakan domain beliau bagi para santri. Bapak adalah sosok yang sangat disiplin dan serius soal urusan mengaji, kami semua mafhum akan hal ini.

Mengenang Bapak secara pribadi, bagaimana beliau menjalani hari-hari. Maka karakter sabar dan sosok dengan himmah dan kesabaran menanggung derita akan lekas terbaca. Betapa beliau selama bertahun-tahun melaksanakan tiga tugas sekaligus di pesantren, kampus dan kemasyarakatan tanpa mengeluh ke banyak pihak akan sejumlah penyakit komplikatif yang diderita. Bahkan beliau telah menjalani pengobatan jauh sebelum penulis mengenal beliau. Sungguh sosok yang tangguh. Maka tak jarang beliau kerap kali memberikan nasehat tentang betapa meruginya bagi kaum muda, baik dari kalangan santri maupun anak-anaknya, yang meninggalan sejumlah amalan atau kegiatan positif hanya gegara rasa malas yang selalu diperturutkan.

Bapak itu sosok orang tua yang sangat memperhatikan dan menyadari tentang arti pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya dan para santri, baik formal maupun pesantren. Pun pendidikan senantiasa diarahkan pada kebutuhan masa depan yang sejalan dengan perjuangan pesantren yang rintis. Hal itu berbuah hari ini. Kemampuan membaca realitas masa depan tentu tak setiap orang berilmu mampu. Pada mulanya, penulis sempat ragu semisal arahan untuk mendalami dunia medis. Kemana arahnya? Ya, benar. Sampai badai pandemi menghantam dan meniarapkan seluruh permukaan bumi. Dan pesantren Darussalam tetap menggeliat berkat tim medis yang dimilikinya. Pendidikan benar-benar harga mati bagi beliau. Untuk itu, bahkan beliau membeasiswakan sejumlah santri dan keluarga dalam menempuh pendidikan formal, merintis wakaf abadi pendidikan yang didedikasikan untuk keluarga.

Dalam kesalehan beribadah, penulis merupakan salah seorang yang menyaksikan langsung betapa kedisiplinan Bapak dalam mendirikan shalat maktubah dan sunnah. Hal ini kerap kali mengundang rasa malu bagi siapapun, utamanya kaum muda, karena tak seberdaya beliau dalam semangat membangun hubungan dengan Allah SWT. Tak jarang dalam membangun jejaring dengan para sahabat hingga jauh larut malam di teras rumah, kami harus tercekat dan menekan volume suara, demi mendengar gemericik air wudhu dan takbir tahmid yang lamat-lamat terdengar dari arah ndalem, Bapak mulai bermunajat. Peristiwa seperti ini menjadi pemandangan yang lazim di setiap penghujung malam.

Selain pesan penting penegakan qiyamul lail, Bapak secara praktek memberikan teladan tentang pentingnya menghadiri shalat berjamaah di masjid. Shalat tahiyyatal masjid dan qabliyyah-ba’diyyah menjadi pemandangan khas akan keistiqamahan beliau ketika hadir di masjid. Jika udzur, Bapak dapat dipastikan akan memberikan pesan singkat di handphone untuk membadali sebagai imam di masjid pesantren. Sungguh pemandangan khas yang bagi penulis yang sarat dengan suasana ruhani. Saat itu, detak suara terompah kayu beliau laksana ketukan magis saat berjalan mendekati masjid. Benar-benar siapapun akan rindu suasana itu.

Ada suatu hal yang melekat pada amaliah Bapak selepas dari kegiatan berjamaah di masjid atau saat malam setelah kelas madrasah, yaitu tadarus al-Qur’an. Terutama saat malam, ketika penulis menemani anak-anak bermain di ruang tengah ndalem. Khas, beliau membuka al-Qur’an di meja depan kamar atau terkadang di ruang belajar dan mulailah terdengar lirih tilawah al-Qur’an. Sesekali beliau berhenti dan menatap penuh cinta kepada cucu-cucu beliau yang sedang bermain se-antero ruangan. Sungguh pemandangan hangat yang siapapun akan merindukan kehadirannya di tengah suasana itu. Terkait amalan al-Qur’an ini, ada pembacaan empat puluh satu surat Al-Fatihah bakda maghrib yang diijazahkan dari guru Bapak, yaitu Kiai Masykuri Mbumen dari guru beliau Kiai Jazuli Utsman Ploso. Resepsi al-Qur’an yang didawamkan sebagai aurad ini, kemudian menjadi simbol spiritual Pesantren Darussalam dan rabithah bagi seluruh santri, alumni dan muhibbin                                      

Kegandrungan dan gagasan tentang pencak silat adalah sisi lain dari Bapak. Tentu, ini sangat penting untuk penulis ungkapkan, tak lain karena sekecenderungan dengan penulis dan istri. Beliau pada banyak kesempatan, terutama di tengah acara-acara kegiatan Pagar Nusa, menceritakan proses perjalanan kependekaran di Perguruan Cepedi. Sebuah perguruan silat yang diasuh oleh Pendekar Kasturi di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bahkan, penulis ingat betul, beberapa kali beliau memiliki angan-angan agar setiap santri Pesantren Darussalam untuk mengikuti proses olah kanuragan di Pagar Nusa. Hal ini terkait erat dengan aktivitas defensif yang terbilang minim bagi kebanyakan para santri. Pencak silat Pagar Nusa sendiri merupakan khazanah bela diri khas pesantren yang berusaha penulis dan istri bawa sebagai warna baru di Pesantren Darussalam Dukuhwaluh. Bagi penulis, dhawuh beliau ini mendapatkan tempat tersendiri di dalam hati, hingga kapanpun.

Di antara untaian kenangan yang menjadi salah satu momentum adalah dalam inisiasi revitalisasi keorganisasian Gerakan Pemuda Ansor di kecamatan Kembaran. Saat itu, ormas underbound Nahdlatul Ulama ini mengalami mati suri lebih dari tiga periode. Bapak pada suatu perbincangan mengamanahkan tugas revitalisasi tersebut setelah sebelumnya penulis lebih banyak menghabiskan waktu berkiprah di dunia spiritual. Setelah melalui sejumlah proses, maka momentum revitalisasi organisasi juang tersebut diputuskan dengan menghelat kegiatan pengkaderan sekaligus pelantikan kepengurusan tingkat kecamatan dengan anggaran yang dianggarkan hingga dua puluhan juta rupiah. Tentu, jumlah ini bukan suatu nominal yang sedikit. Namun, di sinilah epik ma’unah yang tak terlupakan itu secara dramatis berlangsung. Hal ini dipicu minimnya pengalaman dalam pendanaan, hingga hari perhelatan, pendanaan yang diupayakan panitia nihil. Sungguh suatu pelajaran yang luar biasa dan membekas bagi penulis. Dalam detik-detik akhir pembukaan acara, seiring dengan pembagian fasilitas yang menembus angka 350 peserta tersebut, penulis berserta beberapa sahabat panitia berinisiatif sowan menghadap Bapak guna mengadukan dilema finansial kegiatan tersebut. Saat itu, beliau hanya tersenyum bijaksana sembari menjelaskan bahwa hal-hal seperti ini bisa saja diantisipasi jika lebih dipersiapkan dan dikoordinasikan dengan beliau sebelumnya. Penulis dan para sahabat hanya bisa tertunduk lesu, namun segera sumringah setelah beliau masuk ke dalam dan menemui kami yang lunglai dengan membawa uang. “Pakai saja dahulu, nanti kalau ada dikembalikan..” tutur beliau sembari mewanti-wanti agar senantiasa berkoordinasi di lain waktu jika ada kegiatan yang membutuhkan pendanaan untuk mendapatkan arahan antisipatif. Dan yang mencengangkan adalah dua hari kemudian, ketika acara masih berlangsung, penulis memenangkan karya tulis yang hadiahnya cukup untuk mengembalikan uang tersebut. MasyaAllah, benar-benar pengalaman merasakan ma’unah yang tak terlupakan.

Kemangkatan beliau pada 12 September 2020 benar-benar seperti mimpi. Bagaimana tidak, pada malam hari beliau masih memberikan wejangan dan doa selamat dari keluarga atas usia beliau yang memasuki 63 tahun. Semua anak-cucu berkumpul dan beliau yang tampak ceria meski belum pulih benar karena menjalani terapi setahun terakhir. Beliau wafat di pagi yang cerah setelah sekilas gerimis melintas. Saat itu, penulis rasakan benar begitu banyak pertanda alam yang menunjukan rasa duka cita. Sepekan angin di area pesantren benar-benar mati, daun tak bergerak sama sekali dan suasana sunyi. Semua berduka, banyak pihak menyampaikan belasungkawa dan hadir semenjak dari awal kabar kewafatan terdengar hingga prosesi doa sepekan diselenggarakan. Semuanya merasa kehilangan.

Waktu berlalu, tiada yang abadi bagi makhluk kecuali kefanaan itu sendiri. Namun, ada hal lain yang terus tersambung baik melalui ilmu, ajaran, tinggalan perjuangan dan mimpi. Penulis menyaksikan benar petunjuk rabithah itu. Bahwa Bapak tidak pernah pergi, tetapi beliau hanya kembali kepada Khaliqnya.  الفُراق لا يقع إلا لمن يعشق بِعينيه،أما ذاك الذي يحبّ بِروحهِ وقلبه، فليسَ ثمّةَ انفصال أبدًا

Sebagaimana ungkapan Maulawi, bahwa ucapan selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata. Namun, bagi mereka yang mencintai dengan hati dan sepenuh jiwa, maka perpisahan itu tak akan pernah ada. Beliau senantiasa mendampingi, bahkan penulis rasakan sendiri ketika banyak tulisan dari para muhibbin yang menuturkan kesan dan pesan tentang Bapak ke dalam aksara yang seolah tak bisa berhenti untuk dituliskan. Bagi penulis, beliau adalah salah satu kekasih Allah SWT yang hadir di tengah kehidupan kami. Bagaimanapun, jika bukan alim ulama itu, maka tidak akan ada yang disebut wali Allah, bukan?

 

 

مع شيخي ومرشدي وسندي المحبوب حريرالصفى حفظه الله تعالى

Dukuhwaluh, 20 Muharram 1443 H

Comments

Popular posts from this blog