Skip to main content

Mendesak! Breakdown Perpres 82 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Keuangan Pesantren ke dalam Peraturan Daerah


Ada sejumlah pihak yang menyebut bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sebagai hadiah. Terlebih dengan ratifikasi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021, euforia semakin menjadi-jadi, umumnya di kalangan santri. Barangkali mereka mengira, bahwa semua itu hanya cukup sampai di batas regulasi belaka. Padahal tidak.


Tentu, beragam dinamika tanggapan bertebaran. Sehingga di kalangan pondok pesantren sendiri. Pro dan kontra dalam sejumlah bilik diskusi secara sengit berlangsung. Pihak pro dana abadi pesantren menganggap ini sebuah capaian perhatian pemerintah atas kontribusi pesantren terhadap negara semenjak awal berdiri. Sementara, pihak yang kontra menganggap bahwa ratifikasi dua regulasi di atas tidak lebih sebagai alat negara guna mengendalikan kemerdekaan para kiai di dalam mengelola arah pendidikannya. Keuangan itu hanya umpan, jerat kekang adalah kailnya, demikian kurang-lebihnya.
Di sisi lain, tampaknya keterbatasan masalah pengelolaan dan pelaporan keuangan sektor publik menjadi kendala tersendiri. Ini harus diakui, sebahagian besar pesantren tradisional terkesan enggan jika harus disibukkan dengan hiruk-pikuk lembar pertanggungjawaban ketimbang mengurus inti tugas mereka, yaitu mengaji. Maka, realitas ini harus menjadi catatan tersendiri bagi stakeholders guna memediasi kesenjangan yang sedang berlangsung.

Pesantren, sejauh ini patut percaya diri. Sejauh perjalanan kemerdekaan negara, meski tak mendapatkan tempat yang layak dalam porsi anggaran negara, mereka tetap tegak tegar berdiri. Setahap demi setahap mampu menunjukkan kapasitas penyelarasan norma kependidikan dan moral sosial, meski dengan kontribusi yang sangat minim dari otoritas. Maka, jika hari ini harus tunduk gegara aspek keuangan, tentu umpan yang ada harus kembali ditimbang ulang.

Mempertanyakan hakekat kebutuhan pesantren dalam ruang negara, tentu harus diarahkan kepada para penggiat pesantren itu sendiri. Bukan politisi, dan bukan ormas Islam. Salah satu yang paling disayangkan kerap terjadi, klaim perwakilan pesantren ke meja legislator sebagian besar hanya menciptakan proyek-proyek yang kurang menyentuh pondok pesantren itu sendiri. Industri pesantren paham akan fenomena ini. Mereka semakin merunduk dan berhati-hati.

Sejumlah percakapan tendensius kerap berlangsung. Ini tentang lambannya otoritas guna menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 ke dalam bentuk Keppres. Dugaan masih adanya 'resistensi' akan kehadiran pesantren di tengah-tengah negara diduga banyak majelis percakapan tetap berlangsung. Di antara kaum resistan itu, bahwa tidak menutup kemungkinan juga dari kalangan kelompok muslim tersebut yang merasa akan tertinggal jika kedua regulasi ini dilaksanakan secara serius. 

Lantas, kapankah ke dua regulasi tentang pesantren itu mendapatkan tempat di daerah, baik provinsi maupun kabupaten? Ini masih menjadi as'alul kubro bagi banyak kalangan. Bagi otoritas, selama desakan masyarakat belum bergema, itu artinya breakdown regulasi itu belum dipandang perlu. Terlebih, banyak birokrat yang membaca bahwa proses dinamika isu masih belum final.

Jadi, terserah anda.






























Comments

Popular posts from this blog