Skip to main content

REKONSTRUKSI EMPOWERING PETANI KARET EKS-TRANSMIGRAN BERBASIS PERNIAGAAN SYARIAH

Karet a1am adalah salah satu komoditi perkebunan yang strategis bagi Indonesia. Ditinjau dari luas areal dan poduksi, karet Indonesia didominasi oleh karet rakyat. Pada tahun 1996 perkebunan karet rakyat tercatat 2.991.628 ha (84%) dengan produksi 1.224.562 ton (76%), sisanya merupakan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Namun demikian perkebunan karet rakyat kondisinya belum kuat dan mantap antara lain: 61% dari total areal karet merupakan tanaman tua menghasilkan, produktivitas rendah 673 kg/ha/tahun karena menggunakan bahan tanaman tidak unggul dan minimnya pemeliharaan, serta sistem tata-niaga yang kurang menguntungkan bagi petani karet[1].

Dengan tidak produktifnya perkebunan karet untuk satu kapling (dua hektar) rata-rata hanya menghasilkan 10–15 Kg karet per hari/satu kali sadap, yang dulu ketika masih produktif bisa mencapai 50–70 Kg karet per hari/satu kali sadap. Curahan waktu kerja pun mengalami perubahan yang tidak produktif. Ketika perkebunan karet masih produktif, masyarakat bekerja untuk mengelolah kebun (menyadap pohon karet) empat sampai lima jam perhari, namun sekarang mereka membutuhkan waktu 5–7 jam untuk menyadap pohon karet seluas dua hektar (satu kapling) perharinya[2].


Sementara, luas lahan yang diremajakan atas berbagai program pemerintah mencapai 18.854 hektar diantaranya 1354 hektar (7,18%) tahun 2006, 14.000 hektar (74,25) pada tahun2007 dan 3.500 hektar (18,56) pada tahun 2008. Peremajaan terbesar terdapat di Kabupaten Bungodan Merangin, sedangkan terkecil di kabupaten Kerinci, Tanjung Jabung Baratdan Tanjung Jabung Timur. Apabila lahan tanaman karet yang diremajakan initermasuk dalam luas 136.000 hektar yang perlu diremajakan seperti data yangdikeluarkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi pada tahun 2005, maka dari luas ini,telah diremajakan sebesar 13,86%, dengan sumber dana APBD Provinsi[3].Di sisi lain, salah satu upaya untuk meningkatkan perbaikan mutu bahan olah karet rakyat dan sistem pemasaran hasil, Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor I57/KptsfHK.050/2/I993 telah membentuk Proyek Pengembangan Unit Pengolahan Karet Rakyat (PPUPKR) yang tersebar di 6 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Diskursus pasar merupakan variabel fundamental dalam struktur problematika Perkebunan Inti Rakyat (PIR).Dan adalah suatu keniscayaan, bahwa fluktuasi harga sertamekanisme perniagaan menjadi indikator stimulasi simbiosis bagi daya produktivitaspetani. Selain premis tersebut, mekanisme terbentuknya harga dan model pasar merupakan diskursus lainnya yang juga mengganggu kedaulatan kesejahteraan petaniPerkebunan Inti Rakyat (PIR).

Dalam perspektif kesejarahan, entitas petani Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di Provinsi Jambi merupakan kaum transmigran yang semenjak tahun 1975 didatangkan dari pelbagai daerah di pulau Jawa. Program transmigrasi di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Tebo, merupakan proyek perluasan hutan produksi nasional yang difasilitasipihak ketiga, yaitu Perseroan Terbatas Perkebunan (PTP) Nusantara VI.

Di Kecamatan Rimbo Bujang sendiri, pemetaan transmigran sebagai petani agronomisterstruktur ke dalam bentuk unit-unit pedesaan. Adapun model relasi kontrakkepemilikan lahan (kapling) yangdibangun antara petani transmigran dengan pihak PTP Nusantara VI identik dengan ijarah muntahiya bittamlik. Sementara dalam relasi perniagaan produksi, yang dikembangkan oleh pihak PTP Nusantara VI terhadap petanilebih berupa jual-beli terikat (ba’y al-muqayyad). Mekanisme jual-beli ini tidak terlepas dari aspek pembiayaan administratif transmigrasi antara PTP Nusantara VI dengan pihak pemerintah. Dimana pada nilai lunas setoran produksi petaniyang tercatatTempat Pengolahan Hasil (TPH), maka para petanitersebut akan memperoleh sertifikat hak milik kapling lahan sesuai pagu pembiayaan transmigrasi.

Fase pertama perdagangan karet di kalangan petani transmigran sebagaimana premis di atas lebih berupa berbentuk akad musyarakah. Melalui Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibentuk di setiap desa, hasil produksi karet petani diserap untuk diolah oleh PTP Nusantara VI dari unit-unit Tempat Pengolahan Hasil (TPH) yang tersebar berdasarkan sub-Rukun Warga (RW) di setiap desa. Distribusi ini terbilang efektif dan efisien mengingat dalam praktek perniagaannya didukung penuh pihak aparat keamanan, ABRI pada dekade itu. Harga yang diberlakukan adalah harga KUD atas penetapan pihak PTP Nusantara VI.Aktivitas membeli di luar mekanisme KUD dianggap illegal dan akan mendapat tindakan represif dari aparat di tingkat desa (Babinsa). Para pembeli produksi karet petaniillegal yang menjual hasil pembeliannya dari para transmigran kepada pabrik-pabrik milik swastadi luar Provinsi Jambi kemudian dikenal dengan sebutan tengkulak. Mereka menyediakan pinjaman lunak kepada petani dengan angsuran berupa hasil produksi karet dengan selisih harga beli lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga beli KUD, dalam hal ini PTP Nusantara VI. Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh para tengkulak pada akhirnya menyebabkan beralihnya preferensi penjualan hasil produksipetani transmigran kepada mereka. Demikian sejarah paling awal terbentuknya harga dan pasar produksi karetproduksi rakyat di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi.

Fase kedua ditandai dengan hegemoni para pemodal yang berperan sebagai tengkulak. Transisi peta pasar bahan olahan karet (bokar) ini ditegaskan lagi dengan keluarnya PTP Nusantara VI dari sistem pasar bahan olahan karet rakyat. Kondisi ini setidaknya dilatarbelakangi oleh dua perkembangan; pertama, tercapainya break event point atas pembiayaan transmigrasi. Kedua, mulai berproduksinya perkebunan karet milik PTP Nusantara VI sehingga tercukupinya bahan olahan karet tanpa tergantung lagi terhadap Hasil Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Dalam perspektif kinerja dan besaran modal, tengkulak sendiri di bagi ke dalam dua katagori. Pertama, tengkulak besar pemegang hak delivery order (DO) sebagai distributor sekaligus pemegang saham pada pabrik-pabrik milik swasta. Kedua, tengkulak kecil dalam skala pedesaan yang melakukan pengepulan dan pembelian langsung ke masyarakat untuk didistribusikan ke pabrik-pabrik dengan lisensi tengkulak pemegang delivery order (DO). Tengkulak kecil selama ini mendapatkan modalnyadari tengkulak besar untuk disebarkan kepada petani. Sementara, rata-rata untuk mendapatkan izin delivery order (DO), seorang tengkulak besar setidaknya harus menginvestasikan saham pada pabrik pengolahan karet sebesar lima milyar rupiah.

Di ranah praksis, secara umum mekanisme perdagangan yang dikembangkan oleh kalangan tengkulak adalah dengan terlebih dahulu menyebarkan hutang tanpa agunan kepada petanidengan pembayaran diangsur melalui hasil produksi, yaitu karet. Di sini, petani sendiri tidak pernah mengetahui harga karet yang sebenarnya. Dalam proses penimbangan hingga pembayaran, penetapan harga harga beli produksi karet perkilogramnya merupakan hak preogratif tengkulak.Petani telah kehilangan hak tawarnya akibat hutangnya kepada tengkulak. Demikianlah harga dasar terbentuk di tingkat dasar petani karet pada fase kedua ini. Selain matinya daya tawar petani, pengurangan bobot timbangan secara sepihak, penggunaan timbangan yang tidak terstandarisasi sering menimbulkan konflik antara petani dengan buruh tengkulak.

Dalam perspektif politik ekonomi, hegemoni tengkulak pada perkembangan berikutnya semakin kuat. Hal ini ditandai dengan keterlibatan tengkulak besar sebagai sponsor sejumlah legislator yang memainkan peranan regulatif guna ‘melindungi’ tengkulak di parlemen dan pemerintahan. Fase ini merupakan puncak ironi petani karet yang menempatkan posisi mereka pada titik nadir, seiring denganbubarnya satu demi satu Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh pedesaan.

Fase ketiga,pada perkembangan berikutnya dengan mengemukanya gejala baru dalam sistem perdagangan bahan olahan karet (bokar) rakyat yang ditandai dengan mentasnya sejumlah petani dalam wilayah tertentu dari jeratan hutang tengkulak. Namun jumlahnya masih terbilang kecil. Sejumlah petani karet ini kemudian saling terkoneksi dan membentuk semacam kelompok petani penjual dan menyelenggarakan mekanisme lelang hasil produksi kelompok mereka kepada sejumlah tengkulak serta menjualnya pada penawaran harga tertinggi. Fase ini masih terbilang baru, berjalan di bawah tiga tahun belakangan. Dan sejauh pengamatan tim pendampingan, segmen dan pergerakan ini belum ada peneliti dan mendapatkan pendampingan dari pihak manapun selama ini.



[1] Permana Sujaya,Perencanaan Pengembangan Organisasi Petani di Bidang Usaha Perkebunan Karet Rakyat, (Bandung: Institut Perpetanian Bogor, Thesis,1998), Hal. 23.
[2]Kuswanto dkk, Analisis Sosial Ekonomi Penduduk Eks Transmigrasi di Desa Terantang Baru Kecamatan Batin XXIV Kabupaten Batanghari, (Jambi: Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, Vol. 11 No. 2, 2009), Hal. 39.
[3]Rasudin Sihotang, Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat Provinsi Jambi Melalui Peremajaan Tanaman (Pengkajian Pelaksanaan Kegiatan Peremajaan APBD Provinsi), (Jambi: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi, 2009), Hal. 29.

Comments

Popular posts from this blog