Skip to main content

Hukum Memberitakan Kematian dalam Islam


Beberapa saat yang lalu dunia maya dikacaukan dengan ceramah syubhat salah seorang propagandais sekte Wahabiyyah, Khalid Basalamah. Dalam siaran kajiannya ia secara serampangan berfatwa tentang keharaman atas pemberitaan kematian seseorang. Siaran tersebut lantas disebarkan oleh para penganut sekte Wahabi dalam sejumlah platform media sosial. Tentu, hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan dan kekacauan akidah bagi umat Islam di Indonesia.

Jika ditelaah, kerancuan berpikir sekte Wahabi dimulai dengan propaganda "Kembali Kepada Al-Qur'an dan Sunnah". Alih-alim menipu ummat Islam dengan ajakan pemurnian agama, sekte ini justru terjebak pada kebodohan dan pemikiran yang liberal. Padahal Ulama selama ini sudah mengingatkan, bahwa yang haq adalah "Berangkat dari Al-Qur'an dan Sunnah". 

Ya, jika kita tidak pernah pergi, mengapa harus kembali? Untuk suatu isu ajaran, para ulama menghadirkan banyak dalil akan ajaran tersebut. Bukan justru memilih salah satu dalil ayat atau hadits, dan menyingkirkan dalil shahih lainnya yang dipandang tidak disukai. Termasuk dalam konteks pembahasan memberitakan kematian misalnya. Mari kita bahas.

Dalam kaidah syariat, memberitakan kematian disebut Al-Na'yu. Istilah Jawanya, lelayu. Dalam sejumlah situs sekte Wahabi, mereka menukil sejumlah hadits yang dipahami secara kaku. Di antara hadits-hadits tersebut antara lain dari riwayat Imam At-Tirmidzi nomor 986, Imam Ibnu Majah nomor 1476, Imam Ahmad nomor 23502. 

Dan lagi-lagi, hadits ini diklaim telah disahihkan oleh Albani. Siapa itu Albani, mekanik jam yang tidak jelas riwayat guru dan keilmuannya, yang berani-berani mentashih para imam hadits dan kibarul ulama hadits di sepanjang zaman. Semangat kembali kepada hadits tanpa dibekali pemahaman ulama yang relevan kiranya yang terus diikuti para propagandais Wahabi seperti Khalid Basalamah. Sebuah pandangan yang rancu, membingungkan dan sarat syubhat.





Comments

Popular posts from this blog