Skip to main content

Tarikat dan Pesantren Mengawal Eksistensi Islam Nusantara

Oleh: K Ng H Agus Sunyoto*)

Semenjak kekuatan kolonial Eropa menginjakkan kaki ke wilayah Nusantara pada awal abad ke- 16 hingga pertengahan  abad ke-20, hubungan antara penduduk pribumi muslim yang berbasis di pesantren dengan bangsa Eropa (Portugis-Belanda-Inggris) dapat dikata  nyaris tidak terjembatani. Sejarah mencatat bagaimana raja-raja muslim yang didukung guru tarikat dan ulama dari pesantren menyerang kedudukan bangsa Portugis, Belanda dan Inggris yang datang dari Eropa untuk melakukan penjajahan di Nusantara,  dan di tingkat desa, guru tarikat dan ulama dari pesantren bersama masyarakat sekitar tidak pernah berhenti melakukan perlawanan terhadap para penjajah yang mereka sebut ‘kafir’.
Sejarah mencatat,  Adipati Unus penguasa Demak kedua, misal, dengan dukungan ulama Wali Songo generasi kedua  telah  menyerang bandar Malaka pada tahun 1511 Masehi, tidak sampai setahun setelah bandar itu dikuasai Portugis;  Fadhilah Khan atau Fatahillah, menantu Sunan Gunung Jati,  memimpin pasukan gabungan Demak dan Cirebon, menyerang dan menghancurkan  armada Portugis yang dipimpin Francisco de Sa di Sunda Kalapa pada 1522;  Sultan Ba’abullah menyerang benteng Portugis di Ternate dan menghalau Portugis dari Ternate  pada 1575;  Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Mataram menyerang VOC di Batavia pada 1626 dan 1629; Sultan Ageng Tirtayasa didukung Syekh Yusuf Makassari mengangkat senjata melawan VOC yang mencampuri urusan suksesi Kesultanan Banten pada 1656-1658; Sultan Hasanuddin raja Gowa mengangkat senjata  melawan  VOC pada 1660-1665; Trunojoyo yang didukung ulama asal Kajoran, Panembahan Rama, dan juga Panembahan Giri, melakukan perlawanan terhadap Amangkurat II yang didukung VOC pada 1670-1674; meletus perang besar rakyat Banten yang dipimpin Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa melawan VOC pada 1750-1753; rakyat Madiun yang dipimpin  Raden Ronggo Prawirodirdjo memberontak melawan Belanda pada 1809-1810; perlawanan Pattimura terhadap VOC di Saparua pada 1817; Pangeran Diponegoro yang didukung ulama dari berbagai pesantren dan penganut tarikat menyulut perlawanan rakyat Jawa terhadap Belanda pada 1825-1830; para ulama Padri dan penghulu adat  yang melawan kolonial Belanda dalam  Padri Oorlogen di Sumatera Barat 1821-1837; perlawanan penduduk Banjar yang dipimpin Pangeran Antasari didukung para ulama Kalimantan Selatan melawan Belanda pada  1859-1860;  perlawanan rakyat Aceh  terhadap Belanda pada 1873-1903; perlawanan para petani yang dipimpin guru-guru tarikat dalam pemberontakan Banten pada 1888;  dan sederetan perlawanan dalam skala yang lebih kecil terhadap “kafir” Belanda yang sambung-menyambung dari waktu ke waktu sampai kekuasaan Belanda berakhir tahun 1942, hampir  selalu ditandai keterlibatan Guru Tarikat dan   ulama dari pesantren sebagaimana tercatat dalam Coloniaal Archive 1800-1942.

            Sejarah mencatat bahwa selama abad ke-19 hingga awal abad ke-20 – terutama pasca Perang Diponegoro 1830 -- berbagai tempat di Hindia Belanda terutama di daerah pedesaan terus-menerus diguncang perlawanan, kerusuhan,  kegaduhan, keberandalan, yang mengguncangkan masyarakat dan pemerintah kolonial. Boleh dikata hampir setiap tahun di salah satu daerah terjadi pergolakan dan kerusuhan yang sering diwujudkan sebagai tindakan-tindakan yang bersifat agresif  dan  radikal, sehingga pergolakan itu bisa disebut endemis sifatnya. Sikap rakyat dalam mengambil bagian dalam gerakan-gerakan yang sangat radikal itu karena digerakkan oleh harapan-harapan yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran mesianistis atau milenaristis dan juga pandangan-pandangan eskatologi yang bersifat revolusioner. E de Wall yang mencatat pemberontakan-pemberontakan yang besar  yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 1840 – 1875 mendapati fakta  hampir setiap tahun – kecuali tahun 1844, 1847, 1860, 1863, 1871, dan 1874 yang tidak terjadi pemberontakan, di mana daftar yang dibuat de Wall itu terbukti kurang lengkap karena tahun 1844 terjadi pemberontakan di Klaten, 1865 pecah pemberontakan di Cirebon, Tegal, Jogjakarta, dan Kedu, tahun 1872 pemberontakan di Pekalongan (Kartodirdjo, 1984).
Rangkaian panjang perlawanan umat Islam yang dipimpin para ulama pesantren  dan guru tarikat serta penguasa muslim, yang sering didasari semangat mesianis itulah yang kiranya menjadikan pemerintah kolonial Belanda bersikap ambivalen, yaitu sikap  yang dibentuk oleh kombinasi kontradiksi antara rasa takut dan harapan yang berlebihan (Benda, 1972:83) di mana pemerintah kolonial dalam konteks kolonialismenya menetapkan kebijakan untuk tidak  mencampuri urusan agama pribumi. Kebijakan pemerintah kolonial untuk tidak mencampuri masalah agama pribumi karena rasa takut terjadinya salah faham yang gampang menyulut perselisihan dan bahkan perang di kalangan penduduk muslim itu, terlihat juga dalam Surat Keputusan Raja Belanda tertanggal 4 Februari 1859 No.78 yang memberikan instruksi rahasia kepada Gubernur Jenderal  Hindia Belanda yang berbunyi: “Gubernur Jenderal yang memegang prinsip bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan agama, boleh mencampurinya bila dipandang perlu untuk memelihara rust en orde.” Sedang ayat 80 berbunyi: “Gubernur Jenderal harus mengawasi dengan teliti tingkah laku para ulama, dan harus menjaga agar guru atau zending Kristen tidak mengganggu mereka.” (archive Universiteits bibliotheek no.1803, A21, Leiden).
Salah satu di antara perlawanan pribumi yang dipimpin seorang ulama guru tarikat yang juga aristokrat Jawa yang sangat menyulitkan kolonial Belanda adalah sewaktu pecah Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, di mana dalam peperangan itu yang terlibat bukan hanya para ulama dari kalangan pesantren dan penganut tarikat, melainkan melibatkan pula para bangsawan dari keraton-keraton Jawa, Bugis, Bali, etnis keturunan Cina, India, penduduk desa, bahkan para sayyid dari Arabia (Carey, 2012). Para bangsawan Jogjakarta, Surakarta dan Mangkunegaran yang selalu berselisih selama seabad lebih, sebagian malah bisa dipersatukan sebagai kekuatan “trah Mataram” keturunan Sultan Agung dalam melawan Belanda yang ditandai keterlibatan sebagian mereka di dalam Perang Jawa.
            Ditinjau dari satu sisi, lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dianggap sebagai kemunculan konsep asimilatif pembentukan negara tradisional dalam konteks yang lebih luas cakupannya, baik dari aspek kewilayahan maupun komunitas penghuni wilayah dan konsep-konsep baru bagi tegaknya negara. Pertama, prasyarat keberadaan seorang ratu sudah terwakili dengan kemunculan tokoh Soekarno yang diliputi kisah-kisah mistis tentang putera Sang Fajar yang diberi sebutan Paduka Yang Mulia. Kedua, keberadaan pusaka muncul dalam bentuk Pancasila dan UUD 1945 di mana keberadaan dasar negara tersebut tidak sekedar dilihat sebagai konstitusi oleh sebagian besar rakyat Indonesia, melainkan lebih dilihat sebagai sesuatu yang bersifat keramat. Ketiga, produk hukum berupa KUHP yang berasal dari HIR ditegakkan dengan konsekuen pada awal-awal berdirinya NKRI. Keempat, terdapat dukungan para ulama tarikat terhadap NKRI terlihat sejak awal perintisan kemerdekaan sampai sampai perjuangan mempertahankan NKRI dari rongrongan kolonial dan gerakan separatis.

Umat Islam  dan Sejarah Kemiliteran
Sejak Jepang berkuasa di Indonesia, terjadi perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan rakyat Indonesia terutama dalam kaitan dengan pengembangan doktrin kemiliteran. Fakta sejarah mencatat bahwa pemerintah militer Jepang di Indonesia telah menciptakan satuan-satuan militer dan para militer berskala nasional yang terdiri dari pribumi-pribumi Indonesia, termasuk di dalamnya komunitas muslim dari  pesantren.
Pada 29 Maret 1942 – dua minggu setelah Jepang berkuasa – dibentuklah Barisan Pemuda yang terdiri atas Barisan Seinendan (usia 14 – 22 tahun) dengan jumlah 5.000.000 orang dan Barisan Keibodan (usia 23 – 33 tahun) dengan jumlah 500.00 orang. Kedua barisan ini diberi pelajaran baris-berbaris dan latihan perang-perangan (kyoren). Murid-murid sekolah pun diorganisasi ke dalam barisan pelajar sekolah menengah (Gakkotonari) yang terdiri dari Chugakko (untuk siswa SLTP) dan Daigakko (untuk siswa SLTA). Sedang untuk mahasiswa dibentuk Himpunan Mahasiswa yang disebut Gakkutai. Mereka semua  diberi pelajaran kyoren.
Pada 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan Jepang mengeluarkan Osamu Osirei No.44 tentang pembentukan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang terdiri atas 60 batalyon di Jawa dan Bali. Sebagian di antara komandan  batalyon PETA dengan pangkat Daidancho (Mayor) adalah para kiai dari komunitas pesantren, yang dewasa itu akrab dengan amaliah tarikat. Itu terlihat saat latihan pertama dimulai pada 5 Oktober 1943, terdapat nama: KH. Tubagus Achmad Chatib (Daidancho Labuan – Banten),  K E. Oyong Ternaya (Daidancho Malingping Banten), KH Sjam’oen (Daidancho Cilegon – Banten), KH R.M. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Manahan – Surakarta),  KH  Idris (Daidancho Wonogiri - Surakarta), KH R. Abdoellah bin Noeh (Daidancho Jampang Kulon – Bogor), KH M. Basoeni (Daidancho Pelabuhan Ratu – Bogor), KH Soetalaksana (Daidancho Tasikmalaya – Priangan), KH Pardjaman (Daidancho Pangandaran – Priangan), KH Hamid (Kastaf Yon II Pangandaran – Priangan), KH R. Aroedji Kartawinata (Daidancho Cimahi – Priangan), KH Masjkoer (Daidancho Bojonegoro),  KH Cholik Hasjim (Daidancho Gresik-Surabaya), KH Iskandar Sulaiman (Daidancho Malang), KH Doerjatman (Daidancho Tegal),  KH R.  Amien Djakfar (Daidancho Pamekasan -Madura), KH Abdoel Chamid Moedhari (Daidancho III Ambunten-Sumenep), KH Idris (Daidancho Wonogiri), K. Moeljadi Djojomartono (Daidancho Surakarta). Akibat cukup banyak kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka  “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”
Pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), KH Mawardi (Solo), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Mursyid (Pacitan), KH Syahid (Kediri), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Thohir Dasuki (Surakarta), KH Roji’un (Jakarta), KH Munasir Ali (Mojokerto),  KH Abdullah, KH Wahib Wahab (Jombang), KH Hasyim Latif (Surabaya), KH Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dsb.
Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudi, dan pimpinan Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakan pendidikan dan latihan bagi bintara selama satu bulan dengan pusat latihan di Desa Awu-awu, Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945.
Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat,  Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho),  dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki (Hayat,dkk, 1995). Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Karena itu, saat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, tetapi tidak memiliki tentara, dan  kemudian saat dibentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), berbondong-bondonglah mereka untuk mendaftarkan diri bersama dengan mantan anggota Heiho (orang Indonesia yang menjadi tentara reguler Jepang), KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger –  pribumi yang jadi  Angkatan Darat Hindia Belanda) dan masyarakat. 
Sejak awal dibentuknya BKR yang kemudian menjadi TKR dan TNI, para kyai dan tokoh-tokoh pesantren yang terdidik di   kesatuan PETA dan Hizbullah dan Sabilillah memiliki peran vital dalam pembentukan barisan-barisan dalam kemiliteran setingkat batalyon. Dalam sejarah pembentukan TNI, mereka yang tercatat sebagai komandan batalyon yang berasal dari  kesatuan PETA, Hizbullah dan Sabilillah   dewasa itu adalah:
KH Kholiq Hasyim, KH Amien Djakfar, KH Abdoel Chamid, KH Iskandar Idris, KH Joenoes Anis, K. Basoeni, K. Doerjatman, K. Abdoellah bin Noeh, KH  K. Ternaya, KH. Idris, KH. Moeljadi Djojomartono, K. Sjam’oen,  KH Iskandar Sulaiman, KH Zarkasi, KH Mursyid, KH Syahid, KH Abdullah,  KH Zainudin, Sulthan Fajar,  KH Masykoer, KH Bisri Sjansoeri, KH Zainal Arifin, KH Moenasir Ali, KH Wahib Wahab, KH Jasin, KH Mansjoer Sholichy, KH Achjat Chalimi, KH Hasjim Latif, KH Anwar Zen, KH Hasan Sjaifurrizal, KH Zaini Moen’im, KH Djoenaidi, KH Asnawi Hadisiswoyo,     KH R. Salimoelhadi, KH Bolkin,  K. Mahfudz, K. P. Hadisoenarto,  KH Abdoel Moeslim,  KH Moeslim, KH Dimjati Moeid, K. Moeslich, K. Ridwan, K. Imam Nawawi, K. Zaeni, K H. Soedjak, K. Asfani, K. Abdoel Syoekoer, K.Djarkasi, dsb.
Fenomena militerisme di lingkungan umat Islam tradisional di  pesantren tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi yang didirikan orang-orang berlatar pendidikan pesantren. Jauh sebelum organisasi Nahdlatul Ulama diproklamasikan pada tahun 1926, telah lahir lebih dulu organisasi kepemudaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Organisasi  yang didirikan KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansyur itu bergerak di bidang sosial, pendidikan dan dakwah (Soebagijo, 1982:21). Tahun 1918 KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, HOS Tjokroaminoto, KH A. Dahlan Ahyad, dan P. Mangun membentuk organisasi Taswirul Afkar (Pertukaran Pikiran). Organisasi ini bagian dari perkumpulan Suryo Sumirat dan sejak didirikan 1918 papan nama Taswirul Afkar ditulis “Suryo Soemirat Afdeeling Taswirul Afkar.”
Tahun 1924 organisasi pemuda itu pecah karena KH Mas Mansyur masuk Muhammadiyah. KH Wahab Hasbullah kemudian membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang tetap memegang prinsip kebangsaan dan memegang nilai-nilai tradisi yang baik. Syubbanul Wathan ini kemudian membentuk organisasi kepanduan Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air). Demikianlah, sejak tahun 1924 kalangan muslim  tradisional berlatar pesantren sudah memiliki organisasi kepemudaan dan kepanduan (Dhofir, 1982).
Sejak organisasi NU dideklarasikan 31 Januari 1926, banyak pengurus Syubbanul Wathan dan Ahlul Wathan yang menjadi pengurus. Karena itu, pada tahun 1930-an kedua organisasi itu meleburkan diri menjadi Nahdlatul Syubban (Kebangkitan Pemuda). Tahun 1931, dibentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU) dan pada 14 Desember 1932 nama itu diubah jadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Namun atas saran KH Wahab Hasbullah, nama itu diganti menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang mengacu pada keteladanan kalangan Ansor di Madinah yang menjadi pembela utama Nabi Muhammad Saw  (Anam, 1990). Dalam kongres II ANO yang berlangsung di Malang pada 21-24 Maret 1937, dibentuklah Barisan Ansor Nahdlatoel Oelama (BANOE) yang kelak disebut Barisan Ansor Serbaguna (BANSER). Berdasar petunjuk KH Hasyim Asy’ari berdasar kaidah umum dalam Islam, maka pelajaran yang diberikan di organisasi BANOE meliputi baris-berbaris, lompat dan lari, angkat besi, tali-temali, morse, mendirikan kemah, PPPK, pacuan kuda, melempar lembing (Keputusan Muktamar NU ke-13 di Menes, Banten pada tahun 1938).
Bertolak dari latar pembentukan BANOE inilah, saat pemerintah pendudukan Jepang membentuk PETA dan Hizbullah, kader-kader dari pesantren yang aktif di organisasi NU terutama dari BANOE dengan antusias menyambutnya. Bahkan dari kader-kader BANOE yang sudah memperoleh didikan militer modern dari tentara Jepang itu, beramai-ramai memasuki Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk pemerintah RI. Bahkan saat BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI), kader-kader BANOE baik yang aktif di PETA maupun Hzbullah dan Sabilillah  dan sejumlah tokoh kiai NU menduduki posisi strategi dengan pangkat tinggi. Selama masa revolusi kemerdekaan (1945-1948) tercatat sejumlah perwira TNI berlatar pesantren yang berasal dari organisasi NU dan BANOE seperti Mayor KH Iskandar Sulaiman (Wakil Komandan Brigade Narotama, Malang), Mayor KH Munasir Ali (Komandan Batalyon Condromowo, Jombang),  Sulthan Fajar (Komandan Resimen Mujahidin dari Brigade 13 Divisi VII Karesidenan Besuki), Mayor KH Mahfudz (Komandan Batalyon 508 Kodam Brawijaya), KH Zainul Arifin (Komandan Tertinggi Divisi Barisan Hizbullah), Letkol K. M. Munawar (Komandan Resimen Hizbullah pada Divisi Sunan Bonang Surakarta, kelak jadi Resimen 6 Brigade 24),  Letkol KH Iskandar Idris (Komandan Brigade Nusantara di Pekalongan), Mayor Ahmad Bakri (Komandan Batalyon 18), Mayor A. Gafar Ismail (Komandan batalyon 19), Brigjen KH Sulam Syamsun, Mayor Hamid Rusdi,  Brigjen KH M. Rowi, Kol. Zein Thayib, Kapten  KH Yusuf Hasyim, dsb.
Ketika pecah pertempuran 10 November 1945, yang ditandai lahirnya Resolusi Jihad yang diawali dari seruan KH Hasyim Asy’ari  pada 22 Oktober 1945, yang membuktikan peranan umat Islam tidak bisa dikesampingkan. Berbekal doa, ajimat, wifik, dan amalan-amalan mistis tertentu, sejarah mencatat bagaimana kalangan muslim tradisional Indonesia terpacu untuk melawan pasukan Inggris dengan senjata sangat sederhana. Bahkan sejarah mencatat bagaimana dalam proses pembentukan TNI yang dimulai dengan pembentukan BKR, yang berkembang menjadi TKR dan berkembang lagi menjadi TRI hingga TNI tidak lepas dari anasir paramiliter PETA, Hisbullah dan elemen pejuang Sabilillah  yang tidak pernah terlepas dari peranan guru tarikat dan ulama pesantren.


Marjinalisasi Tarekat dan Pesantren
Fenomena penduduk pribumi bersekolah terjadi  sewaktu  pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan Politik Etis pada 1900, di mana anak-anak pribumi dididik di lembaga sekolah yang ditegakkan di atas dasar filsafat positivisme. Sekolah untuk pribumi  seperti Holland Inlands School (HIS),  Meer Uitgebreid Lager School (MULO), Hoogere Burger School (HBS), Algemeene Middlebare School (AMS), School Tot Opleiding vor Inlandsche Artsen (STOVIA) menjadi alternatif pilihan bagi anak-anak pribumi  untuk menuntut ilmu.  Keberadaan lembaga sekolah pemerintah itu diikuti oleh lembaga-lembaga sekolah yang dibuka organisasi-organisasi seperti Budi Utomo dan Taman Siswa – terutama organisasi PKI dengan konsep Sekolah Rakyat (SR) –  menjadikan sistem persekolahan  menjadi pilihan bagi  masyarakat untuk menjadi manusia  ‘modern’ dan memperoleh lapangan pekerjaan dari pemerintah kolonial.
Karena latar filosofis sekolah adalah positivisme, maka orang-orang yang terproses dalam pendidikan sekolah memandang rendah keberadaan pesantren yang berlatar agama. Itu sebabnya, ketika para lulusan sekolah menduduki jabatan di pemerintahan RI, terjadi usaha-usaha memarjinalisasi orang-orang berlatar pesantren dari struktur pemerintahan. Hal itu terbukti saat Drs Moch. Hatta menjadi Perdana Menteri RI tahun 1948, salah seorang menteri kabinetnya, Budiardjo,  merancang usaha sistematis untuk memarjinalisasi keberadaan para elit di pemerintahan dan militer yang berasal dari pesantren.  Kebijakan itu dikenal sebagai Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Rera), yang awal sekali diterapkan di lingkungan TNI dengan alasan menjadikan militer profesional. Ukuran yang dijadikan parameter dalam Restrukturisasi dan Rasionalisasi itu, oleh Budiardjo, ditetapkan ijazah sekolah. Maksudnya, professional dan tidaknya seseorang dalam kemiliteran harus dibuktikan secara  kongkret dengan ijazah sekolah.
Sejarah pembentukan TNI, adalah bukti tak tersanggah tentang kemampuan kader-kader bangsa berlatar pendidikan pesantren dalam menyerap konsep kemiliteran modern yang profesional sebagaimana  diajarkan tentara pendudukan Jepang. Tetapi dengan kebijakan Moch. Hatta dalam Rera, keberadaan pesantren yang berlatar agama  sama sekali direndahkan sebagai lambang keterbelakangan dunia pendidikan. Akibatnya, para kyai dan tokoh berlatar pesantren yang tidak memiliki ijazah sekolah tetapi  menduduki jabatan penting di TNI beramai-ramai diturunkan kepangkatannya. Tidak hanya di TNI, di lingkungan pemerintahan pun, kebijakan Moch. Hatta yang memprioritaskan lulusan sekolah menjadi parameter utama dalam penentuan rekruitmen dan profesionalisme birokrasi.
Kebijakan sepihak pemerintahan Moch. Hatta inilah yang menjadi salah satu pemicu lahirnya kekecewaan sebagian perwira TNI berlatar pesantren. Ironisnya, kekecewaan itu justru diletuskan dalam bentuk gerakan makar DI/TII yang berlatar pendidikan sekolah formal seperti Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Kahar Muzakkar, Daud Beureuh yang diikuti sebagian kecil militer berlatar pesantren. Peristiwa-peristiwa tragis yang menimpa tokoh-tokoh militer berlatar pesantren sebagaimana ditulis Pinardi (1964) dan Cornelijs Van Dijk (1983), sejatinya bermula dari kebijakan Moch. Hatta dalam Rera yang disikapi secara reaktif oleh tokoh-tokoh militer berlatar sekolah formal.
Sejarah negara-bangsa Indonesia – terutama sejarah pembentukan TNI yang ditulis oleh orang-orang berlatar sekolah – menafikan seluruh peranan umat Islam yang berasal dari pesantren dan kalangan tarekat. Bahkan dalam penyusunan sejarah PETA yang dilakukan Nugroho Notosusanto, sedikit pun keberadaan para kyai tidak disinggung sehingga mengingkari keberadaan PETA sebagai tentara berlatar Islam dengan lambang bendera bulan-bintang.  Sehingga dalam kurikulum sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, tidak sedikit pun peranan tokoh-tokoh militer berlatar pesantren disinggung dalam proses kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat sekarang ini, kebijaksanaan Moch. Hatta yang memprioritaskan lulusan sekolah dalam rekruitmen dan  kepangkatan  serta profesionalisasi pegawai pemerintah dan militer, tetap dijadikan satu-satunya parameter. Pesantren telah dimarjinalkan sebagai lembaga pendidikan tradisional yang distigmatisasi sebagai lambang keterbelakangan.   
Sekalipun aspirasi kalangan muslim tradisional terpinggirkan dari lingkaran kekuasaan politis, namun dukungan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap dilakukan oleh kalangan umat Islam tradisional, termasuk para pengamal tarikat. Hal itu setidaknya terlihat dari keterlibatan kalangan muslim tradisional dalam usaha penumpasan gerakan makar yang dilakukan DI/TII, PRRI/Permesta maupun PKI. Sepanjang sejarah tegaknya NKRI, belum pernah tercatat ada gerakan umat Islam tradisional  yang melakukan gerakan makar. Bahkan saat ditetapkan Pancasila sebagai azas tunggal dalam bernegara dan bermasyarakat, kalangan muslim tradisional maju ke garda terdepan dan menyatakan bahwa NKRI dengan falsafah Pancasila adalah bentuk final negara yang diidealkan umat Islam Indonesia, di mana hal tersebut dibuktikan dengan gerakan-gerakan riil menolak usaha-usaha kalangan muslim modernis dan fundamental yang berfaham Wahabi yang menghendaki diberlakukannya Syariat Islam ala Wahabi di Indonesia.

Daftar Kepustakaan
Abdullah, T., Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.
Abdul Aziz, M., Japan Colonialism and Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1955
Anam, C., Gerak Langkah Pemuda Ansor: Sebuah Percikan Sejarah Kelahiran,  Surabaya: Majalah
Aula, 1990.
Anderson, B. RO’G, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistence 1944-1946,  Ithaca: Cornell
University Press, 1972.
Appelbaum, R.P., Theories of Social Change, Chicago: Markham Publishing, 1970.
           Arifin, Imron., Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Kalimasahada Press, 1993.
Baudrillard, J., In The Shadow of the Silent Majorities, New York: Semiotext (e), 1983.
           Benda, H.  J., The Crescent an the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945, The Hague: Van Hoeve, 1958. 
            __________, Japanese Military Administration in Indonesia, Connecticut: Yale University Press, 1965.
Bhabha, H., „Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse“ dalam Frederick Cooper and Ann Laura Stoler (eds.), Tensions of Empire: Colonial Cultures in a Bourgeois World, Berkeley: University of California Press, 1997.
Chomsky, N., Hegemony or Survival: America’s Quest for Global Dominance, Crows Nest  New South Wales: Allen & Unwin, 2004
           Dhofier, Zamakhsari., Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
           Gibb, H.A.R. (ed.)., Whiter Islam: A Survey of  Modern Movement in the Moslem, London: Victor Gollancs, 1932.
Hayat, S., dkk, Peranan Ulama Dalam Perjuangan Kemerdekaan, Surabaya: PWNU Jatim, 1995.
           Koloniaal Archive : - Arsip Kementrian Jajahan Negeri Belanda.
Notosusanto, N., The PETA-army in Indonesia 1943-1945, Jakarta : Departement of  Defence and Security Centre for Armed Forces History.
           Pinardi, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, Djakarta: Aryaguna, 1964.
           Raliby, O., Documenta Historica: Sedjarah dokumenter dari pertumbuhan dan perdjuangan  negara Republik Indonesia. Djakarta: Bulan-bintang. 1953.
Ritzer, G., Sociological Theory, New York: McGraw Hill Company, 1996.
           Soewito, Irna H.N.H., Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, 4 jilid, Jakarta: PT Grasindo. 1994.
Soros, G., On Soros : Staying Ahead of The Curve, New York: John Willey & Sons, 1995.
Sunyoto, A., Ajaran Tasauf dan pembinaan sikap hidup santri Pesantren Nurul Haq Surabaya: Studi Kasus. (Tesis tidak dipublikasi). Malang: FPS IKIP, 1990.

*) –Disampaikan pada Pendidikan Kader Penggerak NU Angkatan VIII di Rengasdengklok, 20-27 November 2013
     - Pengasuh Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin, Malang, Jawa Timur
     - Pengajar pada Jurusan Sastra Inggris-Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang
     - Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU 2010 - 2014

Sumber: Word Online

Comments

Popular posts from this blog