[Mahasiswa STAIN Purwokerto 2011]
PENDAHULUAN
Ekonomi makro merupakan teori ekonomi
yang membahas masalah kebijakan yang diambil pemerintah sebagai solusi untuk
mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh praktek dari teori ekonomi mikro. Sebenarnya
dalam definisi baru dari ekonomi makro tersebut juga kurang tepat, sebab solusi
yang diberikan menurut pembahasan dalam ekonomi makro tidak pernah
menyentuh sumber penyakitnya atau sumber permasalahannya. Sehingga bila
diibaratkan, seperti seorang dokter yang memberi resep obat penyakit jantung,
padahal penyakit yang diderita pasiennya adalah penyakit flu. Jelas tidak
mungkin sembuh.
Selain
itu tujuan utama dari setiap kebijakan moneter yang berhasil adalah yang
dipusatkan kearah tercapainya stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan
kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang
seimbang. Dalam sistem moneter Islam, target-target tersebut hanya dapat
tercapai melalui instrumen-instrumen moneter yang konsisten dengan
ajaran-ajaran Islam. Oleh
sebab itu maka disini penulis akan membahas mengenai Instrumen Makro Ekonomi
Menurut Konsep Islam yang meliputi pengertian kebijakan ekonomi moneter dan
kebijakan fiskal, Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter dalam Konvensional
dan Syari’ah dan Prilaku Ekonomi yang
Diharapkan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal
Kebijakan Moneter (Monetary Policy) adalah
suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan
sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam
perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan
inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan
menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi
Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Suatu cara mengendalikan uang yang beredar
dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities).
Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga
pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka
pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat
berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari
Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar
Uang.
2. Fasilitas
Diskonto (Discount Rate)
Pengaturan jumlah duit yang beredar dengan
memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang
mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk
membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank
sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang
beredar berkurang.
3. Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Mengatur jumlah uang yang beredar dengan
memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah.
Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan
Moral (Moral Persuasion)
Kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang
beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti
menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan
kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam
uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy) adalah suatu
kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi
lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang
beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan
belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak
jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi.
Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan
industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak
akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara
umum.[1]
B. Instrumen-instrumen
Kebijakan Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan
uang sebuah Negara. Biasanya otoritas moneter dipegang oleh Bank Sentral suatu
negara. Dengan kata lain, kebijakan moneter merupakan instrumen Bank Sentral
yang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi variable-variabel
finansial seperti suku bunga dan tingkat penawaran uang. Sasaran
yang ingin dicapai adalah memelihara kestabilan nilai uang baik terhadap faktor
internal maupun eksternal. Stabilitas nilai uang mencerminkan stabilitas harga
yang pada akhirnya akan mempengaruhi realisasi pencapaian tujuan pembangunan
suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi,
perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi riil yang optimum dan
stabilitas ekonomi.
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi
yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang
tidak terlepas dari tujuan
ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia.Hal ini disebutkan AL Qur’an dalam
QS.Al.An’am:152.
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra
(Al Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka
kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya
haruslah menjamin bahwa pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan
cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk
menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum.
Pelaksanaan
kebijakan moneter (operasi moneter) yang
dilakukan otoritas moneter sebagai pemegang kendali money supply
untuk mencapai tujuan kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan target yang
akan dicapai dan dengan instrumen apa target tersebut akan dicapai. Instrumen-instrumen pokok
dari kebijakan moneter dalam teori konvensional antara lain adalah:
1.
Kebijakan
Pasar terbuka
(Open Market Operation). Kebijakan
membeli atau menjual surat berharga atau obligasi di pasar terbuka. Jika bank
sentral ingin menambah suplai uang maka bank sentral akan membeli obligasi, dan
sebaliknya bila akan menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan
menjual obligasi.
2.
Penentuan Cadangan Wajib Minimum (Reserve Requirement). Bank sentral umumnya menentukan angka
rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank (demand
deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila bank sentral
menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yang sama, bank dapat
menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.
3.
Penentuan
Discount Rate. Bank sentral merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau
komersial dan sebagai sumber dana yang terakhir (the last lender resort). Bank
komersial dapat meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di
bawah tingkat suku bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount
rate yang bank sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial mempengaruhi
tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam dari bank
sentral. Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga pinjaman,
maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk meminjam dari bank
sentral.
4.
Moral
Suasion atau Kebijakan Bank Sentral yang bersifat persuasif berupa
himbauan/bujukan moral kepada bank.
himbauan/bujukan moral kepada bank.
Walaupun pencapaian
tujuan akhirnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip,
moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam pemilihan
target dan instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen
tersebut adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai
nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan
dengan target pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan
kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga
sebagai target/sasaran operasionalnya.
Adapun instrumen moneter syariah adalah hukum
syariah. Hampir semua instrumen moneter
pelaksanaan
kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi underlying-nya mengandung
unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open
market operation dengan sekuritas bunga yang
ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan
moneter berbasis Islam. Tetapi
sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar
ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in
monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada
sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount
rate tersebut. Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang
bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter
dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk
meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan
sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah
uang beredar dalam ekonomi.[2]
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen
kebijakan moneter dalam ekonomi Islam, antara lain:
1.
Reserve Ratio
Adalah suatu
presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin
mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen
menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih
sedikit, begitu sebaliknya.
2.
Moral
Suassion
Bank sentral
dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan
depresi. Dampaknya, kredit
dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
3.
Lending Ratio
Dalam ekonomi
Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
4.
Refinance Ratio
Adalah sejumlah
proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance
ratio meningkat, pembiayaan yang diberikan
meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
5.
Profit Sharing
Ratio
Ratio bagi
keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit
sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin
meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan
ditingkatkan.
6.
Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke
bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki
kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government
Investment Certificate.
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka
komersial, disebut sebagai Treasury Bills.
Instrumen
ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada
broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan
pemerintah dengan sistem bebas
bunga, yang disebut GIC: Government
Instrument Certificate.[3]
Saat ini terdapat beberapa bank sentral, baik yang menggunakan
single banking (bank Islam saja) maupun dual banking system yang telah
menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian moneter ataupun menggunakan
surat berharga dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah. Prinsip transaksi syariah
yang digunakan antara lain adalah:
1.
Prinsip Wadiah
Digunakan di Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) dan Malaysia berupa Wadiah Interbank
Acceptance (WIA).
2.
Prinsip
Musyarakah
Negara yang menggunakan mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal
sebagai Government Musharakah Certificate
(GMC) dan Central Bank Musharakah Certificate (CMC).
3.
Prinsip Mudharabah
Negara yang menggunakan adalah Republik Iran dikenal dengan National Participation Paper (NPP), dan Negara
Malaysia dengan Mudharabah Money Market
Operations
4.
Prinsip
Al Ijarah
Instrumen pengendalian moneter yang digunakan antara lain
Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain.[4]
Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain.[4]
C. Prilaku Ekonomi yang Diharapkan
Dalam konsepsi Islam, prilaku
manusia dalam memenuhi kebutuhan seharusnya berpijak pada landasan-landasan
syari’ah. Selain itu, juga mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan dari
fitrah manusia. Dalam ekonomi Islam, keduanya berinteraksi secara harmonis
sehingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan pondasi
nilai-nilai Ilahiyah.
Dari banyak prinsip-prinsip
ekonomi Islam yang disebutkan oleh pakar ekonomi Islam, setidaknya terdapat
empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yaitu:
1.
menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct).
Dari produk, manajemen, proses produksi hingga proses sirkulasi atau distribusi
haruslah dalam kerangka halal. Usaha-usaha tersebut tidak bersentuhan dengan
judi (maisir) dan spekulasi (gharar) atau tindakan-tindakan
lainnya yang dilarang secara syariah. Hal ini juga berlandaskan pada surah
al-Baqarah ayat 72 & 168 serta an-Nisaa ayat 29.. Dalam ekonomi Islam pada dasarnya
aktifitas apapun hukumnya boleh kecuali ada dalil yang melarang aktifitas itu secara
syariah.
2.
Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from
wasteful and luxurius living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan
ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan
memuaskan keinginan (wants). Prinsip ini sejalan dengan panduan
al-Qur’an dalam surah al-A’raf ayat 31-32 & al-Israa ayat 29.
3.
implementasi Zakat (implementation of zakat). Pada
tingkat negara mekanisme zakat yang diharapkan adalah obligatory zakat
system bukan voluntary zakat system.
Disamping itu ada juga
instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak,
shadaqah, wakaf, dan hadiah yang terimplementasi dalam bangunan sosial
masyarakat. Prinsip ini sebagaimana diisyaratkan dalam surah at-Taubah ayat 60
dan 103.
4.
penghapusan/pelarangan Riba atau Bunga (prohibition of
riba), Gharar dan Maisir. Untuk itu perlu menjadikan sistem
bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen mudharabah dan musyarakah
sebagai pengganti sistem kredit (credit system) berikut instrumen
bunganya (interest rate) dan membersihkan ekonomi dari segala prilaku
buruk yang merusak sistem, seperti prilaku menipu, spekulasi atau judi.
Sebagaimana surah al- Baqarah ayat 274-781 menjelaskan tentang hal ini.[5]
Keempat prinsip utama ini
tentu bukan hanya memberi batasan-batasan moral saja dalam aktifitas dan sistem
ekonomi Islam, tetapi juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang menciptakan
bangunan ekonomi Islam. Konsekwensi yang jelas sekali misalnya adalah eksistensi
lembaga Baitul Mal sebagai respon langsung dari ketentuan implementasi sistem
zakat dalam kebijakan fiskal Negara. Atau dominasi konsep bagi hasil dalam
dunia keuangan dan investasi sebagai konsekwensi pelarangan bunga (riba).
Juga adanya lembaga al-Hisbah
untuk mengawasi pasar. Prinsip-prinsip ini utamanya dimaksudkan agar segala
aktifitas manusia betul-betul dapat mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian
dan kebahagiaan dunia-akhirat (falah). Prinsip-prinsip ini menjadi
pedoman dari prilaku individual dan juga kolektif yang akan mengarah pada
kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dalam ekonomi Islam motif
dalam aktifitas ekonomi adalah ibadah. Motif ibadah inilah yang kemudian
mempengaruhi segala prilaku konsumsi, produksi dan interaksi ekonomi lainnya.
Secara spesifik ada tiga motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah
(public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).[6]
PENUTUP
Setelah penulis memahami isi makalah ini, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa Sejumlah intrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah
pakar ekonomi Islam seperti Reserve
Requirement, overall and selecting credit ceiling,
moral suasion and change in monetary base, equity based type of securities masih dapat
digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, sepanjang sesuai dengan prinsip
transaksi syariah antara lain adalah Wadiah,
Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun
Al-Ijarah.
Kebijakan moneter yang dikelola dengan baik akan menghasilkan
tingkat
perekonomian yang stabil melalui mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara.
perekonomian yang stabil melalui mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Sakti, Pengantar
Ekonomi Islam, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003.
Drs.
Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami.
Ir.Adiwarman
A. Karim, Ekonomi Makro Islami.
Muhammad Akram Khan, The Role of Government
in the Economy, The American Journal of Islamic Social Sciences,
Vol. 14, No. 2, 1997.
Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12.
[2] Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi
12, hal. 34.
Moneter
Melalui Perbankan Syariah, Direktorat Pengembangan Moneter Bank Indonesia, 2006.
[5]
Ali Sakti, Pengantar Ekonomi Islam,
Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal.20.
[6]Muhammad Akram Khan, The Role of Government
in the Economy, The American Journal of
Islamic Social
Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997, hal. 157.
Comments
Post a Comment
Bijaklah dalam berkomentar di bawah ini.